(Vol. 2) 1st Event: Penebang Kayu (Extra)

(Rencana Pointer)

03 September 2025

Kelas A

Kartu yang dipakai untuk setiap murid sudah dibagikan. Semuanya mendapat kartu putih dan satu warna acak pada A-Card yang diterima masing-masing.

Di sudut kelas, tepatnya di bangku yang terletak di belakang sebelah kiri. Siswa berpenampilan nakal mengotak-atik A-Card yang baru saja dia dapatkan.

Rambut yang acak-acakan. Kalung dari rantai yang terbuat dari perak serta tindik di telinganya. Namun, murid lain di Kelas A tidak takut dan juga tidak terganggu dengan penampilannya.

Tentu saja, karena dilihat bagaimapun dia nampak lebih cocok dengan penampilan seperti itu. Kulit yang putih, wajah yang sempurna, dan juga sikap berandalan. Benar-benar cerminan hewan liar yang mempesona.

Seringai mengambang dari bibirnya nan tipis. Tatapan mata yang tajam itu menyisiri kelas, nampak memastikan sesuatu.

Prayoga–siswa itu–langsung melompat dari tempat duduknya dan menendang meja dengan keras. Perbuatannya barusan langsung menarik perhatian murid-murid yang tersisa di kelas.

"Oi, denger lo semua!"

Melihat semua orang sudah benar-benar menaruh mata padanya, Prayoga sekali lagi menyeringai.

"Mulai hari ini, gue mau lo semua sehabis pulang sekolah langsung nyebar buat ngecek panggung. Terus diem di sana sampai yang lain dateng gantiin. Gue mau lo semua enggak biarin kelas lain sampai ngecek panggung!" Prayoga memberikan perintah dengan suara tegas.

Semua orang terkejut mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Prayoga. Mereka memang mendaptkan pemberitahuan kalau menegcek panggung bisa memberikan poin bonus saat free event dimulai nantinya. Oleh sebab itu juga mereka berencana melakukannya setelah pulang sekolah.

Akan tetapi, ada hal yang tidak mereka mengerti. Kenapa mereka diperintahkan untuk diam di tempat oleh Prayoga dan menghalangi kelas lain untuk melakukan pengecekkan?

Sejak masuk sekolah, awalnya Prayoga tidak terlalu mereka perhatikan. Namun, hal itu berubah ketika Pak Asep memberi tahu kalau dia merupakan salah satu kandidat pointer Kelas A, yang artinya merupakan pemimpin atau penguasa kelas.

Separuh nama orang di kelas berada di bawah tanggung jawabnya untuk mempertahankan kursi Kelas A. Dia juga mendeklarasikan kalau siapa pun orang yang tidak menurutinya akan dia buat jatuh ke kelas bawah.

Pada awal Agustus lalu hanya ada beberapa murid yang percaya dan mengikutinya. Sementara sebagian lagi memilih untuk tidak peduli dan bergerak secara individu.

Namun, setelah pengumuman hasil event musik ada beberapa murid di bawah pertanggung jawabannya mengalami dropout dan turun ke kelas bawah. Oleh karena itulah murid lain yang masih berada di bawah naungan nama Prayoga jadi takut dan dipaksa mematuhinya.

"Boleh aku tanya kenapa kami harus ngelakuin itu?"

"Satu orang cuma bisa ngecek panggung sekali, habis itu bakalan dapet poin bonus. Ada tiga belas panggung dan itu kesebar di kota. Kalau kalian ngelakuin ini, terus diem di panggung ngehalangin kelas lain, kira-kira apa yang bakalan terjadi?"

Semua orang diam, menggambarkan skenario seperti apa yang ingin Prayoga ciptakan. Namun, tidak ada apa pun yang terlintas di kepala mereka. Hal itu terdengar seperti membuang-buang waktu hanya dengan berdiam di atas panggung.

