SE Damar I. Brahmasta: Geppetto Melihat Cahaya Di Matanya

Side Event Damar I. Brahmasta

"Geppetto Melihat Cahaya Di Matanya"

18 Maret 2022

"Mas Damar, bentar lagi kita bakalan sampai. Apa Masnya yakin mau nemuin anak itu?"

Supir di depan sana menghancurkan lamunanku. Dari spion aku bisa tahu matanya sewaktu-waktu mengintip. Masih ada keraguan dalam diri Pak Santoso sehingga dia mencoba mengonfirmasi lagi.

"Ya, saya ingin melihat langsung bagaimana anak yang katanya memiliki perfect memory itu."

"Saya tidak bisa memastikan apa gadis yang Masnya cari masih ada di rumah atau sudah dipindah ke fasilitas Amemayu." Pak Santoso sesekali mengetuk telunjuknya di kemudi.

"Saya juga enggak terlalu berharap. Ngomong-ngomong, Pak Santoso. Kenapa Bapak gelisah?"

Dia bingung dengan pertanyaan barusan sehingga terdengar suara kecil keluar dari mulutnya.

"Bapak sudah mengetuk jari Bapak beberapa kali. Kalau enggak ada hal yang mengganggu, mana mungkin Bapak ngelakuinnya."

Itu adalah kebiasaan yang sering ia lakukan ketika dirinya sedang gugup atau khawatir. Aku sudah mengingatnya baik-baik dalam kepala karena dia adalah orang yang duduk di depan sana selama 7 tahun. Segala tingkah lakunya terekam diingatan ini.

"Haha, Mas Damar emang hebat kayak biasanya. Saya tidak menyangka kalau Mas Damar selalu merhatiin tingkah saya."

Pak Santoso memberikan pujian tulus. Aku dengan senang hati menerimanya. Namun, dia belum juga memberi tahu awan kelam apa yang menutupi pikriannya.

Sudah hampir satu menit berlalu semenjak kata terakhir dilemparkan Pak Santoso. Jika ini pembicaraan normal, aku bisa saja mengganti topik tadi dengan topik lain. Akan tetapi, kegelisahan yang dialami oleh pria itu sama sekali tidak bisa kuketahui.

Memberikan dorongan juga bukanlah hal yang bagus, karena jarang berhasil pada orang dewasa. Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang hanyalah diam dan menunggu tindakan Pak Santoso berikutnya. Apakah dirinya tetap berada dalam awan kelabu atau melangkah ke sisi yang lebih cerah?

"Sebenarnya, anak yang Mas Damar ingin temui seharusnya sedang berduka. Karena satu-satunya orang yang menyayangi anak itu meninggal beberapa hari yang lalu. Saya ikut menghadiri pemakamannya, tapi yang membuat saya sedikit takut bukanlah itu ...."

Keraguan kembali menyelimuti hati Pak Santoso. Suaranya seakan diikat oleh sesuatu. Meski tidak begitu yakin, aku bisa melihat tangannya yang memegang kemudi itu sedikit bergetar.

"Anak itu ... meski umurnya 13 tahun ... meski melihat langsung kematian ibunya, dia tidak merasa berduka. Dia sama sekali tidak menangis. Gadis kecil yang tak memiliki air mata ...."

Ditengah-tengah ceritanya, aku bisa mendengar isak tangis pilu. Pak Santoso adalah salah satu orang penting di proyek Amemayu Children's dan dia selalu menyesali keterlibatannya dalam proyek tersebut.

Membesarkan anak di usia golden age dengan lingkungan bahagia agar perkembangan otak menjadi maksimal. Lalu memberikan mereka kurikulum pelajaran yang tidak manusiawi setelah usianya 12 tahun, membunuh emosi mereka.

Dari 100 sampel, hanya ada sedikit yang berhasil dan akan dilanjutkan pada tahun berikutnya. Tujuannya adalah menciptakan manusia yang mengedepankan logika dibanding perasaan. Seorang yang mampu membimbing orang lain agar lebih baik dengan perhitungan yang logis.

Pak Santoso bekerja dalam proyek itu selama dua tahun dan berhasil memperoleh sampel bagus sekitar 15% keseluruhan. Mereka yang berhasil disebut Amemayu Children's. Sementara anak-anak yang gagal mengalami brain damage cukup parah.

Dia sama sekali tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena terlibat langsung dalam proyek tersebut dan menganggap kalau semua adalah salahnya. Sebab Pak Santoso lah yang mengumpulkan 200 anak yatim tersebut selama dua tahun.

"Bukannya gadis itu  ada hubungannya sama proyek Bapak? Saya juga denger dari beberapa orang, kalau sebenarnya karena dia jugalah diusulkannya proyek Amemayu Children's. Orang yang paling bertanggung jawab adalah dia."

