(Vol. 1) 2nd Event: Alice (Bagian 1)
2nd Event: Alice
"Dengan hari baru, datang kekuatan baru dan pengalaman baru."
Eleanor Roosevelt
07 Juli 2025
Angin menerpa wajahku, lagi. Sejuk dan menyegarkan. Sudah ketiga kalinya udara berembus lumayan kencang. Meskipun rambut panjangku jadi agak sedikit berantakan karenanya, itu tidak pantas dibenci, malah bisa dibilang aku menyukainya.
Aku selalu mengamati segala hal baru, membuatku kadang tiba-tiba diam hanya untuk memperhatikan sesuatu yang pertama kali dilihat atau dirasakan. Entah sudah berapa kali kakiku berhenti di trotoar sebab menemukan banyak hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Tepat pada hari ini aku akan tahu bagaimana rasanya kehidupan remaja karena memasuki sekolah menengah. Sekolah yang aku masuki adalah SMA Amemayu yang berfokus pada seni.
Tempat itu juga masih mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan seperti Matematika, Bahasa Inggris, dan mata pelajaran lainnya. Karena rekomendasi seseorang, diriku bisa masuk ke sana.
Jalanan sudah mulai ramai ketika matahari semakin terang. Ada beberapa anak nan juga mengenakan seragam, menunggu bus di halte, lumayan banyak. Siswa dan siswi, tidak ada orang dewasa atau yang lain. Seakan tempat ini dikhususkan hanya untuk kami–remaja.
Lima menit setelah aku ikut duduk di halte sembari memperhatikan orang lain berbincang, bus yang menjemput kami tiba. Pintu terbuka, satu persatu dari siswa masuk. Aku yang terakhir, sungguh pemandangan baru bagi mata. Suara sang supir memanggil, membangunkanku kekenyataan. Aku harus segera masuk.
Bus belum juga bergerak, membuatku sedikit penasaran kenapa sang supir belum juga menyalakannya.
Tepat ketika aku ingin menengok ke sana, dari arah pintu masuk muncul seorang siswa dengan napas yang terengah-engah. Sepertinya dia habis berlari dan untungnya tepat waktu. Bus menyala, bersamaan dengan anak tadi berjalan untuk mencari tempat duduk.
Dia terus melangkah, semakin ke belakang dan akhirnya berhenti tepat di sebelahku. Sebab satu-satunya kursi kosong ada di sini–sisi kananku.
Dengan napas yang masih tidak beraturan itu, dirinya bertanya apakah dia bisa duduk di sana. Baru pertama kalinya ada orang yang bertanya seperti itu padaku, sehingga aku terus memandangi wajahnya.
"Maaf, boleh enggak?" tanyanya lagi, membuat lamunanku yang kesekian sirna.
"Iya, boleh kok," balasku sambil memalingkan wajah ke depan.
Hal tadi tidak jadi menarik karena dia segera membuyarkan pikiranku. Dia duduk dan mulai mengambil sebotol air minum dari dalam tas. Sementara aku memilih untuk tidak memedulikannya dan memandang jalanan dari balik jendela.
Langit hampir seluruhnya ditutupi awan dan kota yang semakin ramai oleh aktivitas orang-orang. Baru kali ini aku melihat pemandangan seperti itu.
"Perkenalkan, namaku Ryan Pratama," ujar penumpang di sebelahku tadi.
Aku menoleh dan membalas perkenalannya. Tangan anak laki-laki itu diulurkan ke depan.
Aku mengerti, jadi begini caranya berkenalan dengan orang asing.
Menyambut tangannya yang agak basah, kami mulai berbicara mengenai sekolah. Walaupun hanya dia saja yang mengoceh dari tadi, sementara aku menjadi pendengar baik yang sejujurnya sangat ingin dia menutup mulut barang 10 detik saja.
Setelah lima belas menit yang terasa seperti satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai di depan gerbang Amemayu. Aku bersyukur akhirnya pembicaraan dengannya berakhir.
Aku menghela napas pelan, rasa syukur ini semoga tidak diketahui olehnya. Ryan menatap sekolah dengan mata yang terang dan bersinar-sinar, orang yang menantikan hari ini tiba sepertinya bukan aku saja.
Satu persatu siswa turun dari bus. Aku juga sudah berdiri dan mengantri untuk turun. Sepatuku akhirnya menyentuh halaman SMA Amemayu. Benar-benar tidak aku sangka kalau akhirnya bisa sebebas ini ketika berada di luar.
