(Vol. 2) 2nd Event: Si Kecil Hans (Bagian 5)

06 September 2025

Aku sudah melihat panggung, tetapi tidak mendapati hasil memuaskan seperti yang diharapkan. Selain itu aku juga mendapati ada perselisihan antara Kelas A dan Kelas B.

Kelas A katanya mendominasi panggung dan tidak membiarkan murid dari kelas lain untuk memeriksa. Sedangkan murid-murid Kelas B yang tidak suka melayangkan protes mereka dan terjadi pertikaian kecil. Walau itu hanya adu mulut.

“Kayaknya emang semua panggung dikuasain mereka. Kita cuma buang-buang waktu di sini. Yuk balik ke asrama,” kata Riri.

Kami baru saja selesai melihat beberapa panggung dekat area SMA Amemayu. Namun, semuanya sudah diduduki murid-murid Kelas A dan mereka tidak membiarkan kami melakukan pengecekan.

Langit makin gelap, lampu menyala satu per satu dari tiang jalan dan juga bangunan-bangunan di sekitar. Lalu lintas bahkan lebih padat dibanding sebelumnya, tampak terburu-buru. Pejalan kaki berangsur-angsur berkurang.

“Kelas A, kayaknya rencanain sesuatu, ya?”

Aku sengaja berkata sesuatu seperti itu dengan nada sedikit bercanda. Sebenarnya aku tidak terlalu memahami orang macam apa Riri Arfiani yang ada di depan sana.

Pertanyaan itu kumaksudkan untuk melihat reaksinya, tetapi dia tak kunjung membalas dan terus saja melangkah tanpa memperdulikanku. Lebih seperti, suara tadi tidak sampai kepadanya. Namun, ketika sudah dekat taksi yang menjemput kami, Riri tiba-tiba saja membalas.

“Ya, rencana cowok itu udah dimulai.”

Caranya bicara terkesan kaku–terlalu datar. Aku memang sudah memperhatikannya beberapa hari belakangan ini. Riri memberikan gambaran kalau dirinya ini mirip robot, menurutku.

Perilaku, ekspresi, dan juga gaya bicaranya benar-benar datar. Bahkan aku hanya melihat wajah kesalnya sekali ketika pertama kali memasuki Kelas F. Meskipun begitu, Riri juga memancarkan aura sulit didekati. Terutama faksi-faksi anak perempuan di kelas juga tidak berani masuk ke zonanya.

“Jadi kamu udah tau kalau Kelas A rencanain ini?”

“Apa kamu penasaran? Muka kamu enggak nunjukin kamu pengen tau sama sekali.” Riri akhirnya menoleh, wajah kami kini berhadapan. Dia memiliki mata yang bagus.

“Mukaku udah emang kayak gini, mau penasaran atau enggak.”

Aku melayangkan protes, tetapi langsung ditepis oleh wajah Riri yang seolah-olah mengatakan ‘begitukah?’. Kami pun akhirnya masuk ke dalam taksi sambil diselimuti keheningan.

Hanya deru mobil yang terdengar. Baik aku maupun Riri masih sama-sama bungkam. Bahkan kami kini fokus dengan diri masing-masing. Aku memikirkan beberapa hal, sementara dia melihat ke luar jendela.

Perjalanan ini benar-benar sunyi. Meski supir di depan sana menyalakan musik, tetap saja rasanya begitu hening. Seolah, memang ada dinding pembantas antara aku dan Riri untuk berkomunikasi.

Ketika aku memikirkan cara agar bisa menghancurkan kebekuan adalah membuka percakapan, perasaan mustahil menyembur dalam hati. Mustahil, benar-benar mustahil orang yang suka mengikuti arus memulainya.

Bahkan ketika aku berusaha membuka pembicaraan sebelum masuk ke taksi tadi saja sudah membuang banyak tenaga. Melihat sikap Riri tadi, dia benar-benar orang di luar jangkauanku.

“Kalau ada sesuatu yang pengen kamu omongin, bilang aja.”

Saat aku terlalu larut dalam pemikiran pesimis tentang kemustahilan, suara Riri membangunkanku. Mataku langsung mengarah padanya, mungkin saat ini ekspresi terkejut terpampang jelas di wajah ini.

Aku masih dalam kondisi bingung, sebab kejadian tidak terduga barusan. Riri yang sepertinya mengerti hanya menghembuskan napas, lalu kembali memandang ke arah jendela.

“Kamu ini beneran aneh.”

Komentar itu terdengar jahat, tetapi nada bicara yang datar membuatnya sedikit lebih ringan. Detik berikutnya, Riri kembali memandangku. Kali ini aku bisa melihat dirinya sedikit penasaran. Lebih tepatnya, mata itu seperti sedang ingin mengkonfirmasi sesuatu.