Apa yang kukatakan bukanlah omong kosong untuk menghibur orang dewasa. Aku membicarakan fakta yang sebenarnya. Karena kemampuan perfect memory gadis tersebut, Amemayu Group berpikir untuk mengaplikasikannya pada anak-anak yatim, tetapi sampai sekarang belum ada yang bisa.

Mereka hanya jadi lebih jenius dibandingkan anak-anak lain pada umumnya. Jenius buatan yang akan digunakan untuk keperluan Amemayu sendiri nantinya.

"Mas Damar, awalnya perfect memory cuma hipotesis ketika anak itu masih dua tahun. Saat itu juga dimulailah proyek Amemayu Children's. Apa Mas mau menyalahkan semuanya pada anak kecil?"

"Apa ...."

"Proyek Amemayu Children's murni terlahir dari keingintahuan dan keserakahan manusia."

"Lalu, apa Bapak juga membunuh emosi anak itu?"

Kembali terdiam ketika pertanyaan tadi datang, tubuh Pak Santoso sama sekali tidak bergetar. Kali ini dia bukannya ragu, tetapi tidak mau menjawab. Tidak, itulah jawaban yang dia berikan. Pembicaraan kami pun akhirnya berhenti sampai di sana.

Mobil yang kutumpangi akhirnya berhenti, tepat di depan halaman villa besar bertingkat yang didominasi warna hitam. Pilar-pilarnya seakan menyabut tamu yang berjalan ke arah pintu masuk. Meski begitu, halamannya sungguh tidak terawat.

Aku malah merasakan sensasi aneh saat menginjakkan kaki. Rumput-rumput liar tumbuh dengan gila di halaman ini, menghancurkan tanaman hias yang ada di dalam pot. Tumbuhan merambat bahkan sudah hampir menutupi jendela kaca pada dinding yang catnya sudah banyak terkelupas.

"Benar-benar seperti tempat berhantu," ungkapku sembari memperhatikan jendela di tingkat dua. Merasa ada yang tengah memperhatikan kami sejak awal dari sana.

"Mas Damar juga berpikir begitu?"

"Siapa pun yang melihatnya juga akan berpikir seperti itu, 'kan?"

Sepertinya tadi cuma firasat.

"Awalnya saya juga memiliki kesan yang sama. Saya bahkan ragu kalau ada orang yang tinggal di sini. Sulit membayangkan ada ibu dan anak yang tinggal di dalam rumah mengerikan seperti ini, tapi itulah kenyataannya." Pak Santoso menjelaksnnya dengan suara lesu.

"Apa orang tua saya yang mengurung mereka di sini?" aku bertanya dengan intonasi mirip.

Tanpa suara, Pak Santoso mengangguk atas pertanyaan tadi. Pembicaraan itu berakhir dengan sendirinya. Aku pun mengikutinya ke arah pintu masuk dan aku bisa melihat keringat di dahinya semakin banyak.

Pintu dari kayu jati tersebut dibuka, mengeluarkan suara decitan kecil yang menggelitik telinga. Aku sedikit terkesan dengan bagian dalamnya karena lebih bersih daripada diluar, bahkan hampir tidak ada debu yang menempel. Seseorang pasti selalu membersihkan rumah ini.

Meski begitu, ada hal yang mengganjal pikiranku. Semua perabotan ditutupi oleh kain putih menambah kesan kalau tempat ini tak berpenghuni. Mulai dari kursi, meja, lemari dan bahkan piano yang ada di dekat jendela. Kalau saja tempatnya kotor, aku sangat yakin kalau ini memang sarang hantu.

"Setiap hari ada seseorang yang dibayar untuk membersihkan villa ini. Tapi setelah kematian Nyonya Jessica, anak itu menutup semua perabotan di lantai satu dan melarang orang lain membukannya." Seolah membaca pikiranku, Pak Santoso menjelaskan sambil membuka kain putih yang menutupi piano.

"Jadi anak itu juga diajari main piano?" aku duduk di kursi itu dan mulai menyentuh beberapa tuts putih.

"Itu adalah piano kesenangannya. Tapi setelah berumur 10 tahun dia bilang tidak mau lagi bermain piano. Setelah kematian Nyona Jessica dia langsung menutupinya dan melarang orang lain menyentuhnya."

Berfungsi dengan baik, bahkan suaranya lebih bagus daripada yang aku kira. Terasa nostalgia, perasaan ingin melantunkan musik dari hatiku terus bergejolak.

Jemariku langsung menari-nari di atas tuts putih dan hitam. Lantunan melodi mulai bergema, memecah keheningan yang dari tadi mengurung kami. Bukan tanpa alasan, aku ingin memanggil penghuni rumah dengan memainkan musik klasik, Nocturne Op. 9, No. 2.

