(Vol. 1) 1st Event: Dr. Jekyll & Mr. Hyde (Bagian 8)

06 Agustus 2025

Matahari pagi begitu menyilaukan, akhir musim kemarau sepertinya sudah hampir tiba. Berjalan ke sekolah dari asrama dengan blazer ini rasanya cukup menyiksa. Sangat panas, bahkan belum separuh jalan aku sudah sedikit berkeringat.

Untungnya di dalam sekolah hampir seluruh ruangan memiliki AC sehingga tidak akan terasa begitu panas. Tapi di perjalanan ini, aku benar-benar seperti direbus, padahal baru pukul 8 pagi.

Seperti biasa, aku berjalan sendiri menuju sekolah. Tidak ada yang mengajak atau bisa diajak jalan bersama. Tiara pasti pergi bersama dengan anak-anak Kelas B.

Sementara Felly sudah pergi 30 menit yang lalu untuk menyiapkan segala sesuatu di kelas. Rasanya aku harus coba mencari teman lagi agar bisa diajak pergi ke sekolah bersama.

"Nyebelin banget," gerutu seorang siswa yang berjalan di depanku.

"Iya, sombong banget sih padahal cuman anak Kelas E. ngomong-ngomong kamu udah dapat kelompok?"

Mereka membicarakan tentang event bulan ini ya? Wajar mereka akan segera merekrut anak-anak kelas lain, melihat waktunya yang sangat singkat. Untuk membuat kelompok, kami diberi waktu 3 hari dari sekarang.

Kalau terlambat artinya hanya akan mendapatkan orang-orang yang tidak bisa melakukan apa-apa. Aku juga harus bergerak.

Kelas F sudah terlihat, namun pemandangan ini benar-benar tidak terduga. Banyak anak kelas lain yang ada di sana. Aku kira Kelas F yang akan mati-matian mencari kelompok, tapi kelihatannya malah kelas lain yang menawarkan diri untuk membentuk kelompok dengan kami.

Di luar ekspektasiku yang sangat pesimis. Satu-satunya yang membuat ini terjadi sepertinya adalah Felly, dia bilang akan membantu untuk mencarikan kelompok.

Ini berbahaya, bisa-bisa aku kehabisan orang untuk diajak bergabung dalam kelompok. Aku mempercepat langkah, memasuki kelas yang juga sudah ramai.

Pelajaran pagi sengaja dikosongkan agar kami bisa membentuk grup. Namun, aku tidak menemukan Felly didalam kelas. Seharusnya dia sudah datang sejak tadi.

"Aku pengen ngajak Felly buat bikin kelompok, tapi dia di mana ya?"

Suara anak laki-laki yang punya pemikiran sama denganku. Felly memang populer ya, karena sikapnya yang seperti malaikat dan mudah bergaul dengan siapa pun. Aku sekali lagi iri padanya, tapi di mana dia saat ini? Ketika aku ingin duduk di bangku, seseorang datang dan menyapaku.

Dia adalah anak laki-laki yang memakai blazer berwarna camel. Wajahnya terlihat sangat tenang, matanya menatap dengan perasaan hangat dan segar, senyuman tipis itu terlihat yakin tanpa keraguan.

Sekali melihatnya saja pasti sudah ketahuan kalau dia adalah siswa yang mirip dengan Felly, bisa diandalkan dan bisa memimpin. Tipe orang yang mudah bergaul dengan siapa saja.

"Maaf kalau aku ganggu kamu. Aku cuma pengen nanya, apa kamu udah ada kelompok?" Dia mempertahankan senyuman nan damai.

Wow, serius? Pertanyaan ini pasti mengarah pada ajakan untuk bergabung dengan kelompoknya. Benar-benar situasi yang tak terprediksi. Aku merasa sangat senang, jantungku jadi berdebar-debar.

Sesuatu yang baru memang menarik. Akan tetapi, aku harus menolak ajakannya dulu, aku ingin yang mengajakku adalah anak perempuan agar bisa berteman baik. Mungkin tidak apa jika menolak undangan pertama ini.

Aku mengatakan yang sejujurnya. Dia mengangguk dan menyarankan kalau diriku belum juga mendapatkan kelompok sampai siang nanti, aku boleh bergabung dengan kelompoknya, aku beruntung sekali.

