(Vol. 1) 3rd Event: Cinderella (Bagian 8)

Beberapa hari berlalu setelah event pertama kali dimulai. Sudah banyak kelompok yang melakukan pentas. Tentu saja sebagian ada yang terkejut karena ada pemberitahuan baru kalau lagu yang mereka bawakan haruslah buatan mereka sendiri.

Bagi yang sudah tampil dengan lagu yang sudah ada–bukan lagu original–maka hanya akan mendapat sepertiga dari popularitas yang didapatkan pada saat itu.

Seperti yang aku tahu sebelumnya, setiap orang memiliki kesempatan dua kali untuk mengaktifkan A-Box. Hal ini sama persis seperti fitur yang ada di aplikasi mengenai pentas.

Murid kelas 1 hanya bisa melakukannya dua kali. Tanpa membawakan lagu original dan sudah mengaktifkan pentas dua kali, itu bisa menjadi kerugian besar.

Untungnya karena kurangnya pengalaman kami, kami tidak buru-buru melakukan pentas dan sudah menyiapkan lagu original yang diciptakan oleh Sherly. Dengan kata lain, belum ada satu pun dari kami yang memakai hak pentasnya.

Permainan kelompok kami sudah membaik, bahkan sudah bisa dibilang siap tampil. Hari ini kami semua sudah bersedia untuk mengadakan pentas disalah satu panggung yang tidak terlalu ramai setelah petang.

Semuanya sepakat untuk memilih tempat itu karena meskipun sudah yakin bisa memainkan lagunya tetap saja untuk pertama kali semua merasa malu. Pilihan tadi adalah yang paling tepat agar bisa memulai di panggung yang lebih besar nanti.

"Gimana caranya kita bawa drum milik Tiara?" tanya Anjas yang sedang berjalan di samping laki-laki yang dia ajak bicara.

Beberapa hari belakangan, Sherly dan Anjas sudah lebih membaur dengan kami. Aku sebenarnya senang, tetapi aku tetap harus waspada dengan Anjas. Siapa yang akan menduga kalau dia sekarang sedang mencoba akrab dengan tujuan yang berbahaya bagi kelompok.

Meskipun ini mungkin karena aku yang terlalu paranoid. Bisa saja dia benar-benar berubah dan tidak ingin keluar dari sekolah, memberontak dari perintah Ryan.

"Kita cuma boleh pentas kalau pakai alat musik sendiri, ya? Kalau gitar sama bass gampang dibawa ke mana-mana. Kalau drum kayanya kita bisa akalin di taksi nanti, deh," sahut Daniel sambil memandang ke atas, seakan berpikir.

Memang merepotkan, pihak sekolah hanya memfasilitasi panggung dan mengharuskan kami bermain dengan alat musik sendiri. Tentu saja yang akan kesulitan adalah anak yang membawa instrumen-intrumen yang lumayan besar.

Untung saja aku memilih keytar, selain mudah digunakan juga mudah dibawa-bawa.

"Oh iya, kita nanti bakalan ke gedung musik dulu buat registrasi lagu," kata Tiara saat melihat smartphone-nya.

Aku baru tahu mengenai registrasi lagu karena sama sekali tidak melihat pemberitahuan apa pun di aplikasi. Infonya hanya diberikan pada satu orang dari kelompok.

Meskipun anak-anak Kelas D sudah mulai membaur, aku sedikit khawatir jika mereka yang menerima pesannya dan tidak memberitahu kami, kemungkinan itu masih ada. Untung saja orang yang mendapatkan pesan untuk registrasi adalah Tiara.

"Kita enggak perlu ikut semua 'kan?" tanya Sherly dengan kepala yang masih tertunduk.

Meski sudah membaur, ia masih menunjukkan sifat malu-malunya. Mungkin secara kasar Sherly mirip sepertiku yang mudah gugup ketika berbicara dengan orang lain. Bedanya, gadis itu lebih bisa mengekspresikan perasaannya dibandingkan diriku. Ah, kalau begini aku jadi sedikit iri dengannya.

Tiara mengatakan kalau memang kami tidak diharuskan datang semua, karena hanya menyerahkan aransemen dan rekaman permainan lagu yang sudah jadi. Dia bilang masih bisa pergi sendiri, tapi aku sedikit khawatir, jadi aku mungkin akan memintanya untuk mengajakku nanti.

Daniel masih asyik mengobrol dengan Anjas, akhirnya mungkin mereka bisa semakin mengenal. Sementara di sini hampir tidak ada perkembangan. Tiara selalu sibuk memainkan ponselnya dan hanya berbicara ketika ditanya atau dimintai pendapat. Sherly sendiri tidak bisa membuka percakapan di antara kami, sehingga kami hanya berjalan beriringan dengan mulut yang tertutup.

Memang benar kalau gadis Kelas D itu adalah orang pemalu dan pendiam. Namun, seharusnya Tiara yang mudah bergaul bisa mengajaknya bicara.

Mustahil kalau aku yang memulai peercakapan antar para gadis, karena sama sekali belum memiliki pengalaman langsung. Harusnya aku belajar lebih banyak pada Felly sebelum tahu wajah aslinya.

Kepala Sherly terus menunduk dengan wajah penuh keraguan. Ia memang orang yang seperti itu, suram dan menyedihkan. Seharusnya aku tidak boleh mengatakanannya sebab kondisiku dimata orang-orang di kelas sama saja seperti dirinya.

Dari kesamaan itu harusnya aku bisa lebih dekat dengan Sherly. Namun, entah kenapa seperti masih ada ranjau disekitarnya, membuatku ragu mendekati teritorialnya lebih dalam.