Ketika semua orang menyerah, tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang datang dari arah bangku barisan paling depan. Hal itu tentu saja membuat perhatian yang lainnya langsung tertuju ke arah sumber suara tersebut, begitu pula dengan Prayoga.

Mereka dapat melihat sosok siswi berambut panjang lurus dengan wajah kejam dan angkuh. Mata gadis itu bahkan memandang sinis ke arah Prayoga.

"Kamu kepikiran ide yang menarik. Tapi apa kamu pikir ide gitu bakalan berhasil kalau cuma jelasin setengah-setengah?" Tanya gadis itu.

"Sialnya, orang yang paham cuma lo doang, ya?" Balas Prayoga.

"Apa kamu lagi muji aku? Itu enggak berguna. Soalnya rencana kamu ini juga bakalan ada celahnya." Gadis itu tak melonggarkan sikapnya. Tatapannya itu persis seperti melihat serangga merayap.

"Kayaknya lo kepikiran ide yang lebih bagus."

"Enggak kok, aku sama sekali enggak mikirin ide yang lebih baik dari ini. Makanya aku ketawa. Aku juga setuju sama ide kamu ini, kalau aja kamu bisa yakinin mereka, aku bakalan nyuruh hal yang sama buat orang-orang aku."

Gadis itu juga adalah kandidat pointer Kelas A, Pricellia. Ia juga bertanggung jawab atas separuh nama murid-murid di kelas dan dia juga mampu menggerakan orang lain sesuai keinginannya, sama dengan Prayoga.

Prayoga tidak menyukai kata-kata yang dilontarkan oleh Pricellia barusan. Dia merasa kalau Pricellia sengaja melakukannya dengan maksud tertentu. Prayoga paham betul akan hal itu. Namun, mendengar tawaran yang diberikan olehnya membuat Prayoga sedikit tertarik.

Persaingan mendapatkan posisi pointer antara Prayoga dan gadis tadi sudah berlangsung sejak bulan lalu. Pihak sekolah juga mengatakan kalau puncaknya akan ditentukan di semester depan.

Prayoga tidak menyukai kalau mereka bekerja sama. Namun, kali ini tidak ada konsep seperti itu. Karena pengecekan panggung tidak berhubungan langsung dengan persaingan. Tujuan Prayoga adalah memperlemah orang-orang di kelas lain agar kesulitan nantinya.

Jika bergandengan tangan dalam kesempatan ini, maka keuntungan ada dipihaknya. Tidak, lebih tepatnya lagi ada dipihak Kelas A. Dengan begini Prayoga bisa fokus pada persaingan mereka tanpa memperdulikan pointer dari kelas lain yang mungkin bisa saja mempengaruhi persaingan dia dengan gadis itu.

"Aku juga pengen liat, berapa banyak orang yang bakalan kena dropout kalau enggak bisa ngumpulin 10.000 poin entar. Bukannya kamu mau bikin mereka enggak bisa dapetin poin sebanyak itu?"

Gadis itu, ia benar-benar melihat skenario Prayoga dengan jelas.

***

04 September 2025

Kelas C

Setelah membaca kembali ketentuan dan mengingat penjelasan tentang kartu-kartu yang dipakai selama free event, banyak siswa-siswi SMA Amemayu meributkannya. Kelas C tidak terkecuali.

Di depan kelas, seorang siswa berdiri. Mukanya nampak masam ketika melirik teman-teman sekelasnya dan ketakutan juga ikut menyelimutinya. Baru beberapa menit berlalu semenjak guru yang mengajar keluar, dan sekarang dia mengambil perhatian mereka semua.

"Maju!"

Perintah dari mulut laki-laki itu menggantung di kelas. Ekspresinya tegas, mirip seperti petugas yang mau menghukum tahanannya. Punggung siswa lain menegang ketika mendengar suaranya yang lebih mirip seruan untuk dipukuli.