Sampai akhirnya lagu itu berakhir, tak ada makhluk yang memenuhi panggilanku. Keberaadaannya pun sama sekali tidak terasa. Mungkin anak itu sudah dipindahkan ke tempat lain oleh Amemayu. Sepertinya aku akan pulang dengan tangan hampa.

Saat berpikir begitu, mataku tiba-tiba menangkap kepala yang bersembunyi di belakang pilar di lantai dua yang dekat dengan tangga. Aku lalu menoleh ke arah Pak Santoso umtuk mengonfirmasi dan dia memberikan anggukan sebagai respon tanpa komunikasi verbal tersebut.

Di tengah suasana aneh itu, aku perlahan menaiki tangga. Rasa penasaran dan ingin tahu itu sama. Penasaran dengan sosok seperti apa adik kecil yang diciptakan Ayahku. Serta ingin tahu apakah memang benar ia memiliki perfect memory seperti yang selalu diberitakan.

"Siapa kamu?"

Sambutan yang kuterima ketika menginjak lantai dua sama sekali tidak ramah. Malahan suara tadi terkesan dingin dan tidak senang. Aku menoleh ke samping kiri, di mana ada seorang gadis kecil berambut panjang dengan mata lebar terus menatapku dengan datar.

Sebenarnya aku tidak yakin bisa berurusan dengan anak kecil, mengingat di rumah saja aku kesulitan berkomunikasi dengan adikku. Tidak perlu diragukan, gadis dengan tatapan tanpa kehidupan ini adalah adikku yang satu lagi. Anak yang terlahir ketika Ayah ingin mencari keturunan jenius dengan istri simpanannya.

"Kamu sendirian di sini?" aku melihat lagi tubuhnya yang ramping dan kecil.

"Aku enggak apa-apa sendirian. Lagi pula semuanya sama aja, pasti bakalan pergi ...," lirihnya dengan suara datar.

"Kenapa kamu bilang begitu?" dengan suara lembut, aku mencoba mengetuk hatinya.

Ia sama sekali tidak membalas, malah mengalihkan pandangannya dan menghindari kontak mata. Meski berusaha kuat, ternyata tidak semua emosinya dibuat mati. Pasti masih ada rasa sedih dihatinya ketika orang yang ia sayangi meninggal. Dirinya hanya tidak tahu bagaimana mengekspresikannya, mungkin.

"Siapa namamu?"

"Aila." Ia tidak menengok kemari ketika mengatakan itu, masih menghindari kontak mata. Apa sifatnya memang pemalu begini?

"Cuman Aila?"

Wajahnya menampilkan keraguan sekaligus keterkejutan. Sebagai seorang anak kecil berumur 13 tahun dirinya terlalu waspada. Tidak salah memang, apalagi baginya aku adalah orang asing yang entah bagaimana memasuki kastilnya. Sedikit waspada bukanlah tindakan buruk.

Sekarang ia berani menatapku yang sedikit membungkuk untuk menyamakan tingginya yang kurang dari satu setengah meter. Aku memperhatikan lagi ekspresinya yang dipenuhi oleh awan kelabu, benar-benar suram.

"Aila Permata Putir," jawabnya dengan nada yang turun satu atau dua oktaf.

Aku tersenyum sedikit ketika mendengar nama lengkapnya, tetapi respon gadis ini sama sekali tidak berubah. Matanya tetap memandang dengan datar. "Kenalin, namaku Damar."

"Cuman Damar?"

Aku sedikit terkejut karena ia memberikan tanggapan yang tak terduga. Bahkan ekspresi yang agak datar tadi telah luntur dan memunculkan raut penasaran yang meminta jawaban.

Layaknya anak kecil polos yang dipenuhi oleh rasa haus ingin tahu, wajahnya memang semanis itu. Tidak adil rasanya memang kalau ia memberi tahu nama lengkapnya saja.

"Damar Indra Brahmasta. Tapi panggil aja aku Damar, ya?"

"Kalau gitu, aku mau dipanggil Aila."

Percakapan kami berjalan lebih lancar daripada yang aku bayangkan. Awalnya kukira ia akan sama dengan Amemayu Children's yang emosinya sudah dibunuh sebelumnya. Namun, Aila sama sekali tidak memperlihatkan hal itu. Malah dirinya tak lebih dari seorang anak kecil yang biasa.

"Kenapa kamu pengen dipanggil Aila?"

Keraguan kembali muncul dalam hatinya. Ia langsung menunduk sambil menoleh ke sana kemari. Tangannya mengepal erat di depan dada. Aku sedikit menunduk lagi untuk melihat wajahnya.

