(Vol. 1) 2nd Event: Alice (Bagian 5)
Sekali lagi aku terkesan melihat ruangan yang ada di dalam gedung musik. Tempat ini lebih seperti aula yang digunakan untuk pertunjukan orkestra. Kursinya dibuat persis seperti yang ada di auditorium saat penyambutan oleh Ketua OSIS.
Bedanya di sini adalah di tengah ada banyak sekali alat-alat musik. Seperti piano, violin, gitar, bass, terompet, dan harpa.
Semua orang sudah duduk di kursi masing-masing. Dari yang terlihat, tempat kami dibedakan berdasarkan kelas dengan posisi duduk makin naik ke atas dari A sampai F.
Aku mencari kumpulan anak-anak yang memakai blazer hitam. Tidak perlu waktu lama, kujumpai para murid Kelas F duduk di bangku paling atas. Aku bergegas ke arah kursi yang masih kosong.
"Apa semua sudah lengkap?" Seorang guru wanita yang berada di antara alat musik menarik perhatian kami, dia adalah Ms. Oktavia.
Dia melirik sekeliling, sorot mata yang tajam itu membuat siapa pun melihatnya akan tahu kalau beliau adalah tipe orang yang berambisi tinggi dan pekerja keras.
Setelah selesai dan yakin jika semua murid sudah datang, dia mengambil clipboard yang berisi lembaran-lembaran. Sepertinya kami akan dites kemampuan bermain musik. Ya, tidak sulit menebaknya.
Enam nama tiba-tiba dipanggil untuk turun. Mereka yang disebutkan segera ke sana dan menghadap Ms. Oktavia. Enam orang tadi berbeda-beda kelasnya, dari A sampai dengan F. Mereka disuruh memilih alat musik terlebih dahulu dan bersama-sama memainkannya.
Tunggu, jika mereka bermain musik bersama-sama akan menimbulkan suara yang tidak harmonis karena sama sekali belum pernah melakukannya. Apalagi jika seseorang memilih alat musik yang sama, mereka harus saling mencocokan dinamika dan tempo jika tidak ingin merusak irama yang lain.
Benar saja, ketika mereka mulai memainkan instrumen dengan musik yang sama ....
Bencana. Satu kata itu bisa mewakili pendengaran kami yang menyaksikan mereka. Suara yang saling bertabrakan tanpa irama yang sesuai.
Jika didengarkan dengan jelas, siswa Kelas A dan Kelas B memiliki keselarasan walaupun alat musik mereka berbeda. Sementara kelas lain masih berusaha mengikuti awalannya. Sampai anak Kelas F yang sembarangan memainkan nadanya membuat kelompok itu kacau balau.
Permainan rusak itu berakhir, mereka diperbolehkan kembali dan Ms. Oktavia memanggil lagi satu nama orang dari setiap kelas. Hasilnya kurang lebih sama seperti tadi, belum ada suara yang bagus menurutku. Hanya kumpulan nada yang dimainkan sesuka hati.
Kelas F lagi-lagi menjadi yang terburuk dalam mengikuti tempo anak kelas lain.
Jika diurutkan sesuai absen maka sebentar lagi akan tiba giliranku. Aku tidak akan bilang jika kemampuanku dari anak lain lebih baik. Malah sepertinya aku sadar sekarang kalau kemampuanku bermain musik pasti sangat buruk jika dibandingkan teman sekelas yang lain.
Mereka memainkan nada dengan mengikuti perasaan mereka, dibandingkan aku yang tidak mampu melakukan apa-apa, hanya bisa mengikuti nada yang tertulis di partitur.
Akhirnya namaku dipanggil bersama dengan lima murid kelas lain. Ketika sudah berada di sana, kami langsung disuruh untuk memilih alat musik dan diberi selembar partitur. Tanpa memedulikan yang lain, tanganku sudah berada di atas piano. Ms. Oktavia menyuruh kami untuk segera memulai.
Dengan lembut dan perlahan aku menekan tuts piano. Memainkan musik sesuai dengan nada pada partitur. Murid lain mulai mengikuti, mereka memainkan gitar, bass, violin, terompet dan harpa. Semuanya berjalan dengan lancar diawal. Hingga akhirnya tanpa sengaja aku memainkan nada yang salah dan menghancurkan irama tersebut.
"Baiklah, cukup. Kalian boleh kembali," ucap Ms. Oktavia sambil melihat papan clipboard-nya.