Udara dingin di sana tidak hanya datang dari AC. Aura intimidasi dari murid berblazer cokelat di depan benar-benar kuat. Sorot mata yang kejam itu bahkan menambah sensasi aneh di tulang punggung siapa pun yang melihatnya.

"Budek, ya?" Sekali lagi suaranya kelaur.

"Lo kayaknya bikin takut yang lain, deh. Coba jangan masang muka nyeremin gitu."

Di dekat anak laki-laki itu, siswi berambut pendek semapai yang bagian depannya sedikit diwarnai merah mengeluarkan suaranya. Berbeda dengan yang lain, tidak ada ketakutan sediki tpun di dalam dirinya. Seakan ia sudah terbiasa melihat sosok mengerikan tersebut.

"Cih, ngapain juga kita ngelakuin ini?"

Dia membuang muka. Sejak awal dirinya memang tidak suka berada di depan kelas dan malah menakuti anak-anak lain karena penampilannya. Meski begitu, Jordan–namanya–tetap melakukan hal ini. Karena gadis itu yang meminta.

"Supaya lo beneran keliatan kayak pointer, dong," sahut Yurina–gadis di depannya–sambil tersenyum.

Jordan memejit pelipisnya, bingung atas kata-kata itu. Kepalanya selalu berdenyut kalau mengikuti apa yang disarankan oleh Yurina.

"Kalau gitu, yang tadi dapet kartu merah maju sebentar, dong." Yurina merasakan hal ini tidak akan bergerak kalau mengharapkan Jordan yang langsung mengambil alih.

Lain dulang lain kaki, lain orang lain hati. Begitulah Kelas C. Jika mengurutkan siapa yang paling disukai, maka Yurina akan berdiri dipuncak teratas. Dan untuk kebalikannya, Jordan yang menempati posisi itu.

Menanggapi panggilan lembut yang Yurina berikan, salah seorang siswa berwajah kaku bangkit dari tempat duduknya. Memperdengarkan suara decitan khas.

Walau yang dia tanggapi adalah Yurina, kaki dan tubuhnya masih gemetar ketika tak sengaja beradu pandang dengan Jordan. Langkahnya yang lamban itu sendiri adalah keraguan apa dirinya baik-baik saja kalau mendekati hewan buas tersebut.

"Hoo, yang dapet kartunya lo, ya?" Yurina menyentuh bibirnya dengan telunjuk dan mengangguk-ngangguk. "Kalau enggak salah ... nama lo Anjas, 'kan?"

Anjas terkejut, ini baru beberapa hari dia pindah dari Kelas D ke Kelas C. Bahkan orang-orang yang duduk di sekitarnya hampir tidak mengingat namanya. Namun, Yurina tahu. Ia bahkan yakin kalau benar nama itu memang namanya.

Anjas mengangguk, dia juga menanyakan kenapa tiba-tiba menyuruh orang yang memiliki kartu merah untuk datang ke depan. Tentu, pertanyaan itu juga disimpan oleh mereka yang masih tersisa di kelas. Mereka penasaran kenapa Jordan dan Yurina melakukannya.

Namun, bukannya membalas Yurina malah tersenyum manis dan mengambil A-Card yang diperlihatkan Anjas.

"Apa yang mau kamu lakuin?"

Terkejut atas tindakan Yurina barusan, Anjas refleks menggenggam pergelangan tangan gadis itu. Namun, tak berselang lama. Cengkraman Anjas lepas setelah ada tangan lain yang menggenggam lengannya.

Genggaman tersebut sangat kuat sampai-sampai Anjas tak kuasa menahan erangan sakit. Semua orang yang melihat itu merasa makin gemetar, situasi menegangkan yang biasa terjadi kalau semuanya tidak berjalan sesuai keinginan mereka–Yurina dan Jordan.

"Mau ngapain, lo? Kalau lo mau macem-macem bakalan gue patahin tangan lo." Jordan memberikan tatapan mengerikan, membuat bulu kuduk siapa pun yang melihatnya akan berdiri. Anjas seperti baru saja membangunkan hewan buas itu.

