(Vol. 1) 3rd Event: Cinderella (Bagian 9)
Ruang kelas benar-benar terasa menegangkan, padahal baru jam pelajaran pertama. Tidak ada satu pun di antara kami bersuara, masing-masing fokus pada kertas soal yang tadi diberikan oleh guru.
Ya, ini adalah ulangan mendadak sehingga bagi anak-anak Kelas F yang tidak pernah menyiapkan diri untuk belajar ini adalah bencana besar.
Mata pelajaran pagi ini adalah Matematika, meskipun SMA Amemayu adalah sekolah seni, pelajaran utama sepertinya tidak boleh dilupakan, ya?
Aku bahkan juga belum siap untuk ujian ini, sehingga hanya bisa melihat soal dan lembar jawaban yang sama sekali belum diisi. Ah, mungkin aku akan menjawab seperti biasa saja, nomor 1 sampai 4 dijawab dengan a sampai d, lalu aku lakukan lagi pengulangannya.
Dilihat bagaimanapun ini terasa aneh. Biasanya jika ada ulangan harain atau kuis, soal diberikan tidak dalam bentuk kertas melainkan tablet pembelajaran yang sudah disiapkan.
Aku sedikit heran karena pihak sekolah atau mungkin guru malah menggunakan metode lama di era di mana semuanya sudah dikuasai teknologi. Bahkan beberapa anak ada yang menyebutnya sebagai guru jadul karena memberikan kami kertas seperti ini.
"Apa kalian tahu, kalau kalian bisa menjawab dengan benar semua soalnya. Maka aku akan memberikan 100 popularitas," ujar guru itu sambil tersenyum melihat wajah kami yang kesulitan.
Tentu saja setelah dia berkata seperti itu suasana kelas menjadi berisik. Karena mendapat fakta baru bahwa seorang guru bisa memberikan popularitas, yang artinya ini adalah salah satu metode yang belum kami ketahui. Apakah benar dia akan memberikannya, semudah itu?
Tidak, sebenarnya tidak semudah kedengarannya, karena melihat soal matematika ini mustahil bagi anak kelas 1 SMA bisa menjawab benar semuanya. Ada dua soal yang hanya diajarkan di perguruan tinggi, dan levelnya sangat berbeda dan itu adalah soal tersulit bagi kami.
"Mohon maaf, Pak. Apa saya boleh nanya?" Felly mengangkat tangannya. Rasa penasaran gadis yang rela melakukan apa pun demi popularitas tidak mungkin diam saja jika mengetahui adanya cara lain untuk meningkatkan poin.
"Oh, jika kamu tanya soal jawaban, saya sebagai seorang guru tidak akan bisa memberitahunya." Guru itu sedikit menyeringai, sepertinya ada maksud lain dari perkataannya barusan.
"Apa maksud Bapak ngasih kami 100 popularitas. Bukannya popularitas cuma didapat pas kami ngelakuin pentas aja?"
Pertanyaan bagus Felly, ayo teruskan. Gadis itu sudah mewakili seluruh rasa penasaran seisi kelas.
Aku juga ingin tahu lebih banyak mengetahui sistem sekolah yang seakan-akan ditutupi dari siswanya ini, karena ada beberapa orang yang mengetahuinya dan mereka malah memilih diam untuk kepentingan sendiri.
"Apa Irfan tidak pernah bilang ke kalian, kalau kalian punya prestasi yang membanggakan kalian akan diberikan popularitas? Aku yakin sekali seharusnya setiap wali kelas memberitahu tentang ini."
Ah, ternyata begitu, ya? Bukannya ditutup-tutupi, memang kelas kami saja yang kurang beruntung karena mendapatkan wali kelas seperti Pak Irfan. Jika benar apa yang beliau katakan, orang-orang dari kelas lain sudah memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan orang-orang di Kelas F.
Suasana ribut kembali terdengar, tetapi yang mereka suarakan adalah kekesalan pada Pak Irfan karena menjadi wali kelas yang sama sekali tidak membantu muridnya.
Guru di depan sana menyuruh kami diam dan kembali fokus mengerjakan soal. Kali ini terasa berbeda, mereka tampak lebih serius menjawab pertanyaan.
Manusia memang begitu, jika ada sesuatu yang bisa digapai dan itu berada di depan mata maka mereka berusaha sebaik mungkin. Meski mustahil bisa menjawab semua pertanyaan ini dengan benar.
Tanpa sengaja aku melihat orang yang duduk didepanku. Mendapati lengannya bergetar, dengan pulpen yang digenggam erat. Felly sepertinya merasa kesal, dia berusaha sekuat tenaga untuk memendamnya.
Kemarahannya tidak tertuju pada siapa pun diruangan ini, melainkan sosok wali kelas yang selalu mengatakan sesuatu tentang bobroknya murid dari Kelas F.
Setelah istirahat selama 15 menit dari mata pelajaran pertama, bel kedua berbunyi. Notifikasi masuk dari layar ponselku, ternyata itu adalah pengumuman hasil ujian kami–melalui aplikasi Amemayu. Aku tidak terlalu ingin tahu hasilnya, karena sudah pasti tidak akan ada anak yang mendapatkan nilai sempurna.
