(Vol. 1) 2nd Event: Alice (Bagian 8)
Suasana kantin sudah mulai sepi. Kursi yang kosong cukup banyak, dan siswa yang mengantre di gerai sudah semakin sedikit. Melihat toko yang ingin aku tuju sudah ada di depan mata, kaki ini segera melangkah ke sana.
Tersusun banyak pilihan roti, dari yang sederhana sampai dessert mewah. Harganya juga beragam, dari yang termurah hingga termahal.
Namun, ada yang menarik perhatianku, keranjang berisi roti-roti bulat kering berada paling pinggir meja kaca. Hal yang membuatku tidak bisa memalingkan wajahku dari sana adalah tulisan gratis di atasnya.
Dilihat bagaimanapun juga ini aneh, tidak mungkin akan ada yang mengambilnya jika setiap bulan siswa mendapat uang saku sebanyak 10 juta.
"Aila, kamu pengen beli roti?"
Aku sedikit terkejut karena Felly ada di sebelah wajahku. Dia tampak penasaran. Ini kali kedua interaksiku dengannya, apakah mungkin aku bisa menjalin pertemanan bersama tokoh sentral di kelas?
Aku mengangguk pelan untuk memberikan respon atas pertanyaan gadis itu, aku memilih roti biasa dengan harga Rp10.000.
"Ternyata kamu suka roti yang rasanya biasa aja, ya? Kenapa enggak beli yang sering teman-teman lain beli? Katanya lebih enak, lo." Felly menatapku penasaran.
Roti yang dia bicarakan ini pasti tentang makanan yang sering anak-anak perempuan bawa di kelas. Aku memang tidak tahu bagaimana rasanya, tetapi karena bentuknya agak aneh aku tidak akan membelinya.
"Aku suka roti ini, kok," balasku agar tidak terkesan sombong atau semacamnya.
Felly mengangguk paham, dia juga membeli makanan di sini. Sebuah puding roti pesanannya sudah dibungkus bersamaan dengan milikku.
Setelah membayar aku bermaksud untuk kembali ke kelas dan memakannya. Namun, Felly justru mengajakku duduk disalah satu meja kosong. Kesempatan ini tidak bisa dilewatkan, sehingga aku menerima tawarannya.
Semakin dekat dengan jam pelajaran masuk, murid-murid sudah kembali ke kelas mereka. Cahaya matahari menembus dinding kaca di sampingku, rasa hangatnya masih terasa walaupun ruangan ini memilik AC. Tanganku membuka bungkus roti yang tadi dibeli dan mulai melahapnya.
Kantin ini dikhususkan untuk kelas 1, jadi sangat jarang ada kakak kelas yang datang kemari. Kelas 2 berada di lantai atas, jadi juga terdapat kantin khusus untuk mereka, begitupula dengan kelas 3. Aku tidak tahu pasti berapa jumlah murid ditingkat atas, yang jelas angkatan kami mempunyai jumlah 240 orang. Itu adalah jumlah yang lebih dari cukup untuk memenuhi tempat ini.
Kedai bakso, mie goreng, toko roti, dan beberapa makanan lainnya saling berjajar dipojok ruangan. Meja yang panjang tersusun rapi dari ujung ke ujung, memenuhi tengah ruangan. Ada juga tempat air minum gratis yang disediakan di dekat kedai makanan.
Langit-langitnya dihiasi lampu putih yang bersinar terang. Walaupun cahaya matahari masih bisa masuk melalui dinding kaca transparan. Benar-benar dunia berbeda dengan yang aku tinggali beberapa tahun ke belakang.
"Kamu daritadi ngeliatin apa?"
Pertanyaan itu sukses membuatku kembali ke kenyataan. Aku berhenti memperhatikan rungan ini, dan kembali fokus kepada Felly yang ada disebelahku. Gadis yang berani mengajak seseorang untuk berinteraksi dengannya, sungguh figur yang menakjubkan. Entah kenapa, mataku tidak bisa berpaling dari wajahnya.
"Enggak kok, enggak apa-apa. Aku cuman penasaran soalnya ada roti gratis tadi," balasku pelan.
"Mungkin itu buat anak yang kebanyakan belanja. Sekolah ini baik banget, ya? Layanan kamar juga katanya nyediain makanan gratis, tapi enggak ada yang pernah nyoba. sih."