Mungkin Anjas hanya mendengar desas-desus saja mengenai pemimpin di Kelas C. Sehingga dia kurang percaya dengan rumor yang beredar. Namun, selama beberapa hari mengawasi, Anjas yakin kalau pemimpin Kelas C, Jordan tidak terlalu berbeda dengan Ryan.

Jadi dia ingin kalau dirinya tidak terlalu terlibat. Bahkan beberapa hari ini Anjas meragukan rumor yang mengatakan kalau Jordan adalah siswa yang kasar. Apalagi dia sudah melihat secara langsung kalau siswa itu hanya diam tanpa melakukan apa-apa selama sekolah berlangsung.

Hanya wajah garangnya sajalah yang nampak menakutkan, dan Anjas jadi berpikir kalau rumor itu hanya karena wajahnya yang menyeramkan. Namun, setelah merasakan langsung cengkraman dan kata-kata intimidasi dari Jordan, sekarang ia menyadarinya.

"Udah-udah, gue enggak apa-apa, kok," Yurina menepuk-nepuk lengan besar Jordan lalu melihat lagi ke arah Anjas, "lagian kita cuma mau nuker A-Card punya lo sama Jordan. Jadi santai aja."

Anjas tidak mengerti apa yang dimaksud gadis itu. Menukar benda yang diberikan oleh pihak skeolah. Apa benar diperbolehkan? Begitulah wajah kebingungan Anjas terlukis.

"Udah denger, 'kan?" Jordan melempar lengan Anjas. Sekali lagi dia berdecih dengan ekspresi yang masih menyimpan kekesalan. Kebenarnya Jordan tidak suka melakukan kekerasan tersebut.

Setelah mengambil A-Card milik sendiri, Jordan menyodorkannya kepada Anjas. Dengan ketakutan yang masih tersisa, tangan gemetar itu mengambilnya tanpa protes.

"Enggak apa-apa, kok. Lagian A-Card ini enggak perlu pakai ID buat gunainnya. Jadi kalau kita tukeran, enggak bakalan ada masalah." Yurina seolah-olah menjawab pertanyaan murid-murid mengenai masalah tadi.

Akan tetapi, masih ada beberapa hal yang tidak terjawab di kepala mereka. Kenapa Yurina dan Jordan melakukannya?

Tidak tahan dengan pertanyaan yang semakin membengkak, salah satu murid yang ada di bangku barisan tengah bertanya.

"Kalian sebenarnya pengen ngelakuin apa?"

"Hmm, kalian udah denger apa yang dibilang sama Ms. Oktavia kemarin, 'kan?"

Semuanya mengangguk atas pertanyaan Yurina.

"Nah, kalau kita ngecek panggung bakalan dapet poin bonus pas free event dimulai. Tapi pas pengen ngecek panggung kemarin, malah enggak bisa.

"Soalnya Kelas A udah duluan, terus mereka malah diem aja di sana. Enggak ngebiarin kita buat ngecek panggung."

Mendengar hal itu mereka semua nampak terkejut. Beberapa sumpah serapah dan protes secara tidak langsung kepada Kelas A seakan otomatis terlontar dari mulut mereka. Yurina mengatakan kebenaran. Kelas A sudah memulai strategi mereka tepat sebelum free event dimulai.

"Dan karena itu, gue bakalan nyuruh lo bolos dan ngecek panggung biar kita dapetin poin bonus pengecekan," bisik Yurina sambil menyerahkan A-Card milik Anjas tadi kepada Jordan.

"Cih, lo emang suka nyuruh gue ngelakuin macem-macem."

"Enggak apa-apa, 'kan? Lagian lo itu Amemayu Children's sama pointer kelas ini. Kalau lo punya poin lebih di awal, kita bakalan bisa beli kartu merah lagi."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top