(Vol. 1) 4th Event: Pinocchio (Bagian 3)
14 Agustus 2025
Ryan melemparkan sebuah flashdisk yang dia ambil dari kantungnya. Aku menangkap benda tersebut. Bersamaan dengan Ryan yang kembali berdiri, aku memasukannya ke dalam saku. Anak laki-laki itu melangkah, bersiap meninggalkan ruangan.
Keheningan terjadi lagi disana, semua alat musik hanya membisu karena tak ada yang memainkan. Aku hanya berdiri diam sambil membalikan badan menatap Ryan yang sudah di depan pintu keluar. Ketika tangannya sudah hendak meraih gagang pintu aku segera menghampiri dan menahan lengan satunya.
Dia tampaknya terkejut dengan seranganku yang mendadak. Telinganya bahkan sedikit memerah. Ternyata Ryan kadang-kadang bisa lengah seperti sekarang ini. Kalau bisa aku ingin menertawakannya, namun ini bukanlah saat yang tepat.
"Udah gelap, aku takut kalau pulang sendirian. Temenin aku," ungkapku dengan suara lirih.
Seperti apapun orangnya, jika dia masih memiliki sisi baik pasti tidak akan bisa menolak permintaan gadis. Meskipun aku sedikit malu mengatakannya, tapi tidak ada pilihan lagi. Aku memang takut akan kegelapan, meskipun jalan biasanya diterangi lampu taman tetap saja rasanya tidak nyaman jika sendirian.
Ryan sama sekali tidak bisa melawan, meskipun tadinya sangat waspada sekarang dia penuh dengan celah. Beginilah laki-laki, jika dia tidak berhati-hati maka akan sangat mudah mendapatkan sesuatu darinya. Aku mendorong sedikit lagi dengan wajah penuh harap, berusaha merusak pertahanan terakhirnya.
Kelihatan jelas kalau saat ini batinnya sedang bertarung dengan akal sehat. Satu sisi sangat waspada padaku, namun sisi satunya tidak bisa menolak untuk menolong gadis yang takut gelap. Ryan menggaruk belakang kepalanya, penuh dengan pikiran yang saling bertentangan.
"Iya-iya, baiklah," kata Ryan yang sudah menyerah setelah kalah melawan kehendaknya sendiri. Semua berjalan sesuai dengan keinginanku.
Pada akhirnya kami melangkah bersama keluar dari gedung musik. Matahari sudah tenggelam, aku tidak menduga kalau akan sangat lama berada di sana. Ryan berjalan pelan di depanku, meski begitu langkahnya tidak begitu cepat. Dia bermaksud agar diriku tidak tertinggal jauh.
Aku terus mengikuti Ryan dari belakang. Jarak kami tidak begitu jauh, hanya sekitar 50 sentimeter. Dia sama sekali tidak berbalik, hanya melihat dari punggung dan telinga belakangnya saja aku sudah bisa tahu Ryan sedikit malu-malu.
Memangnya sangat memalukan ya, jalan bersamaku? Memikirkannya malah membuatku sedikit jengkel. Akan tetapi, aku bisa melihat ekspresi Ryan yang tidak biasa hari ini, jadi mungkin aku bisa memaafkannya.
Lampu di jalan setapak mulai menyala dengan terang ketika langit sudah semakin gelap. Tidak ada orang lagi di sekitar sini, hanya ada kami berdua yang terus berjalan menuju asrama.
Tiba-tiba suara dari semak-semak mengejutkanku sampai-sampai aku melompat dan memeluk tubuh Ryan dari belakang. Tenta saja dia kaget dengan responku barusan dan berusaha melepaskan diri. Semakin dia berontak untuk melepaskanku, semakin aku memegangnya dengan erat.
"Hei, ada apaan sih, lepasin dong!" serunya berbalik dan menahan kedua pundakku.
"A-aku cuman kaget ada suara aneh tadi," balasku sedikit malu.
"Muka kamu yang datar itu enggak banget kalau takut," ejek Ryan melepaskan cengkraman tangannya dariku. Dia menggaruk bagian belakang kepalanya sambil sedikit menunduk.
