(Vol. 2) 1st Event: Penebang Kayu (Bagian 7)

"Tunggu bentar, ya. Damar bentar lagi balik, kok."

Ujar gadis pendek berblazer putih yang kini duduk berhadapan denganku dalam ruangan OSIS. Matanya terus menatapku. Selain itu, sudut bibirnya yang terus terangkat sedikit membuatku merinding.

"Ah, iya."

Aku memberikan tanggapan seperlunya. Namun, pihak lain tampak sama tidak mempermasalahkannya. Dia adalah gadis pendek yang sebulan lalu aku temui di ruangan ini juga ketika mengambil formulir klub. Dari nametag yang ada di sebelah dada kanan blazernya, aku bisa tahu kalau namanya adalah Amelia.

"Mau minum dulu sambil nunggu?"

"Enggak, makasih."

Aku orang yang tahu diri, menolak tawaran dari orang mencurigakan adalah bentuk pertahanan diri. Maksudku, bagaimana mungkin dia tidak mencurigakan kalau terus memasang senyum itu dengan sorot mata yang aneh?

Dia tampak cemberut, untuk sesaat senyuman tadi menghilang sebelum kembali lagi ketika mengambil dua botol minuman dingin dari bawah meja. Tunggu, bukannya tadi aku menolak?

"Silakan diminum, kalau udah enggak dingin bakalan enggak enak, lho." Amelia mengambil salah satunya dan membuka minuman tersebut.

Aku tidak bisa bereaksi apa-apa atas perkembangan macam ini. Maksudku, dia mungkin memiliki kepribadian yang tidak bisa aku tangani.

Selain ekspresinya yang menakutkan, Amelia memiliki sikap aneh yang terus mendorong orang lain untuk mengikuti kemauannya. Lebih tepatnya dia memaksa orang lain bergerak sesuai keinginannya.

"Apa dia masih lama?"

Sambil mengambil minuman di atas meja dengan ragu-ragu, aku membalas tatapannya yang dari tadi membuatku gelisah. Seolah-olah sudah diincar karnivora dibalik semak-semak, insting untuk melarikan diri dengan segera.

Setelah meneguk minumannya, Amelia memiringkan kepala melihat langit-langit. Dia menjawab, "Entah, aku juga enggak tau. Kayaknya bakalan lama, soalnya dia juga lagi ngurusin acara buat kelas dua sama kelas tiga."

Setelah dipikir-pikir, dia memang bilang kalau dirinya sibuk. Bahkan orang itu memindahkan janji pertemuan dari sepulang sekolah ke istirahat pertama. Namun, dirinya malah juga tidak ada di sini dan aku malah terperangkap dengan sekretaris OSIS yang mencurigakan.

Kalau memang tidak bisa bertemu, seharusnya dia tidak membuat janji seperti ini. Aku menghela napas ringan.

Belum lagi, saat tadi masuk aku sama sekali tidak melihat dirinya di sini sejak awal. Bagaimana dengan Ryan? seperti yang ia bilang sebelumnya, mengisi rekening di ruang OSIS dan langsung kembali. Aku yang ingin ikut karena tidak adanya dia malah ditarik masuk oleh Amelia.

Aku benar-benar dalam kebingungan. Topik apa yang harus aku bicarakan dengannya? Sedangkan dengan orang-orang yang seangkatan denganku saja, mulut ini kesulitan mencari hal untuk diperbincangkan.

Menghadapi kakak kelas, kelihatannya terlalu mustahil. Aku benar-benar ingin melarikan diri secepatnya.

"Kamu keliatannya cewek yang pendiam. Padahal Damar bilang kamu ini cerewet." Melihat kegelisahanku, Amelia mengatakannya dengan nada enteng.

Menanggapi ucapannya itu, aku tidak pernah berpikir kalau dia akan menyebutku cerewet. Mustahil, aku dan dia hanya bertukar sapa seperlunya. Bahkan sebagai saudara, kami tidak bisa dibilang dekat.