Aku baru tahu mengenai layanan kamar setelah Felly mengatakannya. Wajar saja aku kurang tahu, karena aku hanya fokus memikirkan bagaimana caranya menemukan teman. Waktu istirahat di kamar, aku sering menjelajahi internet untuk belajar komunikasi.
"Tapi apa ada orang yang ngehabisin 10 juta kurang dari sebulan?" Aku bertanya karena masih tidak terlalu mengerti.
"Kayaknya emang ada deh, soalnya kebanyakan dari kelas kita boros banget. Hari pertama aja mereka banyak beli baju sama alat-alat elektronik. Terus kemarin ada yang ajakin aku buat belanja skincare. Pokoknya macam-macam, deh."
Mungkin aku harus percaya dengan perkataannya, kebanyakan perempuan di Kelas F memang orang yang boros dan suka berhura-hura. Senangnya menjadi Felly, dia diajak ketika berbelanja dan bahkan bisa mengetahui kebiasaan mereka. Aku juga ingin bisa seperti itu untuk menikmati masa muda.
"Enak ya, kamu diajak terus sama mereka ...."
Ah gawat! Aku tidak sengaja mengeluarkan perkataan itu dengan suara keras, Felly tampak terkejut mendengar ucapanku tadi. Aku ingin mati saja sebab tidak kuat menahan rasa malu.
"Ngomong-ngomong, kamu emang enggak bisa akrab sama temen sekelas yang lain?"
Aku ingin sekali memiliki teman yang banyak dan menjalani kehidupan SMA dengan penuh kebahagiaan. Sayangnya untuk meraih itu aku bahkan belum keluar dari zona nyamanku satu langkah pun.
Perasaan gugup, ketakutan dan malu ini terus menghantui jika aku mulai berbicara dengan orang asing. Penghalang terbesarku padahal hanyalah diri ini sendiri, yang tidak mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi.
"Bukannya enggak bisa akrab. Aku aja yang malu kalau ngomong sama orang yang enggak aku kenal," sahutku sambil menundukan kepala, meratapi kelemahan.
Pasti enak ya, jadi orang seperti Felly. Dia pintar, karena setiap diadakan tes selalu mendapatkan nilai tertinggi, walaupun kemampuan bermain musiknya payah dia memiliki suara yang bagus jika bernyanyi.
Mungkin jika gadis ini ikut ekskul, klub paduan suara akan cocok untuknya atau mungkin lebih baik lagi penyanyi solo. Felly juga memiliki keterampilan komunikasi yang baik, dia bisa membuat pembicaraan kami mengalir secara alami.
Matanya seolah memahami masalahku dan dia sama sekali tidak menertawakan, seperti yang diduga kalau Felly adalah orang yang baik. Aku harap gadis ini bisa membantu masalah yang kuhadapi.
Tidak lama kemudian dia berhenti memakan pudingnya, lalu tiba-tiba menggenggam erat kedua tanganku.
Ini bukanlah adegan film atau semacamnya jadi lebih baik hentikan. Pikiranku berkata demikian tapi mulut ini tetap bungkam.
"Kamu kasian banget sih, kalau gitu aku bakalan jadi temen pertama kamu di kelas. Terus aku bakalan bantu biar kamu akrab sama yang lain," ujarnya sungguh-sungguh.
Entah kenapa hatiku berdegup kencang ketika mendengar kalimat yang dia lontarkan. Meskipun bagian pertamanya menunjukan kemalanganku, selanjutnya Felly menawarkan diri untuk menjadi temanku. Akhirnya diriku berhasil mendapatkannya. Pertama kalinya aku bertemu seseorang yang sangat baik.
Senyumanku tidak bisa disembunyikan lagi, mata yang berbinar-binar ini juga tak bisa ditutupi. Anggukkan penuh rasa syukur, aku berterima kasih dari lubuk hati terdalam untuk menyambut ketulusannya.
Aku melihatnya, wajah seorang malaikat yang penuh kebahagiaan karena bisa memberi berkah untukku. Benar-benar mempesona, jika aku laki-laki mungkin aku sudah tergila-gila padanya dan rela melakukan apa saja.
Terima kasih Felly, dengan begini hari-hariku di sekolah menjadi tidak sia-sia karena hanya memikirkan cara mendapat teman.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top