(Vol. 2) 2nd Event: Si Kecil Hans (Bagian 15)
13 September 2025
Senandung yang barusan terdengar bukanlah mimpi. Setelah keluar dari kamar, suara merdu datang menghiburku. Ketika aku mencari sumbernya, aku menangkap sosok gadis dengan piyama tengah berjalan-jalan di lorong.
Piyama putih tanpa lengan, memperlihatkan tangan bersih pemiliknya. Rambut panjang gadis itu tergerai, menari-nari setiap kali dirinya melangkah seperti tengah bermain-main.
Dia berbalik, menampilkan parasnya nan menawan dan imut. Tidak tunggu, kenapa aku malah memujinya? Terlebih lagi, kenapa siswi kelas 3 malah datang ke asrama kelas 1?
Orangapal ini adalah Amelia, wakil ketua OSIS yang sebelumnya bertemu denganku beberapa waktu lalu. Ketika mata kami bertemu, ekspresinya tiba-tiba menjadi cerah. Diiringi oleh lambaian tangan dan juga senyum lebar.
"Ah, Aila. Akhirnya ketemu," ujarnya kembali berdiri tegap.
"Selamat malam, apa yang kakak lakuin di sini?"
Ketika aku memberi sapaan, Amelia menyentuh pipinya dengan telunjuk sambil melihat langit-langit. Gadis ini seakan mencari alasan untuk menjawab pertanyaanku tadi.
"Hmm, aku lupa." Dia mengatakannya dengan ringan. Ekspresi datarnya ketika menjawab mungkin mengalahkanku.
Aku hanya mengembuskan napas lelah, Amelia ini tipe yang seharusnya paling aku hindari. Instingku berteriak agar segera mengusirnya atau segera lari untuk menyelamatkan diri.
Aku melirik layar ponselku menunjukkan pukul 19.23, sudah hampir waktu yang ditentukan. Prinsipku adalah tidak membuang-buang waktu. Namun, bagaimana caranya menghadapi Amelia sekarang?
Apalagi kata-kata pertamanya tadi sedikit mengganggu. 'Ketemu', bukankah artinya dia sedang mencariku? Lalu, ketika ditanya Amelia malah menjawab lupa. Benar-benar merepotkan.
"Ekspresi kamu, mirip Damar kalau lagi dijahilin, ya?" Aku hampir saja melompat ketika menyadari wajah Amelia sangat dekat.
Menyadari kalau aku tidak nyaman, Amelia mundur sambil sedikit tertawa. Sampai akhirnya jarak kami hampir satu meter, dia kembali menatapku penuh minat.
Aku tidak terlalu biasa menghadapi orang yang tak dikenal, jadi ini benar-benar sulit. Apa yang harus kukatakan? Apa yang harus kulakukan? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala.
Sampai sekarang, orang yang kutemui biasanya paling tidak sudah kupahami barang sedikit sifatnya. Namun, dalam kasus Amelia, aku kekurangan informasi. Merepotkan.
"Kamu lagi nyari informasi soal Desi, 'kan?" tanyanya sambil menyeringai.
Aku berusaha untuk tidak menampilkan banyak ekspresi di depannya. Namun, nama yang keluar dari mulut Amelia tetap saja membuatku terkejut. Tidak, aku tidak secara khusus mencari informasi.
Akan tetapi, nama Desi yang datang darinya membuatku sedikit siaga. Apa dia ada hubungannya dengan Damar? Atau malah dia bergerak sendiri? Tidak ada clue, mungkin aku harus mengikuti arusnya.
"Siapa Desi?"
"Ah, kamu pura-pura enggak tau. Enggak seru kalau gitu. Padahal aku harap kamu lebih menghibur," kata Amelia sambil menyatukan kedua telapak tangannya dan menaruh di depan mulut.
"Apa maksud kakak?"
"Kamu bisa manggil aku Amel, kok. Lagian, kita ini enggak ada hubungan darah. Dengar kamu manggil aku kakak malah bikin aku salah paham nanti." Senyum tipis terukir dibibirnya ketika mengatakan itu. Amelia melihat-lihat sekitar.