Lebih seperti hanya sebuah status lisan yang tidak berpengaruh apa pun. Selain itu, aku masih membencinya. Kalau tidak, mana mungkin aku tidak jijik setiap kali harus bertemu dengannya dan mengakui kalau dia adalah kakakku.

"Dia juga bilang kamu itu terlalu percaya diri, sombong, sama bosenan," Amelia berhenti setelah mengatakan berbagai omong kosong mengenai sikap yang mustahil aku miliki. Seolah-olah mengingat sesuatu, dirinya melanjutkan, "oh, kayaknya aku salah. Itu adiknya Damar yang lain."

Amelia sengaja mengucapkan itu, sebab tak ada ekspresi lain kecuali senyum cerah yang menghiasi wajahnya. Tanpa penyesalan dan ragu-ragu, dia sedang bersenang-senang dengan dirinya sendiri.

Ah, aku paham sekarang. Orang ini mengetahuinya, dan sedang berusaha bermain-main denganku.

"Kakak kayaknya tau banyak, ya?"

Menanggapi maksudnya, aku merasa memang harus seperti itu. Lagipula tidak ada jalan untuk lari, menghadapinya adalah satu-satunya pilihan. Tubuhku sudah terperangkap oleh jaring laba-laba.

"Jangan takut kayak gitu. Yang tau kalau kamu juga adiknya Damar sedikit, kok. Ya, anggap aja aku satu-satunya. Ngomong-ngomong, panggil aja aku Amel."

Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia malah mengatakan kalau orang-orang yang mengetahui hal itu sendiri sedikit. Namun, aku tidak bisa langsung menerima klaim sepihaknya. Aku belum bisa menempatkan kepercayaan atas ucapan Amelia.

Bukannya mengejutkan, aku ingat kalau ada satu orang lagi yang sepertinya mengetahui masalah itu. Meski ia tidak menunjukkannya secara terang-terangan seperti apa yang Amelia lakukan sekarang.

Asumsi terburukku ada lebih banyak orang dari apa yang bisa aku bayangkan mengetahui tentang hubungan rumitku dengan Damar dan juga adik yang seumuran denganku.

"Sejauh mana yang Kak Amel tau?"

Tak ada gunanya melarikan diri, sekarang aku hanya bisa terus maju dan coba mendorongnya membuka mulut. Risiko yang akan ditimbulkan sudah pasti adalah kerugian dipihakku sendiri. Aku harus berhati-hati dalam tarap tertentu.

"Hm ... gimana kalau aku bilang kalau tau aku soal kalian bertiga. Damar, kamu, sama dia yang ada di kelas–"

"Maaf aku terlambat." Belum sempat Amelia menyelesaikan kata-katanya, interupsi dari suara berat datang bersamaan dengan sosok laki-laki tinggi berkacamata yang memasuki ruangan.

Rambutnya tersisir rapi kebelakang, menyisakan sedikit poni ke samping kanan. Raut mukanya tetap kaku seperti biasa. Matanya nan tajam menembus kacamatanya sendiri ketika menatapku.

"Wah, kamu udah selesai aja. Padahal aku lagi asyik ngobrol sama Aila," ujar Amelia sambil menoleh ke belakang.

Tidak ada balasan. Damar malah langsung berjalan kemari dan berhenti tepat di samping sofa yang diduduki oleh Amelia. Gadis itu seakan mengerti dengan sifatnya nan diam. Ia segera bangkit dan meninggalkan ruangan. Meninggalkan pertanyaanku tadi bagai angin lalu.

Hanya ada kami berdua di sini sekarang. Suhu ruangan rasanya turun beberapa derajat ketika kami duduk berhadapan. Sudah cukup lama kami tidak mengobrol dengan situasi seperti ini, rasanya sedikit membuat gugup.