Halaman depan sekolah sangat indah dengan taman bunga sepanjang jalan. Areanya bahkan lebih luas daripada yang aku bayangkan. Terdapat enam gedung berbeda hanya untuk pembelajaran, belum lagi asrama dan perumahan staf.
Benar-benar berbeda dengan sekolah SMA yang biasanya ada di televisi atau komik yang pernah kubaca. Kakiku melangkah, mengikuti petunjuk arahan beberapa kakak kelas yang menyambut kami.
"Aila!" Suara familiar memanggil namaku.
Tepat ketika mata ini bertemu dengan mata orang yang memanggil tadi, dia melangkah kemari. Seorang gadis dengan rambut sebahu dan diikat pada sisi kirinya. Tubuhnya lebih tinggi dibandingkan diriku walaupun hanya beberapa senti. Namanya Tiara Pratiwi, putri dari orang yang merekomendasikanku ke sekolah ini.
Aku menyapa balik sambil mengucapkan selamat pagi. Dia tertawa pelan, sedikit menggoda kalau aku akhirnya bisa membalas sapaan.
Meskipun Tiara benar, rasanya tetap menyebalkan mendengar nada suaranya yang jelas-jelas mengejekku.
Kami berjalan bersama, mengikuti arahan para kakak kelas yang menuntun kami menuju bagunan utama sekolah. Di sana sudah banyak yang berkumpul, kami hanya perlu masuk ke barisan dan bergabung dengan anak kelas satu lainnya.
"Eh, katanya setelah acara penyambutan hari ini bakalan ada pembagian kelas." Wajah Tiara tampak penasaran, dia sedikit mengangkat wajahnya ke atas seolah mencari jawaban akan sesuatu.
"Kita bakalan sekelas enggak, ya?" aku merespon perkataannya barusan.
Terdengar bunyi gong cukup keras, membuatku dan juga siswa lain terkejut. Dari arah timur muncul seseorang dengan kostum Reog diiringi beberapa orang yang menari-nari mengelilinginya.
Sampai mereka berada di tengah-tengah murid baru yang berkumpul di depan gedung lantai tiga dengan bentuk lonjong ke belakang.
Musik techno berputar, membuat para penari bergerak sesuai tempo. Begitu pula dengan Reog yang mengikuti irama gong. Seakan melihat sesuatu yang tidak biasa, mata orang-orang seakan berkilau–penuh kekaguman.
Beberapa siswa mulai merekam pertunjukan itu dengan ponsel masing-masing. Benar-benar menarik, baru pertama kali aku melihat penampilan tersebut. Hati ini jadi berdebar-debar, menyaksikan sesuatu yang menurutku sangat indah dan tidak biasa.
Tarian menarik tadi berakhir, bersamaan dengan suara musik yang tak terdengar lagi. Setelah keheningan yang lama, tepuk tangan meriah memecah suasana. Tanpa sadar tanganku ikut melakukannya. Perasaan senang yang tidak bisa digambarkan tadi masih tertinggal. Aku ingin menyaksikannya lagi.
Dari arah yang berlawanan, seorang siswa berblazer putih berjalan ke arah kelompok penari dan Reog tadi. Ia tersenyum sambil memuji mereka. Di dada kiri blazernya, tampak pin yang mirip dengan logo sekolah ini. Sepertinya dia adalah salah satu orang penting di sini.
"Selamat pagi, dan selamat datang di SMA Amemayu. Dikarenakan hari ini adalah hari pertama kalian, kami telah mempersembahkan pentas yang dibawakan oleh Tim Reog. Mari sekali lagi beri tepuk tangan untuk mereka!"
Seperti yang dia katakan, semua orang memberikan tepuk tangan mereka sekali lagi. Selain suaranya yang lembut, sepertinya orang itu juga bisa mempengaruhi orang-orang dengan sifatnya yang santun.
Blazernya yang putih itu sedikit berbeda dengan kakak kelas lain. Ah, aku baru sadar, ada sekitar enam warna yang dikenakan murid-murid di sekolah ini. Mungkin blazer yang berbeda untuk membedakan kelas mereka.
"Perkenalkan, namaku adalah Rendra Nurfadilah. Di sini aku sebagai perwakilan dari OSIS. Kalian pasti sudah diberi tahu bahwa setelah ini akan ada pemberitahuan tentang teknis sekolah serta sambutan di Aula nanti."
