(Vol. 1) 4th Event: Pinocchio (Bagian 9)
Bel pulang berbunyi, seharusnya aku sudah kembali pulang ke asrama bersama dengan Vero dan teman-teman. Sayangnya, hari ini aku harus menolak ajakan mereka karena harus menyelesaikan masalah kelompok. Terlebih lagi, saat ini Sherly terus menempel padaku karena takut untuk menghadapi anggota lain.
Sekarang kami berada di lorong sekolah yang sepi, hendak menuju Kelas B untuk mengakhiri kecurigaan antar anggota agar kelompok bisa terus maju. Aku sudah meminta Daniel agar bisa mengajak yang lain untuk membahas masalah ini, terlebih lagi Tiara. Aku masih ragu-ragu huntuk hanya sebatas mengiriminya pesan.
Suara sepatu bedecit terdengar, akibatnya aku hampir terjatuh karena Sherly begitu dekat denganku. Tangannya gemetar, aku tidak bisa menyalahkannya kalau begini. Aku jadi penasaran, apakah Sherly memang selalu seperti ini atau dia jadi penakut parah setelah diintimidasi Ryan.
Akhirnya kami sampai di depan pintu Kelas B, di dalamnya pasti sudah ada Tiara dan Daniel. Awalnya memang ragu-ragu, sebab kali ini aku harus bisa membuat kelompok kembali akur dengan sebuah pengorbanan. Sherly bisa saja dibenci jika mengatakan kebenaran, namun hanya itulah pilihannya.
Aku melangkah masuk, Sherly mengikuti sambil menarik blazerku dari belakang. Kelas yang hampir kosong menyambut kami, tidak ada siapapun kecuali dua orang yang menunggu. Daniel duduk di kursinya dan tampak senang melihat kedatangan kami. Sementara Tiara menatap pemandangan di luar melalui jendela.
"Tinggal nunggu Anjas berarti ya," ujar Daniel bangkit dari kursinya. Dia berjalan mendekati kami.
Tiara terus diam, ia sama sekali tidak menoleh walaupun sudah tahu kalau kami sudah datang. Aku khawatir kalau kebenciannya makin dalam dan ketika mengetahui kalau Sherly adalah pelaku utamanya dia mungkin akan sangat marah. Berbagai perhitungan sudah kulakukan, satu-satunya cara agar masalah ini selesai tanpa menambah masalah lain.
"Niel, bisa aku ngomong berdua aja ama Tiara?" tanyaku masih memandangi gadis itu.
Untung saja sepertinya Daniel mengerti, dia segera pergi keluar bersama dengan Sherly. Pintu tadi bahkan ditutup, mencegah suara kami supaya tidak begitu terdengar keluar. Kini hanya ada aku dan dia di dalam ruangan yang penuh kursi itu.
Ini adalah pilihan terbaik yang akan aku ambil. Aku tidak peduli apakah hasilnya akan baik atau malah sebaliknya. Untuk sekarang aku hanya memikirkan keegoisanku supaya bisa berbaikan dengan Tiara, namun ia tidak akan menyalahkan Sherly atau siapapun.
Aku mulai melangkahkan kaki untuk mendekatinya, tekadku sudah bulat, tak ada lagi jalan kembali. Aku sedikit terkejut ketika Tiara berbalik, mata kami akhirnya memandang satu sama lain. Namun, tidak ada satupun kata yang keluar dari mulut masing-masing.
"Tiara," panggilku ingin melihat responnya. Aku bersuara dengan penuh keraguan.
Sama sekali tidak ada balasan, ia memang benar-benar masih marah karena memang mengira akulah yang mengkhianati kelompok. Pandangannya dingin, persis seperti saat pertama kali kami bertemu.
"Apa kamu bisa buktiin kalau bukan kamu yang ngasih lagu itu ke kelompok lain?" tanya Tiara angkat suara.
Benar-benar berbeda dengan Tiara yang biasanya santai dan mudah diajak bicara, ia kini kelihatan sangat serius. Aku ingin memperbaiki hubungan dengan teman pertamaku saat keluar dari tempat ini, tidak peduli apapun yang akan terjadi. Aku tidak akan mundur lagi.
"Sebenarnya yang ngasih lagu itu ke kelompok lain ...."
Tidak, aku tidak bisa mengatakannya. Jika kebenaran tentang Sherly ini diungkap, bisa saja masalah akan bertambah runyam. Apalagi dari awal Tiara memang tidak pernah menyukai dua orang dari Kelas D tersebut. Aku sudah terlanjur ingin memberitahunya.
Wajah Tiara tampak kebingungan, ia menunggu aku untuk menyelesaikan kalimat tadi. Aku sama sekali tidak bisa menyelesaikannya, karena kalau kebenaran itu terungkap kami tidak bisa melakukan pentas dan semuanya akan berakhir dengan sanksi DO.