Menurutku ini adalah sesuatu yang bagus, apakah aku sudah sampai pada tahap 1 seseorang mengalami fase popularitas yang terjadi tiga kali dalam kehidupan. Mungkin memang sudah waktunya aku mengalami itu.

Pesan masuk di smartphone-ku. Aku melihatnya, sebuah nomor yang tidak dikenal, rasa penasaran muncul dan aku membukanya. Mataku sedikit melebar ketika melihat isi dari pesan tersebut.

Inti dari isi pesan tersebut adalah, pemberitahuan kalau aku sudah bergabung dengan sebuah kelompok dan sudah terdaftar oleh pihak sekolah. Lelucon macam apa ini!? Padahal jelas sekali aku tidak menerima undangan dari siapa pun dan tidak pernah menyetujui apa pun.

Hanya satu orang yang mungkin dapat melakukan hal ini. Ya, pasti dia. Aku segera bangkit dari tempat duduk dan bergegas menuju ruang guru. Ada sesuatu yang ingin aku konfirmasi.

Sesampainya di sana, aku langsung menemukan sosok yang dicari. Pria tinggi yang sedang membawa lembaran kertas, Pak Irfan. Dia juga melihatku sehingga mata kami bertemu.

"Ada apa, Aila?" Pak Irfan sedikit terkejut, tetapi nada suaranya masih lemas seperti biasa.

"Ada yang ingin saya tanyakan."

"Bicarakan itu diruanganku."

Pria itu melangkah pergi. Masuk ke dalam ruang guru, menghilang ke balik pintu yang setengah terbuka. Aku tidak punya pilihan lain, kalau aku tidak bicara dengannya masih ada yang mengganjal di kepalaku. Aku harus tetap tenang, jangan membuat kegaduhan yang tidak berarti.

Saat memasuki ruangan, aku bisa melihat Pak Irfan yang sudah duduk bersandar di kursinya seperti kehabisan tenaga. Dia menatapku dengan mata sayu tanpa minat, seolah menyuruhku segera menyelesaikan urusan di sini.

"Sebelum kamu bertanya, aku juga ingin bertanya. Kamu ini, benar-benar meremehkan sekolah ya?" Pak Irfan meletakkan kertas yang tadi dia bawa ke atas meja. Intonasinya tidak biasa, dia serius.

"Apa maksud Bapak?" Aku harus mencari informasi.

"Bukannya sudah jelas, ini soal anggota kelompok kamu," Pak Irfan mengatakan sesuatu yang mengejutkan, berarti guru tidak berpengaruh dalam pembentukan kelompok, 'kan? Dia mengeluh dengan napas berat, "padahal baru kunasihati kemarin. Terus apa pertanyaan kamu?"

"Saya cuma pengen tau, apa guru bisa ngatur pembentukan kelompok?"

Wajahnya tampak terkejut, seperti tidak percaya aku akan menanyakan pertanyaan tadi. Namun, kenapa aku bisa masuk ke dalam kelompok yang sama sekali tidak aku ketahui orang-orang di dalamnya.

"Tentu saja tidak, pembentukan kelompok adalah kebebasan murid. Kami sebagai guru sama sekali tidak boleh ikut campur. Kenapa kamu menanyakan itu? Padahal kamu sendiri yang meremehkan event sekolah ini dengan membentuk kelompok dengan murid-murid yang sama sekali tidak pandai dalam musik." Pak Irfan sama sekali tidak terlibat. "Apa cuma itu yang ingin kamu tanyakan?"

Awalnya kupikir Pak Irfan yang menentukan sendiri kelompokku dengan tujuan membantu agar aku mendapatkan kelompok yang bisa membantu, tetapi aku ingat dia bukan guru yang sebaik itu.

Lagipula kalau dibantu pun, aku merasa tidak adil. Saat murid lain mengajak orang lain, kelompokku malah ditentukan oleh orang lain. Rasanya sama saja seperti tidak memiliki kebebasan, dan aku membencinya.

Aku mengangguk sebagai balasan.

Jadi siapa sebenarnya yang melakukan ini kalau bukan Pak Irfan. Aku mulai mengingat lagi syarat pembentukan kelompok. Diperlukan ID siswa yang hanya diketahui oleh kami dan harus diserahkan pada orang yang akan menjadi ketua kelompok. Aku tidak pernah memberikan ID pada siapa pun. Kecuali ....

"Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya permisi."

"Ya, usahakan jangan terlalu sering kemari."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top