Kami berada di lantai 16 asrama kelas 1, dan tepatnya berada di lorong di mana banyak pintu kamar tertutup. Tentu saja, jam begini jarang sekali ada orang berkeliaran. Kebanyakan tengah bersantai di bawah atau mengurung diri di kamar.
"Yah, lupain itu." Setelah memastikan tidak ada siapa pun yang melihat atau mencuri dengar, Amelia kembali mendekat. Kali ini dia tanpa ragu mengarah ke telinga kananku. Dengan suara pelan, dirinya membisikkan sesuatu. Mataku melebar, tepat setelah mendapatkan sesuatu dari kata-kata Amelia.
Waktu seakan berhenti. Amelia dan aku masih berdiri di tempat tadi. Aku menengok ke samping, yang disambut oleh senyuman Amelia. Dia kemudian melangkah ke arah elevator sambil melambaikan tangan.
Kedatangannya tadi adalah memberi tahuku sesuatu dan itu merupakan kebenaran atau aku bisa menganggapnya begitu. Namun, sampai taraf mana kata-katanya bisa dipercaya masih terlalu rendah.
Aku melihat kembali ponselku, sadar akan kenyataan sekarang dan bergegas menuju tempat pertemuan yang sudah kujanjikan dengan seseorang sebelumnya.
Beberapa menit berlalu. Aku akhirnya sampai di tempat yang dijanjikan, dekat pohon besar dan juga bangku yang biasanya dipakai istirahat saat berjalan dari satu gedung ke gedung lainnya.
Gedung lukis dapat terlihat di barat laut, sementara di dekatku ada klinik dan jika melihat ke belakang lagi tampak asrama yang sebelumnya kutinggalkan. Langit cukup kelam, untungnya lampu jalanan cukup 'tuk mengusir gelap.
Aku duduk di bangku, sambil menunggu orang yang diajak bertemu sebelumnya. Sambil memikirkan kembali apa saja yang sudah terjadi awal September lalu.
Di awal bulan kami diberi tahu mengenai jadwal free event yang saat ini berlangsung, dan nantinya akan ada ujian tengah semester Senin nanti. Selain itu, event utama yang juga sekaligus ujian akhir. Lalu, syarat mengikuti event utama adalah mengumpulkan 10.000 poin dari free event.
Jika melihat jumlah panggung dan poinnya, itu bukanlah sesuatu yang sulit. Sayangnya, Kelas F melakukan kesalahan besar dengan tidak mengecek panggung sebelum free event dimulai.
Semuanya makin diperparah karena Kelas A dan Kelas C sudah memahami betul bagaimana mekanisme free event dan pengumpulan poin. Oleh sebab itu, kelas lain jadi kesulitan.
Belum lagi masalah tentang Nopi Ariani yang malah mengatakan kalau akulah penyebab dirinya terluka. Ia juga memiliki bukti, sehingga hampir semua orang di Kelas F percaya akan hal tersebut. Efeknya luar biasa, sekarang teman-teman yang dulu menghabiskan waktu denganku mulai menjauh.
Benar-benar tidak beruntung. Kenyataannya aku tidak melakukan apa pun pada Nopi. Itu adalah kebetulan, Daniel yang menyerang Nopi memang di luar ekspektasi, tetapi aku juga menggunakannya sebagai dorongan kecil dalam rencana.
Ya, tidak ada gunanya memikirkan itu. Lebih baik memikirkan langkah Kelas F berikutnya untuk bisa mendapatkan 10.000 poin.
Beruntungnya kelasku–Kelas F–bisa mengambil satu panggung kemarin sehingga kami bisa mendapatkan sedikit harapan mengumpulkan poin. Tentu kami juga bekerja sama dengan kelas lainnya. Namun, Riri mengatakan kalau hanya dengan satu panggung masih kurang.
Karena itulah aku ingin bertemu seseorang sebelum menjalankan rencana mengambil panggung lainnya. Keberhasilan mengumpulkan 10.000 poin nanti akan bergantung pada diskusi ini.
"Apalagi yang pengen kamu omongin?"
