(Vol. 2) 2nd Event: Si Kecil Hans (Bagian 12)

12 September 2025

Kemarin malam, notfikasi kalau Kelas F telah berhasil mengambil alih salah satu panggung muncul di layar ponselku. Sepertinya Riri dan Felly telah berhasil melakukannya. Entah Tiara juga terlibat, aku tidak benar-benar ingin tahu lagi.

Setelah pertemuanku dengan Damar dan Tiara semalam, fakta yang baru saja aku terima sangat menyakitkan. Bahkan aku sendiri mulai memikirkan apa sebenarnya tujuanku masuk ke sekolah ini?

Suasana terasa semakin dingin. AC yang menyala sejak semalam terus menurunkan suhu ruangan. Aku masih meringkuk di kasur, menutupi tubuh dengan selimut tebal. Menolak udara masuk dan juga kenyataan yang enggan kuterima.

Aku bisa melihat wajahku yang gelap, bahkan garis hitam di bawah mata terlihat jelas ketika pantulanku muncul dari kaca lemari di seberang sana. Menyedihkan, aku benar-benar menyedihkan.

Rasanya aku jadi ingin menertawakan diri sendiri.

Kenapa semuanya malah jadi begini? Pertanyaan itu berkali-kali bergema di kepalaku sejak tadi malam.

Tidak ada yang bisa dipercaya. Aku kemari, sekolah dengan harapan mendapatkan kebebasan juga adalah tipuan mereka. Kebencian Tiara kepadaku kemarin malam juga kian meningkat.

Harapan kami untuk berbaikan, sudah sirna karena fakta yang sama sekali tidak bisa dibantah. Walau dalam hati kecil aku masih ingin berusaha berbaikan dengannya.

Aku kembali menundukkan kepala, melamunkan lagi hal-hal menyedihkan semalam. Tepat ketika aku hampir terlarut di dalamnya, suara bel pintu membangunkanku.

Sambil memandang langit-langit, aku berpikir siapa yang berkunjung sepagi ini di hari Jumat? Tidak, teman-teman sekelasku tidak mungkin. Aku segera mengeliminasi mereka dari kemungkinan tersebut.

Alasannya sudah jelas, kemunculan Nopi Ariani dan bukti yang menyudutkanku menjadi penghancur hubunganku dengan mereka. Tidak bisa dipungkiri sekarang Kelas F waspada dan mengarahkan tombak mereka padaku.

"Ini aku." Suara familiar dari interkom terdengar ketika aku sudah sampai di depan pintu.

"Ada urusan apa?"

Aku membalas ucapannya dari balik interkom. Sambil melihat sosok yang tak asing dari layar video di atasnya. Laki-laki dengan tatapan tenang dan juga ekspresi bersahabat–Ryan Pratama–ada di sana.

"Aku udah liat notifikasinya semalam, tapi aku sedikit penasaran. Soalnya bukan kamu yang ngelakuin itu, 'kan?"

Ryan mengangkat salah satu sudut bibirnya sebelum menghela napas. Dia berbalik dan langsung bersandar di pintu masuk. Berseberangan dengan tempatku berdiri.

"Kamu lagi mikirin apa?" tanyanya setelah jeda beberapa detik.

Pertanyaan barusan terdengar cukup pelan, tetapi masih bisa menggapai telingaku. Aku hanya diam, tidak tahu harus menjawab apa. Pikiranku saat ini masih terpaku tentang kemarahan Tiara dan juga fakta mengenai kedatanganku kemari yang telah dirancang seseorang.

Saat memikirkan dulu kalau akhirnya aku bisa merasakan kebebasan setelah memasuki sekolah ini, ternyata itu hanyalah ilusi semata. Bagaimanapun, seharusnya aku sadar. Kekejaman sendiri adalah realita kehidupan.

"Entahlah." Tanpa sadar aku bersuara.

"Kamu sendiri enggak tau lagi mikirin apa?" Ryan tampak bingung, hal itu jelas sekali dari nada bicaranya.

Bukan hanya pintu yang membatasi kami, tetapi juga kurangnya rasa percaya antara satu sama lain. Secara teori kami memang memiliki hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Namun, dalam praktiknya sendiri kami masih saling menyimpan rasa saling curiga.

Hal itulah yang menjadi pembatas dari komunikasi kami selama ini. Dan tanpa kusadari, malah menjadi belenggu bagi kami sendiri.

"Mungkin."

"Apa ini ada hubungannya sama anak Pak Santoso?"

Aku sedikit terkejut ketika Ryan mengucapkan nama tersebut. "Kamu tau banyak, ya?"

Ryan sedikit tertawa lalu mengatakan, "Ya, anggap aja aku punya informan yang hebat."

"Saking hebatnya, jadi serem."

Entah kenapa, pembicaraan kami malah jadi sesantai ini. Mirip sungai yang mengalir dengan arus yang tenang. Begitu santai dan menenangkan. Beberapa kali Ryan terkekeh, aku juga ikut tersenyum ketika membicarakan beberapa hal lucu.

