Epilog
Epilog
Beberapa nama terpampang jelas pada mading elektronik. Mereka adalah orang-orang yang terkena dropout. Meskipun di Kelas D aku tidak menduga akan sebanyak itu dan ada beberapa nama yang tidak sesuai perkiraanku. Rinciannya adalah, dua orang dari Kelas A, lima orang dari Kelas D dan satu orang dari Kelas E.
Sepertinya yang bermain curang bukan hanya anak Kelas D, sebab aku bisa melihat beberapa anak kelas lain yang berada di sini menatap layar itu dengan minat yang tinggi. Tidak seperti kebanyakan siswa lain yang sama sekali tak mau tahu siapa yang terkena dropout.
Aku bisa melihat anak dari setiap kelas berdatangan, meskipun hanya ada satu atau dua orang. Sepasang anak Kelas A berjalan mendekati mading, yang satu adalah gadis dengan rambut panjang dan tahi lalat di bawah mata kanannya. Sementara yang satu lagi adalah anak laki-laki yang berpenampilan seperti anak berandalan dengan tindik di telinganya.
Di belakang gadis itu aku bisa melihat seseorang dengan blazer abu-abu mendampinginya, seseorang dari Kelas E. Mungkin sudah cukup, sebaiknya aku menjauh dari sana, sulit mendengarkan pembicaraan mereka. Lagipula aku mmemang tidak ada niatan menguping.
Kadang-kadang terlalu banyak ingin tahu konflik akan membuat kita sendiri terjerat masalah. Sementara aku yang memiliki prinsip untuk menghindari masalah sudah jelas akan segera pergi dari sini.
Tanpa aku sadari di depan mading itu sudah ada masing-masing sekitar satu sampai tiga orang dari kelas yang berbeda. Anak baru yang memasuki Kelas F juga berdiri di sana. Sementara anak-anak kelas D tentu saja diwakili oleh Ryan dan beberapa bawahannya.
Aku memutuskan untuk kembali ke asrama, semakin lama di sini maka akan semakin menarik minat orang-orang yang berada didekat mading tersebut. Sepertinya mereka adalah sosok yang harus dihindari, aku bisa tahu karena ada Ryan Pratama bersama dengan mereka. Dia sendiri pernah bilang sedang berurusan dengan Kelas A.
Aku menelusuri jalan dengan kaki kecil ditemani angin sejuk yang benar-benar nyaman. Meskipun tadi dilanda oleh situasi menegangkan aku cukup puas karena semua ini sudah berakhir. Kehidupan SMA yang indah dan damai sudah kudapatkan, sekarang tinggal melanjutkannya saja.
Namun, ketenangan itu sepertinya akan terganggu sekali lagi. Di tengah perjalanku, mata ini mendapati sosok siswa Kelas 3-A yang sedang berdiri bak patung di bawah pohon akasia. Meskipun tertutupi kacamata, aku bisa sadar dengan pandangan tajam yang dingin dan menusuk itu.
"Aku rasa Santoso sudah mengatakan padamu untuk tidak menarik perhatian di sekolah ini," ujarnya ketika jarak kami sekitar beberapa sentimeter lagi.
"Iya, aku tau."
"Lalu, kenapa kau melakukan tindakan yang seharusnya tidak kamu lakukan?"
Pertanyaan itu sepertinya mengenai sabotase alat musik kemarin. Penampilan beberapa anak jadi terganggu dan pihak OSIS mengetahuinya. Mereka hendak memastikan semua murid berlaku adil dalam setiap event tentu saja jika ada kecurangan seperti itu mereka akan menyelidikinya.
"Apa aku punya pilihan lain? Kalau kakak enggak bisa bantuin aku, lebih baik enggak usah ikut campur dengan urusanku," balasku memalingkan wajah darinya.
Orang ini adalah sang Ketua OSIS di SMA Amemayu, Damar Indra Brahmasta, ia terdiam sebentar setelah mendengar kata-kataku. Mau berapa kalipun aku memanggilnya dengan sebutan Kakak, pada kenyataannya aku terus menolak untuk mengakuinya.
Dia membenarkan posisi kacamata dengan telunjuk kanan lalu berkata, "Jangan lupa, kalau yang memberi kamu kebebasan itu bukan cuma Santoso."