Tepat setelah perkataannya tadi, terdengar pemberitahuan jika seluruh murid baru harus pergi ke aula dan menitipkan barang bawaannya kepada OSIS yang sudah menyambut kami.
Tidak ada barang apa pun yang boleh dibawa ketika sudah masuk ke dalam aula. Tas, dompet, smartphone, dan segala sesuatu seperti perhiasan jika ada yang membawanya.
Kemudian anggota OSIS berbaris, mulai meminta kami untuk mengumpulkan barang secara tertib dan teratur. Aku berada di depan Tiara dan menunggu beberapa murid nan juga mengumpulkan barang bawaan mereka.
"Aila, kamu bawa apa aja?" pertanyaan barusan datang dari orang di belakangku.
"Tas, dompet, hp sama diri aku sendiri," balasku tanpa menoleh ke arahnya.
Terdengar suara tawa yang tertahan. Entah kenapa Tiara mengeluarkan suara itu. Memangnya aku mengatakan sesuatu yang lucu, ya?
"Kamu bisa becanda juga ya, aku kira kamu orangnya aneh gitu. Moga kita beneran sekelas deh," ujarnya diiringi tawa kecil.
Ya, semoga. Inginnya aku memberikan jawaban seperti itu, tapi giliranku sudah tiba. Aku mulai menyerahkan tas kepada anggota OSIS. Dompet dan smartphone sudah ditaruh lebih dulu di dalamnya.
Kemudian anggota OSIS lain menghampiriku. Kali ini blazer yang dia kenakan berwarna abu-abu, mengarahkan jalan menuju aula.
Aku mengikuti barisan hingga akhirnya tiba di depan bangunan belakang gedung utama. Pintunya yang besar terbuka lebar, seperti menyambut murid-murid baru untuk segera masuk.
Aku langsung takjub dengan dekorasi yang ada di aula setelah masuk. Keindahannya begitu memanjakan mata. Di langit-langit, lampunya sangat terang dan diukir lukisan angkasa yang sangat biru dengan sedikit awan-awan putih.
Lantainya terbuat dari marmer, ada juga beberapa tanaman asli di dalam pot yang disusun melingkar pada tengah ruangan. Bersama dengan lampu-lampu kecil yang menggantung pada tiang seperti bunga kuncup.
Bahkan kursinya tidak biasa, karena dibuat melingkar dan tersusun semakin tinggi jika ke belakang. Daripada aula, tempat ini biasanya lebih sering digunakan sebagai tempat permainan orkestra. Di tengah ruangan ada beberapa guru dan anggota OSIS.
Kami, para murid baru duduk di kursi yang sudah disediakan. Acara akhirnya dimulai setelah orang terakhir masuk dan pintu perlahan-lahan ditutup. Diawali dengan pembukaan, kemudian beberapa patah kata dari komite sekolah, dan akhirnya peresmian kami diterima di sini.
Rangkaian itu menghabiskan waktu kurang lebih satu jam. Semuanya tampak tenang mendengarkan, tetapi tidak sedikit pula yang acuh tak acuh dan malah tertidur di kursinya.
Aku tidak pernah melihat orang banyak sebelumnya. Apalagi di aula sebesar dan semegah ini. MC mengatakan kalau acara sudah selesai. Guru-guru sudah bisa meninggalkan tempat tersebut.
Namun, kami disuruh diam sebentar karena akan ada sambutan khusus dan penyampaian dari Ketua OSIS. Sepertinya OSIS adalah jabatan penting di sini.
Banyak siswa yang mengeluh. Dari yang aku dengar sedikit, mereka tidak mengira acara penyambutannya akan selama ini dan akan ada penyampaian lagi dari OSIS. Entah kenapa aku tidak terlalu mengerti.
Apakah acara ini terlalu membosankan? Menurutku tidak sama sekali karena baru pertama kali mengalaminya.
Ketua OSIS akhirnya dipanggil untuk menyampaikan segala teknis yang ada di sekolah. Beberapa murid perempuan melihat sosok itu dengan perasaan kagum dan terpesona.
Bagaimana tidak, Ketua OSIS adalah seorang laki-laki yang lumayan tampan menurut mereka, bahkan Tiara kelihatan kagum, tergambar jelas dari ekspresinya.