"Apa dia masih marah soal lagu semalam?" Ryan tiba-tiba mengubah topik pembicaraan kami. Dia menarik kejadian masa lalu yang menghancurkan hubunganku dengan Tiara.

"Aku enggak bisa bilang kalau dia enggak bakalan marah soal itu." Memberikan jawaban yang tidak pasti akan membuat Ryan tidak mengejar masalah ini. Untuk sekarang, entah kenapa aku tidak mau membicarakan soal Tiara.

"Soal itu, sepertinya aku ngelakuin hal yang keterlaluan. Maaf, gara-gara aku hubungan kalian jadi kacau."

Aku mencubit kulitku beberapa kali. Memastikan kalau apa yang baru saja aku dengar bukanlah imajinasi atau mimpi di pagi hari. Rasanya sakit, membuktikan kalau baru saja Ryan meminta maaf.

Sejak kapan laki-laki ini bisa meminta maaf? Sesaat aku melupakan kemelut yang dari tadi menutupi kepalaku.

"Bukannya aneh, kalau kamu minta maaf?"

"Lebih aneh lagi kalau aku ngerasa bangga bikin anak kesepian yang punya teman malah bikin dia musuhan sama temannya."

Balasannya tidak menyenangkan didengar, tetapi aku bisa merasakan ketulusan dalam kata-katanya. Entah wajah apa yang Ryan buat sekarang, aku hanya bisa melihat bagian atas kepalanya dari layar interkom.

"Hei, Ryan," aku sedikit ragu, tetapi akhirnya kuputuskan 'tuk mengundangnya, "mau masuk?"

Sekarang Ryan sudah masuk ke kamarku. Ini pertama kalinya aku mengundang seorang anak laki-laki masuk. Rasanya ada perasaan aneh dalam hatiku.

Aku duduk di atas kasur sambil menutup diri dengan selimut. Sementara Ryan sekarang ada di dapur menyiapkan minuman. Dia menawarkan dirinya sendiri untuk membuat minum, tentu saja aku membiarkannya. Jelas aku akan waspada, kalau saja nanti Ryan memasukkan sesuatu dalam minumanku.

"Kamu aneh," komentar Ryan sambil membawa beberapa gelas di atas nampan. Dia menambahkan, "kedinginan tapi malah nyalain AC-nya rendah banget."

Aku tidak menanggapinya, tetapi berusaha mengubah pembicaraan ke arah lain. Paling tidak aku ingin tahu bagaimana cara dia menghadapi situasiku sekarang.

"Hei, Ryan. Menurut kamu, teman itu apa?"

Ryan sedikit terkejut atas pertanyaan barusan. Gerak tubuhnya bahkan mirip orang tersetrum ringan, aku bisa membayangkan dari kepalanya tumbuh beberapa tanda tanya.

Akan tetapi, dengan sigap Ryan menaruh nampan berisi cangkir dan minuman tadi ke atas meja. Dia tampak berpikir sejenak, memasang ekspresi seperti detektif yang mendapatkan misteri.

"Serius kamu nanyain itu? Rumit tau," ujarnya sambil tersenyum ramah.

Apa dia juga memiliki pemikiran sepertiku? Rasanya sedikit tidak mungkin. Yah, sebenarnya hal wajar kalau Ryan merasa rumit soal topik 'teman' ini. Dia yang aku lihat sekarang, tak lebih dari seorang penarik benang.

Tidak, tidak. Seharusnya aku tidak menyebutnya sebagai penarik benang, karena kami ini pada kenyataannya sama. Hanya saja, Ryan lebih memahami bagaimana memanfaatkan perasaan manusia dibandingkan diriku.

"Kamu juga enggak punya teman?"

"Hei, jangan samain aku kayak kamu. Aku punya teman, kok. Yah, enggak banyak, tapi mereka bisa diajak jalan dan enggak bakalan marah kalau dimanfaatin."

Apa-apaan senyuman percaya diri itu? Aku memberikan tatapan aneh ketika dia memamerkan senyuman aneh. Manusia mana yang tidak marah kalau dimanfaatkan? Dongengnya benar-benar menggelikan.

"Kamu kira aku bakalan percaya?"

"Padahal aku beneran punya teman yang rela dimanfaatin, lho. Yah, aku enggak maksa kamu percaya juga, sih. Lagian kamu tanya teman itu apa. Yang kepikiran di kepalaku, hubungan timbal-balik."

Dengan kata lain, Ryan mengatakan kalau teman itu adalah hubungan saling menguntungkan kedua belah pihak, ya?

Namun, bagiku yang selama 15 tahun ini tidak pernah memiliki seorang teman pun dan mendambakannya dari buku cerita dan film. Teman sesuatu yang lebih dari itu. Itu bukanlah hubungan manusia yang hanya mengandalkan timbal-balik.

