Part 4
.
.
.
Sudah dua minggu ini kau mencoba mengintimidasi dan berperilaku tidak bersahabat kepada Joonghyuk. Tetapi, mengapa pemuda itu terus-terusan saja mendekatimu dan Dokja? Seolah tidak ingin menyerah meskipun berkali-kali dijatuhkan. Melihat wajah murungmu, Sangah memutuskan untuk mengangkat suara, "[Name], ada apa? Akhir-akhir ini, kau terlihat lesu."
"Eunnie, Yoo Joonghyuk harus dimusnahkan, bukan?" rengekmu tanpa menyadari kalau sosoknya telah berada di belakangmu. Kau suka memanggil Sangah dengan panggilan kakak saat hanya ada kalian berdua, walaupun kalian satu angkatan. Menurutmu, vibes gadis itu benar-benar setipe kakak perempuan yang dapat diandalkan.
Sangah memalingkan pandangan, tak menjawabmu sama sekali dan hanya memasang senyum kikuk. Kalau sudah seperti ini, kau sadar ada yang salah. Sontak saja, kau menengadah, menatap Joonghyuk yang tengah menunduk balas menatapmu dengan wajah sangarnya. Dahimu mengerut, irismu membelalak mendapati sosoknya yang muncul tanpa diundang.
"Kau lagi?"
"Apa maksudmu, aku harus dimusnahkan, huh?"
Tak menjawab pertanyaanmu dan malah balik bertanya. Kau mendengkus, mengabaikannya lantas menggenggam tangan Sangah. Namun, pemuda itu malah menahan lenganmu, membuatmu berhenti melangkah.
"Uhm, aku ... akan pamit duluan, ya. Nikmati waktumu, [Name]," tutur Sangah, membungkukkan sedikit badannya. Lalu pamit tergesa-gesa, meninggalkan dirimu berdua dengan Joonghyuk.
"Eh, Sangah? Tunggu, Sangah!"
Terlambat, gadis dengan helaian rambut cokelat itu telah menghilang dari balik koridor. Kau menggeram sebal, memberikan tatapan maut kepada Joonghyuk. Tentu saja, Sangah cukup takut dengan sosok di sampingmu ini. Mau tak mau, ia harus melangkah mundur demi keselamatan hatinya. Helaan napas kasar kau keluarkan, kau pun melepaskan cengkramannya.
Kau bertanya, "Jadi, apa maumu, Joonghyuk? Bisa percepat? Hari ini, harusnya aku ada date dengan Sangah."
"Kukira tipemu Kim Dokja? Ternyata, kau suka perempuan?" tanya Joonghyuk serius, memicingkan matanya.
"Tidak, bukan begitu, tahu! Hari ini, kami sudah janji mau ke toko buku. Tidak ada yang boleh mengganggu waktu kami berdua bahkan Dokja sekalipun," jawabmu kesal, menyilangkan kedua tangan di depan dada. Biasanya, kalian akan pergi ke toko buku bertiga. Tetapi, karena tragedi pencurian payung kemarin, kau melarang Dokja untuk bersama dengan Sangah selama tiga hari. Lantas, kau meliriknya dan kembali mengangkat suara, "jadi ...? Kau ada perlu apa sampai menarikku?"
Joonghyuk menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri secara bergantian, memastikan tidak ada orang. Namun, masih ada beberapa yang berlalu lalang. Ia pun mengulurkan tangannya padamu, menatap dengan lekat.
"Bagaimana kalau kita ke atap? Ada hal yang ingin kubicarakan dan ini cukup penting."
"Seberapa penting sampai tidak boleh didengarkan oleh orang lain?"
"Pokoknya, ikut aku," ajak Joonghyuk sedikit memaksa. Alismu terangkat, cukup bingung. Tetapi, kau ikut menanggapi dirinya dengan anggukan pelan dan menerima uluran tersebut. Kau pun membalas, "Baiklah. Kebetulan juga, ada yang ingin aku bicarakan padamu."
Sepakat, kalian berdua pun melangkah bersama ke atap. Entah mengapa, kau merasa tidak bisa menolak sosoknya yang mencoba mengulurkan tangannya padamu. Selama perjalanan, Joonghyuk menggenggam tanganmu layaknya tengah menuntun seorang anak kecil. Irismu menatap lekat punggung lebarnya.
Sesampainya di sana, ia melepaskan genggamannya dan langsung melemparkan pertanyaan, "Selama seminggu kemarin, kau bukan yang memasukkan kertas-kertas ini di dalam tasku?"
Ia mengeluarkan berbagai lembaran kertas yang bertuliskan, 'Jangan dekati Kim Dokja lagi' dengan ringan. Kau mengerjapkan mata lalu menggeleng kuat. Meskipun kau selalu mencoba mengintimidasi pemuda itu, tak pernah sekalipun kau menindasnya dengan tindakan murahan. Dahimu mengerut, kebingungan.
"Apa kau pernah melihatku memasukkan tulisan itu ke dalam tasmu? Lagipula, sebenci apa pun aku padamu yang mencoba mendekati Dokja, hal seperti itu merepotkan."