Kelihatannya yang malu bukan hanya aku, dia sama saja karena saat ini sedang berusaha menutupi kegugupannya. Kalau aku bisa mendengar detak jantungnya mungkin itu sangat cepat. Aku ingin menjahilinya namun bukan pilihan bagus karena jantungku juga akan mengalami hal yang sama.
"Ngomong-ngomong, Ryan. Kelas D semuanya pakai flashdisk ya?" tanyaku berusaha mengalihkan topik canggung di antara kami.
Mengangkat topik tadi sepertinya pilihan yang bagus. Aku hanya penasaran, karena zaman sekarang kita sudah bisa mentransfer berbagai file dengan online dan sesuatu seperti flashdisk sudah jarang digunakan.
Ryan mengatakan kalau semua orang di kelasnya memang menggunakan benda itu, sungguh trend aneh yang mereka miliki. Dia lalu menyuruhku untuk segera mengikutinya. Kami kembali berjalan menuju asrama tanpa mengatakan apa-apa lagi, tidak ada suara yang menemani langkah kami.
***
Di dekat asrama kelas 1, terdapat beberapa cafe yang biasanya digunakan oleh murid-murid untuk bersantai di malam hari. Selain jaraknya yang tidak jauh, tempat itu juga bisa dibilang nyaman untuk bersantai dengan teman-teman. Apalagi cafe menyediakan latar tempat duduk di luar ruangan dengan payung sebagai atapnya.
Baru lewat jam 8 malam, tempat ini sudah dipenuhi oleh anak-anak yang baru selesai melakukan pentas. Terlihat jelas dari alat musik yang mereka bawa dan keringat dikening. Pasti benar-benar lelah kalau melakukannya sore hari sambil mengenakan blazer yang bisa membuat orang merasa terpanggang.
Aku bersama dengan Tiara sedang duduk disalah satu kursi sambil menunggu sisa anggota untuk membicarakan masalah lagu kami yang sudah digunakan kelompok lain. Kami baru sampai beberapa menit yang lalu dan untungnya masih ada tersisa beberapa meja yang kosong.
Salah seorang pelayan datang menghampiri kami sambil membawa daftar menu. Aku sedikit terkejut, bukan karena apa-apa hanya saja penampilan pelayan itu kelihatan sangat muda. Bahkan bisa dibilang kalau kami sepertinya seumuran.
Setelah aku perhatikan lagi, semua pelayannya hampir seumuran dengan kami. Aku belum pernah kemari sebelumnya, jadi tidak tahu. Tiara seakan tahu apa yang kupikirkan, setelah memesan dua minuman ia langsung memanggil namaku.
"Kamu enggak tau ya, kalau yang kerja di sini kebanyakan Kakak Kelas?" tanyanya sambil memasang wajah heran.
Aku tidak akan tahu jika Tiara tidak mengatakannya. Akan tetapi, bukankah kita setiap bulan akan mendapat uang dari hasil popularitas, lalu kenapa mereka harus bekerja.
Rasa penasaran tentang kebijakan dan sistem sekolah ini semakin menjadi-jadi. Jika aku mengetahui satu hal, pasti akan muncul beberapa hal lain yang membuatku semakin penasaran.
"Kalian datangnya cepet banget sih." Daniel baru saja datang dan langsung menarik kursi untuk duduk di sebelahku.
Tidak lama kemudian Sherly dan Anjas akhirnya juga datang. Kami semua sudah lengkap, mengelilingi meja bundar yang ada di cafe sambil membicarakan tentang siapa yang sudah mengkhianati kelompok.
Raut muka kami menegang ketika memulai pembicaraan, seperti saling mencurigai antara satu dengan yang lainnya.
"Kalian udah baca di grup chat, jadi kalau mau ini cepet selesai sebaiknya pelakunya ngaku aja," anjur Tiara berwajah serius.
Tidak ada yang angkat bicara, semua masih bingung dengan penjelasan kalau lagu kami sudah digunakan oleh kelompok lain dan faktanya kalau ada salah seorang dari kami menyerahkan lagu itu pada orang lain.
"Daripada mikirin itu, mending kita fokus buat bikin lagu baru. Toh lagian event ini enggak bakalan lama dan nunggu kita nyari pelakunya," saran Anjas sambil menatap ke arahku.