Ketua memiliki struktur wajah yang rupawan. Dengan rambut yang disisir ke belakang, dan beberapa helai lurus di depan. Dia juga mengenakan kacamata untuk menutupi sorot matanya yang tajam.
Blazer yang Ketua kenakan berwarna putih, mirip dengan orang yang menyambut kami tadi di halaman. Aku bisa menyimpulkan mereka berasal dari kelas yang sama.
Suaranya cukup lantang dan lumayan bagus. Jika dia menyanyi mungkin aku akan menikmatinya, bercanda. Setelah perkenalan singkat, dia menjelaskan aturan-aturan sekolah.
Tidak ada yang aneh, karena aturan yang tadi Ketua sebutkan hampir mirip dengan rata-rata aturan sekolah lain dari apa yang aku baca di internet. Namun, setelah itu dia diam sebentar, membuatku sedikit penasaran.
"SMA ini tidak seperti SMA biasa, kelas tidak akan terbagi menjadi IPA dan IPS. Di sekolah ini setiap angkatan akan dibagi berdasarkan Kelas A, Kelas B, Kelas C, Kelas D, Kelas E, dan Kelas F.
"Sekolah ini juga tidak hanya memandang kemampuan akademis kalian, tapi juga berdasarkan bakat kalian dalam seni karena SMA Amemayu adalah sekolah yang khusus untuk mendedikasikan muridnya berekspresi melalui seni.
"Untuk pembagian kelas, seperti kalian tahu bahwa sebelum masuk ke sini, kalian pasti sudah menjalankan berbagai tes. Kelas kalian ditentukan dari hasil tes tersebut."
Penjelasan panjangnya menjawab beberapa pertanyaanku. Ternyata benar, enam blazer tadi menentukan di kelas mana mereka berada. Putih sepertinya adalah kelas unggulan, sebab kebanyakan anggota OSIS mengenakan warna tersebut.
Sementara yang terburuk adalah kelas dengan blazer hitam. Karena aku hanya melihat beberapa dari mereka berjalan di sekitaran lorong sekolah dan tidak ada satupun di antara mereka menjadi anggota OSIS.
"Tes? Maksudnya tes musik semalam, ya?"
"Bukannya semalam tes tari, ya?"
"Eh, tesku malah tes melukis."
Suasana mulai tidak terkendali, sebab murid-murid baru mulai berbincang tentang tes masuk. Mereka sepertinya diberikan tes yang berbeda-beda. Berarti aku sangat beruntung karena masuk ke sekolah ini hanya dengan rekomendasi dari orang itu.
Aku sama sekali tidak melakukan tes apapun untuk masuk, rasanya curang, tapi biarlah.
MC meminta kami semua untuk tenang, sepertinya Ketua ingin menyampaikan sesuatu lagi.
"Setelah mengetahui di mana kelas kalian berada, wali kelas akan menjelaskan teknis lebih lanjut tentang sistem di sekolah ini. Namu, sebelum itu kalian akan diberikan formulir untuk kegiatan ekstrakulikuler. Terserah kalian mau mengisinya atau tidak. Sekali lagi, selamat datang di SMA Amemayu."
SMA Amemayu adalah SMA yang didirikan oleh perusahan multinasional yang bergerak hampir di segala bidang, Amemayu Group. Selain memiliki banyak kantor cabang, perusahaan ini juga sangat terkenal karena mampu menyejahterakan penduduk berekonomi rendah yang berada di daerah pusatnya, yaitu Yogyakarta.
Seperti yang dikatakan oleh Ketua OSIS, sekolah ini adalah SMA yang fokus terhadap seni. Namun, tidak bisa dipungkiri lulusan dari SMA ini akan menjadi orang sukses karena sudah mendapatkan rekomendasi dari pihak sekolah. Entah itu menjadi aktris, model, penyanyi, musisi bahkan pelukis.
Oleh sebab itu, banyak anak yang sedikit bermasalah dalam akademisnya mati-matian berusaha masuk ke sekolah ini, tapi tidak sedikit juga anak yang akademisnya bagus masuk ke sini.
Acara penyambutan sudah selesai. Kami bersiap keluar, anggota OSIS sudah menunggu untuk menyerahkan lembar ekstrakulikuler yang akan kami ikuti nantinya. Aku dan Tiara mengambil formulir itu dari orang yang bernama Rendra Nurfadilah, orang yang menyambut kami pertama kali. Tiara kelihatannya bingung untuk memilih ekskul yang akan dia pilih.