Menyebalkan, Damar mengungkit masalah di mana aku menjadi pihak yang harus sadar akan posisiku. Kebebasan yang aku dapat memang bukan usaha sendiri, tetapi untuk mempertahankannya aku tidak bisa mengandalkan orang lain.
Hubungan kami terikat darah, tapi juga dipisah oleh status. Pemikiran kami tentu saja sangat berbeda. Satu-satunya hal yang membuat dia memberikan kebebasan ini setelah mengetahui keberadaanku empat tahun sebelumnya, sudah sangat terlambat.
"Pak Santoso sama Kakak cuman ngasih aku kunci buat keluar dari tempat itu. Untuk pertahaninnya di tempat kayak gini aku harus pakai caraku sendiri."
"Jika kamu melakukan sesuatu seperti ini lagi, aku sendiri yang akan turun tangan untuk mengembalikan kamu ke tempat itu. Sepertinya aku melakukan kesalahan karena sudah membantu Santoso melepaskanmu ke dalam sekolah ini."
Dia tidak pernah memikirkan perasaan orang lain atas ucapannya, itu adalah salah satu alasan aku membencinya dan bahkan sangat tidak ingin mengakui kalau kami memiliki hubungan adik-kakak. Aku sudah cukup puas berpura-pura tidak mengenalnya sampai sekarang.
"Terserah Kakak mau ngelakuin apa. Tapi, kalau sampai Kakak ngusik kehidupan aku di sini, OSIS ataupun aturan sekolah ini sendiri bahkalan aku lawan."
Ini adalah deklarasi yang nekat, tidak ada jaminan kalau aku melawan OSIS ataupun aturan sekolah akan mendapatkan ketenangan. Malahan aku bisa saja terkena dropout tiba-tiba. Namun, paling tidak aku harus menghadapinya dengan segala sesuatu yang bisa aku lakukan.
"Aku memaafkanmu kali ini. Asal kamu tidak menarik perhatian lagi, aku yakin kehidupan kamu bahkalan tenang selama ada di sekolah ini. Tahun ini proyek Amemayu Children's menggunakan lebih banyak orang, tidak seperti sebelumnya. Mereka yang mengetahui siapa kamu sebenarnya pasti akan menyerangmu tanpa ampun." Damar melangkahkan kakinya, berjalan melawan arah denganku. Sepertinya dia menuju kembali ke aula utama.
Aku sedikit tersenyum mendengar nasihat terakhirnya, dia benar-benar orang yang tidak bisa jujur. Mungkin aku juga begitu.
Tidak peduli seberapa banyak Amemayu Children's yang datang dan menunjukkan taringnya padaku. Selama aku mempunyai bidak-bidak yang sudah disimpan dengan baik, semuanya akan berakhir dengan kemenangan.
Hubungan manusia itu rapuh, tidak ada tingkat kepercayaan 100%. Aku sudah sering mengalaminya, di mana seseorang mengatakan "Aku tidak akan meninggalkanmu" atau "Aku sangat menyayangimu" tapi pada akhirnya dia akan pergi tanpa alasan yang jelas.
"Wah, Aila, kebetulan banget. Kami juga baru aja mau balik nih, mau bareng enggak?"
Suara gadis yang familiar terdengar dari arah belakang. Aku melihat Vero dengan kelompoknya sedang berjalan pulang menuju asrama. Aku sedikit tersenyum dan mengatakan kalau aku ingin ikut. Tentu saja mereka mengijinkannya.
Benar, hubungan manusia yang disebut pertemanan juga rapuh. Namun, aku juga ingin merasakan bagaimana hubungan pertemanan itu bisa membuatku tumbuh menjadi lebih baik. Berbagi perasaan senang dan sedih dengan orang lain, aku ingin merasakannya. Karena hidup di lingkungan seperti ini ternyata ... menyenangkan.
Aku akan berubah, menjadi lebih baik lagi daripada sebelumnya. Karena dia sudah memberikan kebebasan ini, dia juga yang mungkin menciptakan lingkungan seperti ini. Aku tidak akan mengikuti kemauan orang yang mengurungku bersama Ibu dulu.
Namun, apakah aku memang bisa berubah? Aku menantikan perkembangan diriku sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top