"Soalnya .... Mama selalu manggil aku Putri, dan kalau ingat itu ... dada aku sakit. Aku enggak mau inget, tapi malah selalu inget sama Mama. Setiap ingat Mama rasanya sakit." Aila tidak mengangkat kepalanya. Walau tidak menangis seperti yang dikatakan Pak Santoso, aku bisa mengerti kalau dirinya menderita.

Perfect memory, kejadian langka di mana seseorang bisa menyimpan semua ingatannya. Bahkan sejak dilahirkan ke dunia ini. Memang sangat berguna, tetapi juga membawa kutukan di waktu yang sama.

Kenangan bahagia akan tersimpan selamanya, begitu juga dengan kenangan pahit. Seumur hidup orang dengan perfect memory pasti akan selalu mengitnya, kutukan dari berkah yang di dapatkan. Rasa sakit yang abadi.

"Baiklah, kalau gitu aku bakalan manggil kamu Aila. Salam kenal, ya." Aku mengulurkan tangan sambil memberikan senyuman untuk meyakinkan ia menyambutnya.

"Kenapa tangan kamu gitu?" Aila kelihatan bingung, tidak ia memang bingung dengan tindakan seperti ini.

"Apa kamu enggak tau, kalau tiap kenal sama orang baru kita bakalan jabat tangan dulu?" senyumanku semakin lebar setelah menjelaskan hal tadi.

Aila menggeleng sebentar, lalu dengan ragu-ragu menyambut uluran tangan tadi. Ia adalah anak yang menjadi fondasi proyek Amemayu Children's, itulah yang awalnya kuketahui. Namun, setelah melihatnya secara langsung. Ia sama sekali tak berbeda dengan anak-anak lain.

Hanya gadis kecil yang tak melihat dunia secara luas dan kebetulan mendapatkan berkah sekaligus kutukan yang ingin dimanfaatkan oleh keserakahan manusia.

"Gimana kalau kita ke kota. Bukannya kamu hari ini ulang tahun?"

Awalnya Aila terkejut dengan tawaranku barusan, tetapi dalam sekejap matanya yang tadi gelap mendadak cerah. Ia juga memastikan pendengarannya dan menanyakan apakah boleh dirinya keluar dari sangkar ini. Tentu saja aku mengangguk.

***

Dengan bantuan Pak Santoso, kami mulai berjalan-jalan di kota. Menikmati pemandangan. Melihat beberapa barang di toko dan juga mencicipi beberapa camilan yang diinginkan oleh Aila.

Ia selalu memperhatikan hal-hal baru, seolah tidak pernah melihatnya. Dengan rasa penasaran tinggi, dirinya bahkan mendekati merpati yang ada di taman dan ketika burung-burung itu terbang menjauh mulutnya jadi cemberut.

Aila lebih hidup daripada yang aku bayangkan.

Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa terasa matahari sudah bertengger di ufuk barat. Aku memutuskan untuk kembali ke villa di mana Aila tinggal. Hari ini tidak berjalan sesuai dengan apa yang kurencanakan, tetapi malah mendapatkan hasil yang tak terduga.

"Bagaimana pendapatmu soal di luar villa?" Aku menatap Aila yang masih menempelkan wajahnya di jendela mobil, memperhatikan jalanan yang tak bisa ia lihat setiap hari.

Ia kembali duduk di kursinya. Lengkungan tipis yang awalnya tidak pernah ada mulai muncul di bibirnya. Tatapan tanpa kehidupan tadi telah benar-benar hilang, seolah mendapatkan semangat kembali.

"Banyak aroma baru yang aku cium, terasa menyenangkan," ia mempertemukan kedua telapak tangannya, dengan senyuman Aila melanjutkan, "angin di luar rasanya beda, mataharinya juga beda. Pipiku rasanya jadi panas. Jantungku ikut berdebar-debar. Aku baru tau, kalau dunia ini indah sekali."

Aku tertegun mendengar jawaban tulus yang keluar dari mulut Aila. Ia yang tidak pernah keluar dari villa dan hanya mengetahui dunia dalam lingkup kecil malah mengatakan hal yang lebih manusiawi daripada aku.

Selama ini aku tidak pernah menganggap dunia ini indah. Tetapi, mendengarnya dari seseorang seperti Aila, aku merasa kalah. Aku hanya melihat dengan satu sudut pandang dan menganggap dunia ini menyedihkan. Sepertinya cangkang ini juga harus kupecahkan.

Dua ... tidak, tiga tahun lagi aku berjanji pasti akan benar-benar menciptakan dunia di mana Aila bisa bergerak dengan bebas di bawah matahari. Meski hanya sementara, aku ingin gadis ini melihat dunia lebih luas lagi. Dengan begitu keputusan akhir akan berada di tangannya.

Apakah ia akan tetap mencari kebebasan atau malah kembali terkurung oleh mereka. Aku akan membuat ia bisa menentukan masa depannya sendiri dengan lingkungan yang akan ia sukai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top