Entah bagaimana, aku sudah sering melihat mereka yang memberikan tatapan itu. Semuanya hanyalah kenangan buruk, dan aku ingin melupakannya. Namun, itu mustahil. Ingatan akan jadi abadi di kepalaku.

“Maksud kamu?”

“Lupain aja.”

Dia menghindari topik tersebut. Aku juga tidak tertarik dengan maksudnya, jadi aku memilih mengabaikan. Aku baru saja ingat, Riri sepertinya memiliki hubungan dengan Tiara.

“Apa, aku boleh tanya sesuatu?”

Walau sedikit ragu, aku akhirnya memberanikan diri untuk bergerak. Riri memang tidak mengatakannya secara langsung, tetapi dia melipat kedua tangannya di bawah dada, memberikan ijin.

“Bukannya cewek yang kamu ajak ngobrol tadi anak Kelas B. Apa kalian temenan?”

“Kurang lebih.” Jawabannya singkat dan mengandung ketidakpastian.

Dia bahkan menyandarkan punggungnya, seolah tidak tertarik dengan pembicaraan tersebut.

“Ini mungkin nyinggung privasi kamu. Tapi, kapan kalian kenalan?”

“Aku cuma bicara beberapa kali sama dia. Tiara itu orang yang lumayan berpengaruh di Kelas B. Dia juga berhasil narik perhatian dua orang di Kelas A gara-gara kejadian event semalam.”

“Kejadian?”

“Apa kamu ingat soal alat musik anak-anak Kelas yang D rusak pas mau tampil? Pelakunya, Tiara Pratiwi. Dia juga yang ngasih tau aku soal poin bonus itu sama gerakan Kelas A.”

Aku terkejut setelah mendengarnya. Riri membeberkan rahasia yang tidak seharusnya dikatakan kepada orang yang baru dia kenal. Namun, gadis ini mengatakan semuanya dengan enteng.

Apa dia memang seterbuka ini? Aku masih tidak bisa mempercayai apa yang baru saja Riri katakan.

“Kamu ... serius?”

“Ternyata kamu beneran aneh,” Riri sedikit mengangkat sudut bibirnya sebelum melanjutkan, “kamu tetap tenang, padahal udah aku kasih tau sesuatu yang enggak biasa.”

Tunggu, memangnya hal seperti merusak alat musik agar bisa mendapatkan keuntungan itu tidak biasa? Bukannya masyarakat kita sudah sering melakukan tindakan serupa? Menyabotase pihak lain agar mendapat keuntungan. Ya, walau aku hanya melihatnya di drama televisi.

“Kamu ngomongnya enteng banget.”

“Emangnya kamu pikir aku orang kayak apa?”

Orang serius yang bahkan menyimpan rahasia sampai ke alam kuburnya dan tidak akan membicarakan sesuatu seperti tadi kepada orang yang baru dikenal. Itulah kesan awalku padanya.

“Agak beda dari bayanganku.” Aku menjawab jujur.

Tatapan Riri terus melekat kepadaku. Dia benar-benar seperti seseorang yang sedang menginterogasi. “Maaf aja, aku ini bakalan ngelakuin apa yang aku suka. Ngomongin apa yang aku suka.”

Meski kata-katanya terkesan bebas, nada bicara yang datar itu malah memberikan efek kontradiksi sikap Riri Arfiani. Aku ingin menertawakannya kalau saja aku juga tidak kesulitan menampilkan ekspresi yang seharusnya. Mungkin, kami mirip?

“Tapi, aku penasaran. Kenapa kamu kasih tau aku soal itu?”

Ini memang aneh, bagaimanapun memikirkannya. Dalam situasi normal, sebebas dan seterbuka apa pun seseorang, mustahil akan memberi tahu hal yang seperti itu kepada kenalan yang baru diajak bicara beberapa hari.

Atau ini karena ada sekrup yang hilang dari kepalanya? Tidak. Jadi kalau begitu ada kemungkinan lain. Namun, apa?

“Soalnya orang yang nyuruh Tiara ngelakuin itu kamu, ‘kan? Aila Permata Putri, anak haram Komisaris Amemayu Group.”

Mataku terbelak, mendengar apa yang baru saja dikatakan Riri Arfiani benar-benar mengejutkan. Aku tidak tahu muka ini melukiskan ekspresi macam apa, tetapi ini sangat tak terduga.

Dari segala kemungkinan, ini adalah yang terburuk dari seluruh pemikiranku. Rasa dingin tiba-tiba menyentuh punggungku, merayap dengan cepat keseluruh tubuh.

Keringat mulai turun dari pelipisku, tetapi ini bukan karena udara yang panas. Rahasia yang hanya diketahui Pak Santoso, Damar, dan juga beberapa orang di Amemayu Group kenapa malah keluar dari mulut Riri.

Dia ... Riri Arfiani, mengetahui siapa aku?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top