"Aku tidak akan mengatakan aku tidak marah karena kelakuanmu saat event kemarin. Tapi, bukannya Santoso sudah bilang untuk selalu berhati-hati? Tapi, berpikir kalau kamu sampai menghancurkan alat musik orang lain melalui tangan orang lain. Itu masih terlalu ceroboh, karena sekolah tetap akan mengetahuinya."

Hal pertama yang keluar dari mulutnya adalah komplain yang dia bawa beberapa hari lalu. Sepertinya Damar masih mencoba mengejar kekesalannya karena aku melakukan tindakan mencolok saat event.

Harusnya hal ini tidak mungkin bocor begitu saja kalau aku tidak menggunakan aplikasi Amemayu untuk berinteraksi dengan orang lain. Hanya itu kemungkinannya. Log percakapan kami melalui smartphone juga diperhatikan pihak Amemayu.

Kalau tidak, mana mungkin dirinya tahu tentang keterlibatanku merusak beberapa alat musik murid Kelas D melalui bantuan Tiara yang menyuruh murid-murid di kelasnya–Kelas B.

"Lain kali aku bakalan hati-hati," aku menunduk lalu menambahkan, "sama, maaf karena ngelakuin hal itu."

Damar menghela napasnya pasrah. "Aku tidak mengharapkan kamu akan melakukan sesuatu nantinya. Aku lebih suka kamu tidak melakukan sesuatu yang aneh-aneh."

"Aku cuma mau ngamanin kehidupan aku di sekolah ini."

Dia diam beberapa saat, lalu kembali mengembuskan napasnya. "Justru perbuatanmu itu yang akan menghancurkan kehidupanmu sendiri."

Ada kekhawatiran dalam nada bicaranya. Damar terus memegangi kepalanya, menahan sakit kepala karena banyak yang dia pikirkan. Mungkin.

"Pasti karena ada Amemayu Children's, 'kan?"

Aku tidak suka bermain tebak-tebakkan, tetapi melihat tubuhnya yang tiba-tiba menegang aku bisa tahu kalau apa yang baru saja aku lontarkan adalah kebenarannya.

Sebelum masuk ke sekolah ini, aku telah diajarkan beberapa tata cara hidup seperti siswa pada umumnya. Belajar berinteraksi dengan orang lain melalui internet, walau tidak berhasil. Dan juga, sedikit informasi terkait Amemayu Children's.

Intinya, Pak Santoso mengatakan, "Jangan terlalu mencolok, atau kamu akan berurusan dengan Amemayu Children's yang tidak ragu-ragu menghancurkan orang lain untuk tujuannya."

"Selama kamu paham dan ingat tentang itu. Aku tidak akan bertanya sebanyak apa yang kamu ketahui. Aku akan mengatur ke pihak sekolah agar kartu yang akan kamu dapatkan nanti adalah kartu sederhana."

Alur pembicaraan kami bergerak dengan cepat. Dia juga mengatakan tentang sesuatu yang berhubungan dengan free event nanti. Namun, ketika aku mencoba untuk mencari informasi, Damar tutup mulut dan akan menyerahkan penjelasannya pada setiap wali kelas.

"Cuma itu yang pengen kamu bicarain?" tanyaku hendak memastikan. Ini lebih buruk dari yang kupikirkan. Kalau hanya untuk mendengarkan ini dan membuang kesempatan untuk akrab dengan kelompok Vero. Benar-benar ketidakberuntungan.

"Terakhir, aku berharap kamu tidak terlibat dengan dia. Meski tidak secara terang-terangan, kamu masih ingat ketika dia mengetahui kalau kamu juga anak ayah, 'kan?"

Ah, dia ya? Aku masih ingat dengan wajah gadis itu, yang begitu tidak terima kalau aku juga adalah anak dari pria yang mengerikan. Dia bahkan terus mengutukku dengan sumpah serapahnya dan selalu bilang lebih baik daripada aku.

Ya, aku memang melihatnya di sekolah, tetapi sepertinya dia tidak mengingatku. Apakah itu sebuah keberuntungan? Kalau bisa aku tidak ingin terlibat dengannya–adikku–lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top