"Ini masalahnya penting tau, kalau kita langsung bikin lagu baru, bisa aja dia ngelakuin hal yang sama lagi!" decak Tiara. Dia menggenggam tangannya dengan erat.
Daniel berusaha menenangkan mereka, ia tidak ingin keduanya bertengkar di tempat umum. Namun, perdebatan sama sekali tak langsung berhenti. Mereka memegang teguh pendirian masing-masing. Satunya ingin mencari pelaku, sementara yang lain tidak ingin mempedulikan hal tersebut dan mau menciptakan lagu baru.
Baik Tiara maupun Anjas masih berpegang teguh pada pendiriannya. Daniel terus berusaha membuat mereka tetap akur. Sementara Sherly kelihatannya bingung, ia sama sekali tidak terbiasa dengan perdebatan. Aku bisa menduga kalau bukan gadis itu pelakunya. Malah aku menganggap Anjas yang tidak mau mempermasalahkan pencurian lagu bisa dianggap sebagai pelaku.
"Kamu pasti pelakunya, ngaku aja. Kalau enggak, mana mungkin kamu enggak pengen tau siapa yang ngasih lagu kita ke orang lain!" Tiara menyampaikan pemikiranku, kecurigaan kami sama.
"Hah, mana mungkin aku ngelakuin hal itu!" bantahnya seperti tidak terima.
"Kalian berdua udahan dong," lerai Daniel walaupun sama sekali tidak didengar oleh mereka.
Tanpa sadar pertengkaran kami sudah menyita perhatian pengunjung lain. Anjas yang memahami situasi sekarang mulai diam dan dengan tenang membela dirinya sendiri kalau tidak bersalah. Berbeda dengan Tiara yang masih ketus menuduhnya sebagai tersangka.
"Aku malahan curiga sama dia, maksudku siapa lagi pelakunya kalau enggak sekelas sama orang yang daftarin lagu itu," tuduh Anjas menunjukku.
"Kenapa kamu nuduh aku? Aku enggak mungkin ngasih lagu kita ke kelompok lain." Aku melakukan pembelaan.
"Aku tau kita lagi sama-sama bingung. Tapi, kamu enggak bisa nuduh Aila sembarangan," ujar Daniel dengan nada serius. matanya kini memandang tajam lawan bicaranya.
Tiara juga membelaku, mereka tahu betul kalau aku tidak mungkin melakukannya. Sebab aku sama sekali tidak berteman dengan anak-anak lain di kelas. Aku juga mengungkapkan fakta itu kepadanya agar tidak asal menuduh hanya karena berada di kelas yang sama.
"Ada Aila sama teman-temannya nih. Halo-halo," sapa seorang gadis berpakaian kasual yang tiba-tiba mendatangi meja kami bersama rombongannya. Ia adalah Nopi Ariani, teman sekelasku.
"Ah, hai," membalas sapaannya aku sedikit tersenyum.
Perdebatan kami terhenti sementara setelah ada beberapa anak perempuan yang datang kemari. Meskipun wajah ketus antara masing-masing masih tampak jelas. Nopi seperti tidak mengidahkan itu dan terus berbicara denganku.
"Eh, ngomong-ngomong nih makasih ya. Lagu yang kamu kasih semalam udah aku daftarin lo. Berkat kamu kelompok aku akhirnya bisa pentas deh. Sekali lagi makasih ya, bye."
Dari apa yang baru saja ia katakan, aku merasa itu adalah pertanda buruk bagi kelompok kami. Tidak ada lagi yang bersuara diantara kami, masih memahami kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Nopi.
Aku bahkan sama sekali tak mengerti apa yang dimaksud olehnya, karena aku memang sama sekali tidak pernah memberikan lagu apapun.
"Cih," decak kesal Tiara yang langsung bangkit dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan tempat tersebut.
"Tunggu, Tiara!" panggilku coba menghentikannya. Akan tetapi, dia seperti tidak mendengarkan lagi suaraku dan terus berlari kembali ke asrama.
Aku sama sekali tidak melakukannya, bahkan aku baru hari ini berinteraksi dengan Nopi. Mana mungkin aku bisa memberikan lagu itu. Namun, biar aku jelaskan pada mereka, baik Daniel maupun Anjas tidak ada yang percaya. Bagi mereka kejadian tadi adalah fakta yang tidak bisa dibantah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top