"Sebenarnya emang aku yang ngasih lagu itu ke kelompok lain."
Aku mengatakan sesuatu yang malah bisa benar-benar menghancurkan hubungan kami. Hanya inilah cara yang aku pikirkan agar kelompok ini bisa segera pentas. Ekspresi Tiara tadi yang tenang jadi terkejut kemudian berganti lagi menjadi marah.
Ia melangkah ke arahku, semakin dekat dengan amarah yang sudah memuncak. Aku tidak berani melihat matanya sehingga hanya bisa menundukan kepala. Tiara sudah ada dihadapanku, terlihat jelas dari kakinya yang berdiri di sana. Tiba-tiba sebuah tamparan mengenai wajahku, rasanya sangat sakit sehingga dengan refleks aku memegangi pipi kiriku.
Pandanganku sedikit buram karena air mata yang timbul. Namun sangat jelas aku bisa melihat Tiara yang menangis setelah melakukan tamparan tadi. Air matanya menetes, membasahi wajah dan akhirnya jatuh. Rasa sakit tadi seakan berpindah dengan cepat ke dadaku. Tidak, lebih tepatnya di hatiku.
"Aku benci!" seru Tiara masih berlinangan air mata.
Aku tahu ini memang konsekuensi dari pilihanku sendiri, tapi rasanya terlalu menyakitkan. Aku tidak sanggup lagi, air mataku juga akhirnya jatuh. Mendengar perkataan itu dari orang yang dianggap sebagai teman pertama benar-benar seperti menikam jantung sendiri dengan pisau.
"Gara-gara kamu, aku jadi ke paksa masuk sekolah ini, gara-gara kamu, aku bakalan dikeluarin sama kayak Kakak aku! Emangnya aku ada salah apa sama kamu!?" Tiara terus mencaci, semakin membuat hatiku teriris ketika ia membeberkana fakta yang seharusnya tidak kuketahui.
Air mataku terus jatuh, begitupula dengan Tiara. Luapan emosi ini membuatku nostalgia, entah sudah berapa lama aku tidak menangis atau apakah ini tangisan pertamaku setelah menjadi remaja? Entahlah aku lupa.
"Gara-gara kamu, aku dipaksa sama Ayahaku buat sekolah di sini. Aku udah coba baik sama kamu, tapi kamu malah bikin kita semua bakalan dikeluarin dari sekolah ini. Aku benci banget sama kamu!"
"Maaf." Aku menundukkan kepala lagi.
Hanya ada keheningan yang menyelimuti kami. Aku tidak mendengar kata-kata apapun dari Tiara kecuali isak tangisnya. Mataku sama sekali tidak berani melihat ke arahnya, hanya akan ada rasa sakit jika melihat teman pertamaku menangis.
Tiba-tiba tangan Tiara menarik kerah blazerku, menarik tubuh ini sehingga muka kami saling berhadapan. Jelas sekali ia masih kesal, aku bisa melihat jelas pipi basah dan hidungnya memerah.
"Aku, kepaksa ngelakuin itu," lirihku sembari memalingkan wajah.
Tiara tampak bingung, ia bertanya masih dengan nada marah kalau dirinya sama sekali tidak mengerti dan memintaku menjelaskannya. Aku akan mengatakan kebohongan sekali lagi, tapi jika memang sebuah kebohongan memang bisa menyelesaikan masalah, apapun akibatnya akan aku pertaruhkan.
"Kalau kamu di ancam bakalan langsung di DO dan bakalan dikembaliin ke tempat asal kamu, pasti kamu akan ngelakuin hal yang sama. Emangnya kamu pikir aku mau ngasih lagu itu gitu aja!" aku balas membentak setelah tadi menyingkirkan tangan Tiara.
"Itu karena kamu paksa Ayah aku ngerekomendasiin kamu ke sekolah! Harusnya kamu jangan libatin keluarga aku sama masalah pribadi kamu!"
Aku tahu itu, jauh dari lubuk hatinya, Tiara sama sekali tidak mau berada di sekolah ini. Ia diminta oleh Ayahnya untuk menemaniku di sekolah ini, apakah sekarang dirinya benar-benar meluapkan segala perasaan yang tertahan di hatinya, aku sendiri tidak tahu.
"Makanya aku minta maaf. Aku juga pengen kelompok kita pentas buat nyelesain event ini supaya enggak di DO. Kamu bakalan tetap pentas, 'kan?" aku menurunkan nada suara.
"Asal kamu tau, aku juga enggak mau di DO. Aku tetap bakal ngelakuin pentas, meski satu panggung sama kamu. Tapi, aku tetap benci dan enggak bakalan maafin kamu." Tiara menatapku serius. Meskipun rencanaku berbaikan dengannya gagal, paling tidak hasil ini lebih baik daripada yang aku harapkan.