Tepat ketika aku memikirkannya orang yang ditunggu telah tiba, bersamaan dengan tiupan angin nan cukup deras.
"Informasi soal kakak kamu," sahutku ketika membalas tatapan Tiara nan dingin.
Dia tampak kaget mendengar kalimat barusan. Aku langsung mengenai sasaran, ya? Selanjutnya hanya perlu berhati-hati agar mendapatkan Tiara yang bisa membantuku.
"Apa maksud kamu, bukannya udah jelas kalau Damar yang ngelakuin itu? Dia juga udah ngaku soal itu!"
Meski awalnya ragu, Tiara langsung menolak dan membangun benteng kokoh sebagai pertahanan diri. Raut mukanya jelas sekali sangat waspada. Kalau aku menyerang sembarangan, hanya kegagalan yang menanti di sana.
"Bulan lalu kamu pernah bilang, kalau kakak kamu kena dropout gara-gara seseorang pas kelas dua. Apa kamu pikir orang yang ngelakuin itu beneran Damar?"
Tiara bereaksi ketika aku menyebut Damar, dia mengepalkan tangan kuat-kuat. Mimik mukanya juga terlihat lebih rumit sekarang.
"Iya, dia udah ngaku. Emang dia yang bikin kakak kena dropout. Dia juga yang bikin kakak aku bunuh diri. Gara-gara dia ... gara-gara dia keluargaku berantakan!"
Aku diam sebentar. Melihat Tiara yang masih menampilkan sifat kuat begitu, aku menyahut, "Gimana, kalau sebenarnya ada alasan lain kenapa Damar ngebikin kakak kamu keluar?"
Sejujurnya, aku tidak mau mengumbar informasi yang belum tentu kebenarannya. Namun, melihat situasi sudah jadi seperti sekarang, maka menggunakannya adalah pilihan terbaik.
"Apa kamu tau sesuatu?"
"Damar enggak pengen kakak kamu keluar, tapi dia enggak punya pilihan lain. Cuma itu satu-satunya cara."
"Cara buat ngapain? Ngancurin idup papa aku gara-gara khianatin Amemayu?"
Ah, aku ingat kalau Pak Santoso bilang dirinya telah berhenti bekerja di Amemayu Group. Apa sebegitu pentingnya kah, beliau? Sampai-sampai Amemayu mau repot-repot menghancurkan hidupnya?
"Bukan, itu semua diperluin buat ...."
Kalimatku tergantung di udara, sebab kata berikutnya merupakan kebenaran yang baru saja didapatkan. Selain karena itu berhubungan denganku, keraguan dan ketakutan akan dibenci mulai merayap di punggungku.
"Buat apa?"
Tekanan yang kurasa kian berat. Tiara yang penasaran sambil memancarkan mata marah semakin menambah beban agar aku segera mengeluarkan kalimat yang tertinggal.
"Kakak kamu kena dropout supaya Damar bisa yakinin petinggi Amemayu supaya aku sekolah di sini ...."
Aku memeras suaraku pasrah. Meski ini baru saja kudengar dari Amelia tadi, tingkah dan ucapan Damar malam itu seolah membenarkannya. Belum lagi fakta aku memang bisa sekolah di sini.
Kepalaku masih tertunduk, tidak berani lagi menatap Tiara yang sepertinya juga kaget dengan kebenaran yang baru saja dia ketahui. Hanya ada keheningan di antara kami.
Sampai akhirnya aku bisa mendengar langkah Tiara yang mendekat. Tiba-tiba kepalaku sudah menghadap ke kanan. Sakit dan panas seketika terasa di pipiku. Disusul oleh suara isak tangis nan pilu.
Aku merasa deja vu. Ini pernah terjadi sebelumnya, hanya saja tempat dan langitnya berbeda kala itu. Aku masih menunduk, memegangi pipi yang rasa sakitnya kian nyata. Tanpa sadar, pandanganku mulai berair.
"A-apa-apaan maksudnya itu!?"
Ledakan, itulah yang pertama kali terlintas di kepalaku ketika suara Tiara meninggi. Siapa pun pasti akan marah padamu kalau kau bilang alasan kenapa hidup kakaknya hancur karenamu.