Semuanya berjalan lancar sampai akhirnya nama-nama terakhir dari tiap kelas. Namun, kali ini yang maju ke sana hanya ada lima orang. Kelas F saat ini hanya memiliki 39 siswa dikarenakan seorang anak yang masih dalam masa perawatan dan tidak bisa pergi ke sekolah.
Rata-rata semua kelompok yang maju memainkan irama musik nan berantakan. Setelah selesai Ms. Oktavia langsung mempersilahkan kami keluar dan menikmati istirahat makan siang.
Langkahku pelan mengikuti rombongan kecil yang keluar dari gedung musik. Tanpa terasa dua jam sudah terlewat semenjak kami semua di dalam sana, waktu benar-benar cepat berlalu. Seseorang tiba-tiba berjalan di sampingku, membuatku segera menoleh ke arahnya.
Seorang anak laki-laki mengenakan blazer camel, murid Kelas D. Rambutnya tidak disisir dengan rapi, matanya menatap lurus ke depan, dengan senyuman tipis di bibirnya. Aku mengingatnya, dia adalah anak yang kujumpai semalam di bus. Kalau tidak salah namanya Ryan Pratama. Permainan instrumennya tadi lumayan buruk.
"Hai." Sapanya pelan.
"Em, halo," balasku sedikit gugup.
Sedikit terkejut karena dia yang menyapaku terlebih dulu. Tidak pernah diduga akan ada kejadian ini sebelumnya. Dengan berbagai asumsi dan pemikiranku yang kompleks aku sedikit bingung harus bereaksi seperti apa.
Sebabnya orang yang menjadi lawan bicaraku kali ini adalah laki-laki. Jika ada teman sekelas yang melihatnya pasti akan ada beberapa rumor yang menyebar dan hanya akan menarik perhatian.
"Kamu masih ingat aku?"
Ryan bertanya sambil mengarahkan telunjuk tangan kewajahnya. Entah kenapa sifatnya lebih seperti anak SD daripada remaja SMA. Anggukan pelan kuberikan untuk menanggapi pertanyaannya.
Kami masih berjalan sejajar, tapi masih ada jarak di tengahnya. Otak ini sama sekali tidak bisa diajak berpikir karena terlalu gugup.
Sebelum mengatakan sesuatu yang tidak perlu lebih baik untuk segera pergi dari sini dengan beberapa alasan. Mungkin jika bilang kalau aku sedang buru-buru bisa lepas dari situasi sekarang, sayangnya alasan ini hanya akan membingungkan pihak lain dan beranggapan aku tidak mau didekati.
Alternatif lainnya adalah mengatakan kalau beberapa temanku sudah menunggu, dia mungkin akan membiarkanku pergi.
"Aku liat, kamu sengaja ngelakuin kesalahan di tengah-tengah pas main piano tadi. Padahal awalnya bagus banget."
Sedikit terkejut dengan apa yang dia ucapkan. Tanpa sadar kepalaku menoleh lagi ke arahnya. Sebuah senyuman licik terlihat sekilas oleh mataku.
Aku tidak sedang berhalusinasi lengkungan bibirnya benar-benar menyeramkan, seperti seorang iblis yang telah menemukan mangsanya.
"Kamu kaget ya? Berarti kamu sengaja ngelakuinnya." Ryan memperhatikan keherananku.
"Itu ... cuma kebetulan, kok."
Tenang Aila, jawablah dengan nada seperti biasa. Jika terlihat panik akan menambah kecurigaan anak laki-laki itu. Dia mendengar dengan baik permainan orang lain, harus diakui kalau telinganya cukup bagus.
Aku kira dia hanyalah seorang murid yang tidak mengerti musik karena permainannya sangat buruk. Namun, dugaanku ternyata salah, Ryan mampu menilai dan mendengarkan nada lebih baik daripada saat dia memainkan instrumen. Kemampuan yang menakutkan, karena itu akan menjadi musuh alamiku.
"Kebetulan itu enggak ada. Kamu harus lebih hati-hati jika enggak mau buat orang lain pengen tau soal kamu."
Ryan langsung mempercepat langkahnya dan meninggalkanku setelah mengatakan hal tadi. Dia terus berjalan, membaur dengan anak-anak yang memakai blazer sama dengannya.
Pertemuan singkat barusan masih mengganjal di kepalaku, firasat ini mengatakan kalau Ryan adalah orang yang berbahaya dan sebisa mungkin aku jangan sampai terlibat dengannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top