Namun aneh, wajah mereka sama sekali tidak kecewa malahan lebih ke arah terkejut dan semuanya mulai memandangi sosok baru di kelas kami. Penasaran, aku pun akhirnya membuka aplikasi tadi dan melihat hasil ujian.
Namaku ada diurutan ketigapuluhlima dengan perolehan score 32, aku menggeser layar ponsel untuk melihat siapa yang berada di posisi teratas.
Aku ikut terkejut, karena diposisi pertama ada yang mendapatkan score 100. Benar-benar di luar dugaan, karena ada dua soal yang sama sekali tidak mungkin bisa dijawab oleh anak SMA biasa.
Orang itu adalah anak yang baru masuk sekolah pada bulan ini, yang dulu juga terlibat adu argumen dengan Felly. Aku harus menarik kata-kataku tadi kalau tidak mungkin ada yang bisa mencapai nilai sempurna.
"Dia hebat banget, ya. Bisa dapet 100," ujar Felly membalikan badannya ke arahku.
"Kamu juga hebat, nilai kamu 95. Udah posisi dua itu hebat, lo." Aku harus bersikap seperti biasanya di kelas, walaupun mungkin dia sangat benci ketika berbicara dengan orang membosankan sepertiku.
"Ahaha, masa sih. Sayangnya posisi kedua enggak dapet apa-apa."
Wajahnya masih seperti biasa saat berada di dalam kelas, tersenyum manis bagaikan seorang malaikat yang biasa menolong orang-orang dengan tangan lembutnya. Aku masih bingung kenapa dirinya mengajakku bicara sekarang.
"Ngomong-ngomong, Felly. Kelompok kalian belum ada pentas, 'kan?" tanyaku memastikan sesuatu.
"Emang belum, kok. Kayaknya sore ini aku bakalan adain pentas," balasnya dengan suara lembut.
Aku hanya ingin tahu siapa saja yang berada dikelompok Felly. Walaupun itu tidak begitu penting dan hanya sekedar untuk basa-basi. Dia tiba-tiba meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat.
Tentu saja aku terkejut dengan apa yang baru saja Felly lakukan, ekspresinya berubah beberapa detik. Wajahnya yang sesungguhnya tadi terlihat sekilas, namun kembali menjadi sosok andalan Kelas F.
"Aku benar-benar benci kamu, lo," ujarnya setengah berbisik.
Mengucapkan itu dengan topeng malaikat membuatku sedikit ngeri. Suaranya meskipun pelan, tetapi terasa sangat dingin. Tidak ada yang memperhatikan kami karena sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Bahkan sebagian bangku masih kosong karena ada yang belum kembali. Barisan di belakang malah dengan acuhnya tidur, benar-benar suasana tepat bagi Felly memperlihatkan sifat aslinya meski hanya sedikit.
"Pura-pura jadi orang biasa, dan diam diposisi bawah. Orang yang bikin mual itu harus aku beresin. Jadi jangan dendam, ya." Felly mendekati telingaku.
"Kamu ngomong apa, sih? Aku enggak pura-pura jadi orang biasa. Aku ini emang orang biasa." Aku tidak pernah berbohong, jadi sedikit sakit jika dikatakan berpura-pura.
Meskipun matanya itu menatap penuh kelembutan, masih bisa terasa suasana dingin dan mencekam. Dia benar-benar membenciku, entah kenapa?
Aku bukanlah tipe orang yang peka dengan sekitar ataupun orang lain, jadi mohon maafkanlah aku jika pernah berbuat salah atau menyinggung perasaanmu. Inginnya bilang begitu, tapi dia pasti tidak akan menerimanya.
"Aku bakalan buat kelompok kalian lebih cepet keluar dari sekolah."
"Apa yang bakalan kamu lakuin?" tanyaku waspada.
Ancaman apa yang coba Felly katakan padaku? Apakah ada peraturan tertentu yang membuat sebuah kelompok di dropout dari sekolah selain popularitas menjadi nol?
Felly sama sekali tidak membalas, dia hanya diam di sana, terus tersenyum manis. Tiba-tiba entah sejak kapan beberapa siswi sudah mendekat dan mengelilingi kami.
Aku sedikit terkejut dengan perubahan drastis ini. Mungkin mukaku seperti orang bodoh yang baru saja membaca satu buku tebal membosankan ketika teman-teman Felly mengelilingi mejaku.
"Aila, kata Felly kamu bisa mainin piano, ya? Boleh ajarin kami dong kalau gitu?" Salah satu dari mereka angkat suara.
"Iya, ajarin kami dong. Aku juga denger kalau kamu itu jago banget padahal."
Aku tidak tahu harus mengatakan apa, karena aku tak menduga hal seperti ini terjadi. Felly hanya terus melebarkan senyumnya dan menampilkan ekspresi kalau dia baru saja mencoba agar aku bisa akrab dengan teman-teman di kelas.
Padahal jika mereka bisa akrab denganku akan berbahaya baginya karena bisa saja aku mengatakan kebenaran tentang sifat Felly.
Akan tetapi, aku yakin ada rencana terselubung dari maksudnya kali ini. Sayangnya aku sama sekali tidak bisa menemukan jawaban kenapa dia membuatku bisa berinteraksi dengan orang-orang dikelas.
Felly, sebenarnya apa yang ingin kamu lakukan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top