(Vol. 2) 1st Event: Penebang Kayu (Bagian 6)
Aku menuju tangga dekat kantin yang menghubungkan lantai-lantai gedung ini.
Tiga lantai yang memisahkan setiap angkatan, lantai pertama adalah tempat kami–murid kelas 1. Sementara lantai kedua diisi oleh kelas dua dan begitupula di atasnya. Di lantai teratas juga terdapat ruang OSIS, tempat pertemuanku dengan orang itu nantinya.
"Keliatannya kamu lagi buru-buru. Mau ke mana?"
Suara familiar masuk ke telingaku ketika kaki ini baru menaiki dua-tiga anak tangga. Aku menoleh ke belakang, tepat di mana sumbernya berada. Sosok siswa dengan blazer camel berdiri di sana. Tersenyum ramah, seolah memberi kesan dia adalah orang yang terbuka dan juga santai.
Tatapannya yang teduh itu terus mengarah kepadaku, penasaran. Meski begitu senyumannya sama sekali tidak luntur, bahkan bertambah lebar ketika dirinya memotong jarak di antara kami.
"Ada perlu apa?" Aku menghentikannya menaiki anak tangga setelah mengeluarkan pertanyaan barusan.
"Aku cuman penasaran kenapa partner aku tiba-tiba naikin tangga ini. Enggak ada alasan buat kelas 1 kayak kita untuk ke sana, 'kan?"
"Aku mau nukerin popularitas bulan ini sama saldo di tabungan. Bukannya semua orang ngelakuin itu?"
Itu bukan kebohongan, karena aku memang belum menukar popularitas bulan ini dengan uang. Satu-satunya tempat yang menukarkannya adalah ruang OSIS, semua murid ke sana untuk melakukannya.
Kemarin aku tidak sempat melakukannya karena memang merasa tidak perlu berdesak-desakan dengan murid lain, aku harap di hari kedua ini suasananya jadi lebih longgar. Namun, tentu saja tujuanku ke sana bukan hanya itu.
"Kalau gitu kebetulan banget, aku juga pengen ngelakuin itu." Ryan tertawa kecil setelah kata-kata ringan tadi. Lengkungan bibirnya sama sekali tak bergerak dan dia malah mulai mengambil kembali langkahnya yang sempat terhenti.
"Bukannya kamu bilang enggak ada alasan buat anak kelas 1 ke sana?"
Ryan terdiam lagi ketika sudah ada di sampingku.
"Ya, ngambil uang itu beda cerita. Lagian aku beneran belum ngambil uang, kok. Apalagi harus bayar tunggakan keyboard yang belum lunas semalam."
Itu mengingatkanku tentang sesuatu. Ryan yang merupakan Kelas D pada event bulan lalu sengaja menargetkan murid-murid Kelas F untuk membentuk kelompok dengan teman-teman sekelasnya.
Tujuannya adalah untuk lebih mudah mengambil keuntungan dengan menebak anak-anak dari Kelas F yang mengaktifkan A-Box sehingga dirinya bisa mendapatkan banyak popularitas.
Tentu itu akan menjadi kerugian besar bagi murid-murid Kelas F kalau saja mereka tidak memakai fitur guest performance untuk memperoleh popularitas sebagai syarat tidak terkena dropout.
Dari banyaknya siswa yang bergabung dengan anak-anak Kelas D dan mereka dua kali tertebak, bukankah seharusnya Ryan mendapatkan banyak popularitas sehingga bisa meninggalkan kelasnya saat ini? Aku penasaran kenapa dia masih ada di Kelas D.
"Hei, apa aku boleh tanya sesuatu?" Kalaupun dia tidak memberikan izinnya, aku akan tetap mengejar topik yang terlintas di kepalaku.
"Harga keyboardku semalam 25 juta, makanya aku bilang ada tunggakan. Beruntungnya aku banyak untung dari nargetin Kelas F, haha."
Ryan malah memberikan jawaban yang sama sekali tidak aku perlukan, sehingga aku malah memberikannya tatapan skeptis.
"Yang pengen aku tanyain itu, kenapa kamu masih ada di Kelas D?"
Bukannya menjawab, Ryan hanya tertawa sambil melangkahkan kakinya dari satu anak tangga ke anak tangga yang lainnya. Aku tidak punya pilihan lain kecuali mengikutinya. Terlalu mencolok memang kalau kami berdiam di sana untuk berbincang-bincang.
Meski dibilang berjalan, langkah kami sama pelannya. Seolah memberikan kode kalau pembicaraan tadi bisa dilanjutkan sekarang. Mengingat jarang sekali orang-orang akan melewati tangga jika tidak ada kepentingan seperti menukar uang atau ada murid dari kelas atas yang pulang ke asrama.
Selain itu kami bisa melihat sisi atas atau bawah kalau-kalau ada orang yang datang, sehingga penguping mudah diketahui. Namun, itu bukanlah sesuatu yang mutlak. Ini lebih mirip seperti kami sedang berada di sangkar burung yang tergantung.