"Tapi, tulisan ini mirip dengan tulisan tanganmu," sanggah Joonghyuk ketus. Kau mendekatkan dirimu pada kertas yang dipegangnya dan benar perkataannya, tulisannya mirip denganmu.
Hanya satu orang yang kau kenal, mampu menyalin tulisanmu sedemikian rupa, Han Sooyoung.
Hanya saja, Sooyoung yang kau kenal selalu bertengkar dengan Dokja dan cukup acuh dengannya. Mana mungkin, ia protektif dengan Dokja seperti dirimu. Kau berpikir keras, lalu berdehem pelan. Joonghyuk membuka mulutnya, memecahkan suasana yang sunyi ini, "Sebagai kompensasi, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku."
"Hei! Sudah kubilang itu bukan aku yang melakukannya, 'kan?!"
Joonghyuk melangkah mendekatimu, perlahan-lahan, lalu menatap dengan serius. Ia mendekatkan wajahnya di telingamu, berbisik pelan dengan suara baritonnya. Seakan-akan, ia tengah mengancam, "Siapa yang akan percaya dengan omong kosong itu? Semua orang di sekolah tahu kalau kau tidak menyukaiku. Kalau aku membocorkan bukti ini, mereka pasti akan menghukummu secara sosial."
Kau menggeram kesal, karena inilah kau tidak suka dengan orang yang populer. Mereka selalu mengancam dan melakukan sesuatu agar berjalan sesuai dengan keinginan mereka.
"Ah, baiklah, baiklah! Apa yang kau inginkan? Akan kuturuti satu saja dan bukan berkaitan dengan Dokja!" Kau membalas, menyerah dengan ketekunannya. Kalau kau ditindas, siapa yang akan melindungi Dokja jika terjadi sesuatu padanya?
Merasa menang, Joonghyuk pun menjauhkan diri, mengulas senyum seraya merobek satu persatu kertas tersebut dan membuangnya ke tempat sampah. Kau mendelik, sejak kapan tempat sampah berada di atap? Namun, kau urungkan pertanyaan tersebut dan masih fokus menatapnya.
"Jadilah temanku," titahnya tanpa perasaan bersalah.
Irismu membulat, kau pun mengerjap, kebingungan. Jarimu menunjuk padanya, "Aku tidak salah dengar, 'kan? Kau minta aku menjadi temanmu?"
Teman dan bukan babu?
"Benar, tidak ada yang salah. Oh, permintaanku juga tidak berkaitan langsung dengan Kim Dokja, bukan? Berteman denganku juga menguntungkan. Kau bisa memakan masakanku, membantumu mengerjakan tugas, atau bahkan tidak akan ada yang berani menyentuhmu."
Memang benar, sangat benar seperti itu. Namun, kau merasa ada yang janggal. Tetapi, kau tidak bisa menemukan kejanggalan tersebut. Kau terdiam, tak mampu berkata-kata. Ingin sekali kau membantahnya, hanya saja tidak mampu. Kalah telak, kau pun menghela napas, "Baiklah, kita berteman. Tapi, bukan berarti kau boleh berteman dengan Dokja, ya!"
"Masalah aku berteman dengannya, akan kuurus sendiri. Tidak perlu khawatir," tuturnya semakin membuatmu kesal, "omong-omong, apa yang ingin kau bicarakan padaku, [Name]?"
Kau hanya ingin memperingatkannya agar tidak mendekati Dokja lebih jauh. Tapi karena sudah terlanjur terlibat dalam masalah seperti ini, kau pun mengurungkan niat, "Tidak. Bukan apa-apa."
Joonghyuk membalikkan badannya, lantas melirikmu sejenak, "Ya sudah, sana balik. Apa kau mau menghabiskan sisa waktumu hari ini bersamaku? Kau sendiri yang bilang, kalau kau ada janji."
Kau bertepuk tangan pelan, menyadari janjimu dengan Sangah. Lekas saja, kau berlari turun dari tangga, meninggalkan Joonghyuk yang tengah tersenyum geli dari balik punggungmu. Rencananya berhasil, seratus persen tidak ada yang gagal.
Dari balik pintu atap, Dokja dan Sooyoung tengah merinding seraya melirik satu sama lain.
Sooyoung melongo, tak percaya. Ia pun bertanya dengan nada yang kecil "Dia senyum?"
"Beneran senyum? Kukira mataku yang salah," bisik Dokja sebagai respon dari pertanyaan Sooyoung. Pemuda berambut hitam itu menyeringai, "tunggu saja giliranmu karena membantu Joonghyuk dekat dengan [Name]. Kemarin karena membantunya, aku sudah jatuh, tertimpa tangga pula."
Dokja membicarakan mengenai tragedi pencurian payung atas suruhan Joonghyuk. Ia harus menerima hukuman beruntun darimu. Sooyoung terdiam, tertawa miring seraya mengejek, "Kau pikir aku sepertimu? Ia tidak akan tahu kalau itu tulisanku."
"Tch, semuanya akan terbongkar nanti," decih Dokja, lantas mereka berdua meninggalkan atap setelah Joonghyuk ikut turun bersamamu.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top