"Kak, emangnya kami harus ikut ekskul ya?" tanya Tiara sambil memperhatikan lagi list di dalam lembar itu.
Aku ikut melihat list yang berisi beberapa ekskul seperti Tim Tari, Melukis, Musik dan Peran. Seperti yang dikatakan, sekolah ini berfokus pada seni.
Jadi selain belajar, ekstrakulikuler juga sama dengan mata pelajaran wajib kami. Sepertinya hal ini untuk memperdalam keahlian murid-muridnya. Namun, hal itu kelihatannya tidak menarik bagi Tiara.
"Kalian boleh enggak ngis,i kok," balasnya sembari tersenyum.
"Eh, beneran nih, Kak?"
"Iya beneran."
"Kami enggak ikut ekskul deh, Kak. Makasih ya," ujar Tiara sambil mengambil formulir milikku dan menyerahkannya pada Rendra.
Aku masih kaget dengan apa yang barusan dilakukan oleh Tiara. Dia langsung menyeretku untuk keluar dan mengambil barang-barang kami. Padahal aku masih penasaran dengan ekstrakulikuler tadi dan ingin menanyakan banyak hal pada anggota OSIS.
Hal itu bukan masalah juga sebenarnya. Lagipula aku tidak mau terlalu mencolok di sekolah, jadi memang rencananya tidak usah mengikuti ekskul. Akan tetapi, bukankah dengan mengikuti ekskul aku bisa mencari lebih banyak teman? Apalagi jika memiliki hobi yang sama. Mungkin akan aku pikirkan lagi nanti.
Setelah keluar dari aula, aku melihat banyak orang sedang mengerumuni sisa kiri. Di sana sepertinya ada informasi tentang di kelas mana kami ditempatkan. Masih sangat ramai, aku tidak mau berdesakkan, jadi lebih baik menunggu di sini saja. Sepertinya Tiara juga sepemikiran denganku. Dia sama sekali tidak bergerak dan malah memainkan smartphone-nya.
"Kata Ayah, kamu enggak boleh ikut kegiatan ekskul. Jadi jangan dendam sama aku ya," ucapnya memulai perbincangan.
"Ah, jadi tadi kamu disuruh Pak Santoso, ya?"
Aku menyebut nama orang yang merekomendasikanku sekaligus orang tua Tiara Pratiwi. Sebenarnya aku paham kenapa orang itu tidak ingin diriku terlalu mencolok.
Namun, sebaiknya hal itu dirahasiakan saja untuk saat ini. Tiara masih fokus pada smartphone-nya. Tanpa menoleh kemari meskipun kami sedang bicara.
Orang-orang mulai berkurang. Akhirnya kami bisa mendekat ke sana. Walaupun masih ada beberapa murid lain yang masih mencari namanya di list itu.
Aku dan Tiara sudah berada di depan papan mading digital tersebut. Terdapat enam halaman yang masing-masing berisikan empatpuluh nama. Di bagian atasnya ada abjad untuk kelas itu sendiri, dari A sampai F.
"Aku di Kelas B nih. Kalau kamu?" Tiara sudah menemukan namanya di list Kelas B.
"Bentar, masih belum nemu."
Sementara aku tidak menemukan namaku dari list Kelas A dan B. Selanjutnya mungkin ada di Kelas C, tapi masih tidak ada juga. Hingga sampai pada list Kelas E dan sama sekali tidak ada. Berarti kemungkinan besarnya adalah aku berada di Kelas F, yang benar saja. Setelah melihat list di sana, namaku sudah terpampang jelas pada nomor absen ke-23.
"Aku di Kelas F."
"Untung deh namanya beneran ada, kalau gitu aku bakalan cek kelas dulu. Oh ya, kamu pasti gak kenal siapa-siapa di sini. Mau tukeran kontak?"
Niat baiknya itu dapat kupahami, tidak buruk juga jika aku berteman dengan Tiara. Kami bertukar kontak dan mungkin aku akan sering menghubunginya nanti. Aku sedikit canggung kalau berinteraksi dengan orang asing. Untungnya kami sudah kenal sejak beberapa bulan yang lalu.
Pemberitahuan untuk anak yang sudah mengetahui kelasnya terdengar. Kami disuruh segera masuk ke kelas untuk pengenalan dengan Wali Kelas dan penjelasan lebih lanjut mengenai sistem sekolah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top