"La, entar temenin aku ke gedung musik, ya?" Tiara tiba-tiba membalikan badannya dan melihatku.

"Eh, iya. Aku mau."

Apa yang aku katakan? Karena terlalu senang mendapat ajakan yang tidak terduga, aku mengatakan kalimat spontan. Memalukan, apalagi aku bisa melihat dengan jelas kalau Tiara sedikit tertawa melihat reaksi tadi.

Dia adalah orang yang memahami masalah komunikasi sosialku. Bahkan Sherly sedikit menutup mulutnya menahan tawa.

Aku ingin segera menyembunyikan wajahku. Mungkin sekarang sudah sangat merah sebab semakin malu. Perasaan gugup dan merasa tidak ingin dilihat siapa pun, andai saja aku seperti gadis lainnya mungkin muka ini sudah ditutup dengan kedua tangan.

Sayangnya aku juga malu untuk melakukan tindakan seperti itu.

"Ok, nanti aku bakalan nunggu di depan gedung musik, deh. Mending kita buruan jalannya, bel masuk udah mau mulai, lo." Tiara mempercepat langkahnya.

Kami mengikutinya, karena memang benar bel masuk pelajaran pertama akan segera dimulai. Walaupun beberapa hari ini banyak murid yang fokus dengan event, para guru masih terus mengajar dengan serius.

Meskipun keterlambatan dan tidur di kelas tidak dipermasalahkan, jelas saja karena konsekuensinya adalah pengurangan popularitas sehingga guru tidak begitu mengurusi mereka.

"Kamu akrab banget sama Tiara."

Baru kali ini Sherly mulai berbicara denganku setelah aku tolak untuk mengajarinya membuat aransemen. Ya, karena memang aku tidak terlalu ahli. Akhirnya semua akan berjalan dengan baik, ia tidak mungkin menyimpan dendam dan marah, 'kan?

"Soalnya dia itu orang pertama yang aku kenal di sekolah ini," balasku sambil melirik ke samping.

Aku bersyukur karena dapat mengenal Tiara, apalagi orang tuanya. Berkat beliau diriku bisa sekolah di sini dan bisa hidup bebas.

Hal yang harus aku jaga dari kebaikan beliau adalah hidup menyenangkan di SMA ini dan jangan sampai menarik banyak perhatian.

Walau kelihatannya di dalam sekolah ini tidak bisa hidup seperti itu, paling tidak jangan terlalu menonjol adalah sesuatu yang baik.

"Senang ya, punya teman yang baik," ujarnya sembari tersenyum.

Entah kenapa aku bisa merasakan suara kesepian darinya. Aku tidak tahu bagaimana suasana Kelas D, tapi jika melihat tingkah Sherly dan Anjas serta kenapa mereka yang terpilih untuk satu kelompok denganku, mereka adalah orang-orang yang tidak begitu akrab dengan teman sekelasnya sehingga kehilangan dua orang ini sama sekali bukanlah masalah bagi mereka

Lalu sebuah kesimpulan kalau Sherly melawan perintah Ryan agar tetap berada di sekolah ini sudah bisa dikonfirmasi jika hipotesisku tadi benar.

"Sherly sendiri gimana, apa punya temen dekat di sekolah ini?"

Reaksinya seperti orang tersambar petir, terkejut atas pertanyaan tadi. Lalu wajahnya yang tadi kelihatan senang berangsur-angsur menjadi suram dan mulai menundukan kepala.

Sepertinya aku menghancurkan mood pembicaraan ini. Sayang sekali padahal aku hanya ingin ada pembicaraan dua arah, tetapi hasilnya malah membuat Sherly langsung diam.

Namun, dalam sekejap wajahnya berubah lagi, kali ini senyuman yang ia buat lebih besar daripada sebelumnya. Sherly melangkah lebih cepat dan berjalan mendahuluiku lalu berbalik dan merentangkan kedua tangannya seakan seperti hendak menerima dekapan seseorang.

Lengkungan bibir itu makin tampak jelas semakin keatas. Melihat sosok yang begitu anggun itu aku sedikit takjub dan juga heran.

"Iya punya, kok. Di hadapan aku."

Kaget dengan apa yang baru saja Sherly katakan, muka ini pasti sudah sangat merah. Apalagi ia mengatakannya dengan keras dan anak-anak lain yang berjalan didekat kami pasti akan mendengarnya.

Aku senang, iya kali aku tidak berbohong karena baru kali ini ada seseorang yang terang-terangan menyebutku sebagai temannya. Ekspresi senang pada wajahku tidak bisa disembunyikan lagi, kali ini adalah yang tulus.

Daniel datang sambil sedikit menggoda, aku hanya diam mendengarnya. Tetapi, tidak untuk Sherly, ia sepertinya sadar kalau ungkapannya tadi benar-benar memalukan.

Pipinya terus memerah seperti orang yang terkena demam, namun sebenarnya itu adalah tumpukan rasa malu yang sangat besar. Anjas yang ada dibelakang hanya bisa tertawa melihat sikap manis dari teman sekelasnya.

Aku baru ingat kalau Tiara sudah berjalan jauh di depan kami, dia bahkan tidak terlihat lagi sejauh mata memandang. Entah kenapa setelah anak-anak Kelas D sering bergabung, dirinya malah mulai menjauh.

Ada sedikit kekhawatiran dalam diriku. Mungkin aku harus segera menemuinya nanti setelah jam istirahat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top