Limabelas menit sudah berlalu semenjak pintu tertutup. Meskipun kami sudah melepaskan perasaan yang menjanggal dihati kami masing-masing, tetapi masih ada sedikit rasa kesal dan menolak sebuah permintaan maaf.
"Terus, gimana caranya kita pentas kalau lagu aja enggak punya?" pertanyaan itu keluar dari mulut Tiara.
Matanya yang masih berkaca-kaca malah membuat hatiku semakin sakit. Tidak pernah aku duga menerima kebencian atas apa yang tidak aku perbuat akan sangat menyakitkan.
Aku juga sama, meneteskan air mata lagi setelah melihat matanya lebih dalam. Akhirnya aku sadar, diri ini sama sekali belum siap untuk dibenci oleh teman pertamaku yang berharga.
Andai saja aku lebih mendengarkan keegoisan dalam diriku, Sherly yang akan menanggung segalanya. Namun, pemikrian logis lebih mendominasi kali ini. Aku sama sekali tidak mau dikeluarkan dari sekolah, segalanya akan aku korbankan untuk tetap bertahan di sekolah ini.
"Kamu enggak punya jawaban, terus ngapain minta maaf?!"
Sekali lagi ia tersulut kemarahan, aku masih belum yakin apakah dengan lagu baru kami masih sempat untuk latihan dan melakukan pentas kelompok. Waktu yang tersisa kurang dari seminggu, melihat dari kemampuan masing-masing individu agar bisa mahir dengan lagu baru paling tidak harus berlatih keras selama lima hari.
Kami kehabisan waktu, aku sendiri baru menyadarinya. Lagu baru tidak akan menyelamatkan kelompok. Permainan kami sangat rendah, bahkan sulit jika harus langsung mengingat nada baru. Kalau dipaksakan, kami akan melakukan pentas pada hari terakhir lima kali, hanya itu pilihannya.
Pertanyaan terbesarnya adalah, apa kami sanggup? Aku sama sekali tidak bisa menjamin kalau stamina kami akan kuat jika melakukan pentas lima kali, tapi yang lebih membuatku khawatir adalah kelompok-kelompok yang lain.
Mereka juga akan berpikir kurang lebih sepertiku, menghabiskan sisa hak pentas di hari terakhir. Akan banyak antrian disetiap panggung, dan jaraknya yang jauh akan membuang-buang waktu dengan percuma di perjalanan. Kalau di satu panggung saja, waktu akan habis karena bergantian dari setiap kelompok.
Jika terus memikirkan ini kelompok kami tidak akan bergerak. Aku harus optimis, kelompok ini bisa pentas lima kali dalam sehari. Untuk benar-benar bisa tetap eksis di SMA Amemayu kami harus melakukannya. Pilihan yang kami punya bukanlah bisa atau tidak, tetapi mau atau tidak.
"Ya, kita punya," balasku yakin.
Dengan segala bentuk optimistik, aku meyakinkan diri sendiri kalau besok kelompok kami sudah bisa berlatih lagu baru. Tiara menatapku, dengan perasaan ragu. Aku mengerti, dia tidak mungkin bisa semudah itu percaya padaku yang dianggap sebagai pengkhianat.
"Apa kamu punya jaminan kamu enggak bakalan ngasih lagu kita ke kelompok lain lagi?" selidik Tiara memberikan tatapan tajam.
Gadis ini masih mencurigaiku, ayolah andai saja aku beritahu kebenarannya. Tetapi, Tiara memberikanku sedikit pencerahan. Untuk menghindari kejadian seperti ini lagi aku harus menyerahkan file lagu dan aransemen hanya pada Tiara. Tidak boleh ada yang memiliki salinan, baik Sherly, Anjas, maupun Daniel.
"Aku enggak bakalan ngelakuin itu."
Hening, kami hanya menatap satu sama lain tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sibuk dengan pikiran masing-masing mengenai kelanjutan kelompok pada saat event nanti, hanya waktulah yang bisa menjawab apakah kami masih bisa tetap sekolah di SMA Amemayu atau tidak.
"Aku memang enggak percaya sama kamu, tapi aku enggak ada pilihan lain. Kalau aku enggak di DO, terus masih ada event lagi. Aku enggak bakalan bantuin kamu," ketus Tiara jengkel.
Aku terdiam, sama sekali tidak ada kesempatan agar kami berbaikan dan berteman kembali. Kebencian yang selama ini disimpannya sudah tumpah, mulut pedas itu juga sudah membuktikan kalau kami memang akan terus seperti ini, dibenci dan membenci.
"Kalau gitu, ini terakhir kalinya aku minta bantuan sama kamu. Kamu mau nurutin, 'kan?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top