"Kamu mau bilang kalau kakak aku di dropout supaya kamu bisa sekolah di sini!?"
Ketika aku mengangkat kepala untuk melihat wajahnya, tamparan lain menghantam pipiku yang satunya.
"Gara-gara kamu, gara-gara kamu kakak aku menderita! Gara-gara kamu, kakak aku bunuh diri!"
Dia juga menangis. Walau pandanganku buram, aku masih bisa melihat dirinya meneteskan air mata.
"Aku, emang enggak pantas bilang maaf!" Sekuat tenaga aku menekan suara agar keluar. "Aku orangnya emang egois. Cuma gara-gara aku bilang sama Damar kalau aku pengen liat dunia luar dia bahkan rela ngelakuin itu sama kakak kamu!"
Aku ingat saat bertemu Damar untuk pertama kalinya. Ia menanyakan pendapatku mengenai dunia di luar sangkar, dan aku menjawabnya kalau dunia ini ternyata indah sekali.
Ia juga bertanya apakah aku ingin melihat dunia yang lebih luas, dan aku yang masih belum mengenal siapa Damar sebenarnya malah menjawab iya.
"Iya, kamu egois! Kamu yang bikin kakak aku sengsara. Kamu juga bikin aku masuk ke sekolah ini! Semuanya enggak bakalan terjadi kalau kamu enggak ada!" Tiara mengeluarkan amarahnya di antara tangisan itu. Ingatan tentang kakaknya pasti berputar kembali.
Kalau saja aku tidak ada. Dia mungkin benar, semuanya tak akan seperti ini kalau aku tidak pernah ada. Sekarang aku memikirkannya, apa mungkin memang lebih baik aku tak lahir di dunia ini?
Kami saling menitikkan air mata, bersamaan dengan langit yang mulai menjatuhkan rinainya. Tiap detik, tetesan hujan kian lebat. Kami yang berada di bawah pohon juga sudah mulai terkena guyurannya.
"Aku benci ... benci banget sama kamu!" Suaranya bercampur dengan hujan. "Kenapa ... kenapa kakak aku malah rela ngorbanin dirinya buat kamu?"
Tubuhku bergetar, Tiara kini menatapku dengan heran. Aku tidak tahu apakah dia masih menangis atau tidak, wajah kami sama-sama basah.
"Aku juga enggak tau, kenapa kakak kamu rela ngelakuin itu. Tapi, aku sangat berterima kasih sama dia. Karena dia, aku bisa ngerasain gimana rasanya hidup layaknya anak sekolah.
"Bebas dari kurungan yang selama ini aku tau. Aku juga bisa ketemu banyak orang, dan ngerasa kalau enggak semua orang itu jahat. Aku juga sadar kalau dunia ini luas banget.
"Aku, juga bersyukur karena kamu jadi teman pertama aku. Bagi aku, kamu orang yang berharga. Makanya ... aku ke sini buat kasih tau kamu itu!"
Setelah menekankan kata-kata terakhir tadi, Tiara menutup mulut dengan kedua tangannya sambil mundur beberapa langkah. Dia terus menggeleng, menolak rasa syukurku padanya.
Akhir yang menyedihkan, aku tahu ini pasti akan terjadi. Sambil tersenyum, aku mengucapkan apa yang sebenarnya ingin kuberi tahu padanya. "Makasih, karena mau jadi teman pertama aku. Sama maafin aku, gara-gara aku kamu menderita."
#A/N:
Yahooo, selamat menikmati. Ini mungkin adalah penghujung dari chapter ke-2. Si Kecil Hans sendiri menjadi judul karena memiliki kisah yang berhubunagn dengan teman atau persahabatan. Tapi, apa kalian tahu bagaiman ceritanya? Haha, pokoknya ini tentang kisah Hans dan temannya yang kaya raya.
Lalu, apa kalian bisa menebak kenapa Si Kecil Hans menjadi judul chapter di cerita ini? Well, gimana bagian akhirnya? Aku harap kalian suka. Next, kita bakalan maju ke chapter klimaks free event dan UTS. CIAO!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top