"Kenapa aku masih di Kelas D, ya? Hm, kenapa kamu enggak nebak aja?" Ryan membuka percakapan itu ketika kami sudah hampir sampai di lantai dua.
"Sekarang kamu mau main rahasia-rahasiaan, ya?" Aku sedikit kesal dengan balasannya.
Ryan kembali tertawa, tetapi meski begitu wajahnya masih terus memancarkan aura bersahabat yang begitu menenangkan. Apa itu yang disebut dengan karisma?
"Bukannya rahasia, sih. cuman, itu enggak boleh dikasih tau sama orang lain," jawab Ryan sambil meletakkan telunjuk di bibirnya nan tersenyum. Dia pun lalu mengalihkan topik. "Keytar punya kamu semalam kalau enggak salah harganya tujuh atau delapan juta, 'kan?"
"Kenapa?"
"Pasti itu juga belum lunas, 'kan? Berapa uang muka yang kamu bayar bulan kemarin?"
"Seperempat dari tujuh juta, dan aku harus bisa lunasin itu sampai akhir semester. Bulan ini baru dapat satu juta, mungkin aku harus ningkatin popularitas aku buat event berikutnya sampai 6.000 biar bisa lunasinnya."
Aku membeli alat musik untuk mengikuti event dengan kredit. Malah aku berpikir, biarpun seorang murid Kelas A pasti juga akan melakukan hal yang sama. Soalnya alat musik yang dijual di sekolah ini adalah alat musik dari merek yang terkenal.
Keytar milikku saja harganya tujuh juta, belum lagi drum milik Tiara semalam kalau tidak salah harganya 28 juta. Harga-harga yang tidak masuk akal kalau melihat kantong kami sebagai murid SMA.
Namun, yang kita bicarakan ini adalah Amemayu. Kalau saja tidak diberi sistem popularitas, mungkin kami tidak pernah akan membeli alat-alat musik dengan merek ternama seperti itu hanya untuk melakukan pentas yang sejujurnya juga tidak benar-benar ingin melakukannya.
"Mau aku bantu lunasin?"
Perkataan manisnya yang datang tiba-tiba itu membuatku terdiam. Bahkan aku sempat menampilkan ekspresi tidak percaya untuk beberapa saat sebelum Ryan menyadari dan berbalik ke arahku.
Kupingku benar tidak bermasalah, 'kan? Maksudku, itu kata-kata yang terdengar mustahil keluar dari laki-laki yang bernama Ryan Pratama. Aku tahu kalau diluarnya dia memang kelihatan baik dan ramah, tetapi di dalamnya sangat berbeda jauh.
Kami seolah membeku di tangga yang menuju lantai tiga. Padahal suasana di sini sama sekali tidak dingin, suhu ruangan pun rasanya lebih hangat dibandingkan kemarin.
Kami saling berhadapan. Aku menatapnya dengan penasaran sekaligus curiga. Berbanding terbalik dengan dirinya yang terus menatapku lembut. Merasa situasi ini bisa bertambah canggung karena kesunyian aneh, aku pun buru-buru membalas.
"Enggak perlu, aku bisa ngelunasin sendiri. Bukannya kamu harus lunasin instrumen kamu sendiri yang lebih mahal daripada punya aku?"
Ryan tertawa ringan sembari mengiyakan perkataanku tadi. Kami akhirnya seakan lepas dari sihir pengekang yang singkat barusan. Akhirnya kami tiba di lantai terakhir di mana kelas 3 dan juga ruangan OSIS berada.
Meski jam istirahat, aku tidak banyak melihat murid-murid yang berada di kantin atau lorong. Semuanya tampak sepi, hanya ada satu dua orang yang berpapasan dengan kami.
Anehnya lagi ketika aku melihat kelas 3-A yang terbuka, tidak ada isinya sama sekali. Ini benar-benar aneh, apa mereka memiliki tempat menghabiskan waktu yang tidak aku ketahui di lantai ini?
"Sama kayak kelas 1, murid kelas 3 juga ngelaksanain event. Tapi enggak kayak kelas 1, mereka ngelakuin event di sekolah ini dan enggak bergantung pada vote penonton buat ngehasilin popularitas."
Seolah membaca pikiranku, Ryan bersuara. Namun, pandangannya tetap lurus ke depan dan sama sekali tidak menoleh ke arahku.
"Jadi maksud kamu mereka lagi ngelakuin event sekarang?"
"Bisa jadi. Kalau kamu mau liat sama ada waktu gimana kalau nonton sehabis pulang sekolah? Aku yakin masih ada kelompok yang ngelakuin event entar."
Tunggu, setelah pulang sekolah? Aku ingat kalau orang yang mengajakku bertemu juga berkata kalau dirinya tidak bisa pada waktu itu karena memiliki kepentingan lain. Apa mungkin alasannya adalah event?
Belum sempat aku menjawab tawarannya, kami sudah tiba di depan ruang OSIS. Ryan tersenyum sekali lagi sebelum akhirnya masuk lebih dulu ke dalam sana. Sementara aku masih berada di luar sini, menyiapkan diri untuk menemui orang itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top