"Terus, menurut kamu sendiri teman itu apa?" Saat aku tengah memikirkannya, serangan tidak terduga dilancarkan oleh Ryan.

Aku menggeleng, tidak tahu harus menjawab apa. Kenyataannya, aku memang memikirkan kalau hubungan teman itu lebih rumit daripada yang kupikirkan. Namun, aku sendiri tidak tahu jawaban apa sebenarnya teman itu.

Ryan menuangkan minuman ke dalam gelas lalu menyerahkannya kepadaku. Meski sedikit ragu, aku mengambilnya ketika dia tampak ingin menyodorkan gelas ke wajahku.

Uap panas dari teh hitam yang dia seduh menusuk hidungku. Aku meminumnya perlahan-lahan, sebab lidah ini memang tidak terlalu bisa mentolerir minuman panas.

Ryan bersuara ketika aku meneguk teh. "Apa kalau kita kenalan sama orang lain, terus jabat tangan udah bisa disebut sebagai teman?

Atau teman itu sesuatu yang lebih dari itu? Aku masih bingung gimana orang bisa bilang kalau dia ini temanku. Dia itu temanku. Padahal, mereka cuma kenalan dan bicara beberapa kali saja.

Jadi, kalau kita saling kenal, bukannya itu berarti kita udah berteman. Biarpun cuma ngobrol beberapa kali."

Ryan terus mengeluarkan apa yang ada di kepalanya dengan ringan. Semua pemikirannya tentang 'teman' dan juga bagaimana manusia bisa disebut berteman menurut versinya.

Sayangnya, aku masih merasa kalau jawabannya kurang memuaskan. Bahkan kalaupun benar begitu. Bagaimana bisa, hanya dengan bekenalan seseorang sudah bisa dianggap sebagai teman? Bagaimana bisa, seorang teman bisa bertengkar dan saling bermusuhan?

Yang awalnya akrab menjadi benci, sebenarnya seperti apa hubungan manusia itu? Apakah sederhana atau sebenarnya rumit? Aku masih mempelajarinya dan langsung diberikan kesulitan seperti ini ... rasanya melelahkan.

"Apa kamu masih enggak ngerti?"

"Mana mungkin aku ngerti kalau kamu bicara hal rumit kayak gitu."

"Ternyata ada juga yang enggak bisa kamu ngerti, ya? Haha, pasti efek kelamaan di kurungan," ejek Ryan sambil terkekeh kecil.

"Kamu jadi menyebalkan, ya?" Aku langsung memberikan tatapan tajam setelah menaruh cangkir teh yang masih terisi separuh.

"Maaf, aku cuma belajar bercanda. Lagian, kamu enggak bakalan tersinggung, 'kan?"

Hanya keheningan yang terjadi setelahnya, sebab aku tidak membalas lagi ucapan Ryan. Dia juga menjadi canggung setelah 'candaannya' barusan tak mendapatkan respons positif.

Beberapa detik berlalu, kami benar-benar bungkam. Masing-masing hanya menikmati teh yang mulai dingin. Bagaikan ada bongkahan es besar yang kini membatasi kami, hawa kecanggungan kini benar-benar terasa.

"Kalau boleh jujur ...."

Ryan yang pertama kali memecah kecanggungan singkat tadi. Dia bangkit dari tempat duduknya, sambil menghadap ke arahku dirinya tersenyum ramah.

"Menurutku, teman itu adalah orang yang bisa diajak ngobrol dan juga habisin waktu sama-sama. Selama kamu dapat kesenangan dari obrolan santai atau cuma minum doang sambil ngabisin waktu sama orang lain, mereka udah bisa dibilang teman."

"Maksud kamu, kayak kita sekarang?"

"Kamu enggak senang ngobrol sama aku?"

Aku ingin langsung membalas 'tidak'. Namun, dalam hati kecil, aku memang merasa bicara dengan Ryan cukup menyenangkan.

"Satu hal lagi. Bertengkar soal pertemanan itu hal yang wajar. Kamu atau teman kamu memang bisa melakukan kesalahan. Tapi, setiap kesalahan pasti punya pengampunan. Apa kamu pernah, secara khusus ketemu sama Tiara dan langsung minta maaf sama dia?"

Aku terdiam mendengar kata-kata Ryan barusan. Bukan karena dia merangkai kalimat yang bagus atau semacamnya. Namun, karena dia seperti mengetahui apa yang sedang menjadi awan dipikiranku.

Dia jugu mengetahui soalku yang sedang tidak dalam hubungan baik dengan Tiara dan memberikan saran yang cukup baik. Tentu saja, ini terasa tidak alami dan juga tak wajar.

"Makasih, aku bakalan pikirin gimana caranya minta maaf sama Tiara." Aku memberikan senyuman dan ucapan terima kasih setulus yang bisa wajahku perlihatkan.

RyanPratama, sebenarnya apa lagi rencanamu kali ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top