Part 3
.
.
.
Dengkusan kasar keluar dari mulutmu, irismu menatap langit yang tengah murung seraya mengeluarkan tangisannya. Tidak, bukannya kau bermasalah dengan hujan, tapi sangat tidak elit jika harus terjebak bersama dua orang yang populer di sekolah. Terlebih lagi, kau berada di antara mereka, seolah tiba-tiba saja menjadi antagonis pada sebuah kisah romansa.
Hening melanda, kau semakin tidak tahan. Kau menggerutu dalam hati, mengumpat akan Dokja yang membuatmu terjebak dalam situasi seperti ini. Berbagai rencana jahat bila pulang di rumah mulai memenuhi pikiranmu.
Akan kumatikan alarmnya besok pagi biar dia terlambat bangun! Salah siapa mencuri payungku seenak jidat, batinmu kesal.
Yoo Joonghyuk melirikmu yang sedari tadi terlihat gusar. Ia menghela napas, lantas mengeluarkan payung berwarna hitam. Ia menyodorkan payung tersebut kepadamu, "Mau memakainya bersama? Kuantar kau sampai rumah."
Kau melongo mendengar ajakan tersebut, tersambar petir mana lagi dia ini? Lalu kau melirik antara pemuda itu dan seorang gadis dengan helaian rambut putih di sebelahmu. Gadis itu mengerjap, lantas tersenyum lembut. Seketika, tatapanmu berubah penuh amarah pada Joonghyuk. Entah mengapa, kau melotot seolah tengah mengutuknya dari tatapan tersebut.
Perubahan ekspresimu membuat Joonhjuuk terheran-heran, tapi ia memilih untuk kembali mengajukan pertanyaannya, "Ikut atau tidak, [Name]? Bukannya besok ada deadline untuk tugas sejarah, 'kan?"
Mana mungkin kau menerima tawaran dari musuh terbesarmu. Namun, perkataannya benar. Kau ingin segera pulang karena tugas tersebut dan menanyakannya kepada Sangah. Hanya saja, Tuhan seolah tidak memberikan izin dan malah menurunkan hujan. Sialnya lagi, Dokja mencuri payungmu.
Lenganmu terangkat, ingin menerima tawaran dari Joonghyuk. Tetapi, kau mengurungkan niat tersebut, menggeleng kuat, dan menengadah menatapnya. Kau menjawab, "Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri. Jangan ikuti aku hanya untuk mengetahui rumah Dokja!"
Setelah mengatakan hal tersebut, kau pun berlari menerobos hujan dengan tas sebagai penaung. Joonghyuk berteriak, memanggilmu, namun tak kau indahkan. Kau menggertakan gigi dengan keras, sebal.
"Dia mencoba menarik perhatian Dokja. Kemarin, Sooyoung saja sudah tertarik dengannya. Akhir-akhir ini, ia juga dekat dengan Lee Seolhwa sampai ada rumor yang mengatakan kalau mereka ... berpacaran," celetukmu pelan. Tak peduli badanmu telah basah karena diguyur oleh hujan. Kau menghentikan langkahmu, menengadah ke arah langit, "apa dia juga mendekatiku sebagai taktik agar ia disukai oleh semua orang? Huh, Dokja saja sudah cukup buatkuー"
Irismu membelalak ketika mendapati wajah tampan yang familiar. Rintik hujan pun bahkan tak membasahi dirimu lagi akibat kehadiran sosoknya. Kau tersedak akan salivamu sendiri, lantas mencoba menjauhi dirinya. Namun, gagal, kau ditahan oleh Joonghyuk dengan sigap.
"Ck, ternyata benar 'kan dugaanku? Kau mengejarku untuk mengetahui alamat Dokja," sindirmu kesal.
Joonghyuk mengerutkan dahinya, lalu menyentil dahimu. Ia menghela napas, membalas, "Kenapa kau selalu menyimpulkan seenaknya? Aku mengejarmu karena aku diomeli oleh Seolhwa, tahu."
"Kau ... diomeli oleh Seolhwa?"
"Ya."
"Tidak kusangka. Rupanya, kau ini tipe suami yang takut dengan istri, ya."
Mendengar ujaranmu, Joonghyuk hanya mampu menahan emosinya. Perkataanmu itu seratus persen salah. Ia memilih untuk tidak membalas candaanmu tersebut, tapi tetap ingin membersihkan kesalahpahaman yang terjadi, "Aku dan Seolhwa tidak berpacaran, asal kau tahu saja."
"Tidak ada yang nanya, tuh?"
Raut Joonghyuk menggelap, termakan emosi. Baik Dokja maupun dirimu, sama-sama menyebalkan. Joonghyuk berandai-andai, apa benar kalian berdua bukan pinang yang dibelah dua?
Ia kembali menghela napas, butuh kesabaran yang ekstra untuk menghadapi sosokmu. Ia pun melepaskan kemejanya, meninggalkan hanya kaus putih saja di badan kekarnya. Kau mengerjap, kebingungan. Lantas, Joonghyuk menaruh kemeja tersebut di atas bahumu.
"Kau bisa demam. Ayo, kuantar pulang," tuturnya lembut.
Kau memasang ekspresi tidak percaya, "Apa ini? Salah satu taktikmu, lagi? Atau kau akan dimarahi oleh Seolhwa jika kau tidak baik padaku?"
Joonghyuk menggeleng, "Aku tidak peduli kau mau percaya atau tidak. Yang lebih penting, tugas sejarahmu, bukan?"
Lagi, kau tersedak. Atmosfirnya terasa dingin, diingatkan seperti itu olehnya semakin membuatmu kedinginan. Mau tak mau, kau pun mengikuti langkahnya menuju rumahmu, mengizinkan untuk bernaung bersamanya. Beruntunglah, jarak menuju rumah tidak terlalu jauh sehingga tidak perlu naik bus. Hening melanda di antara kalian berdua, namun kau sama sekali merasa tidak masalah.
Kau berpikir, mungkin lebih baik seperti ini. Bila pemuda di sampingmu ini bukanlah sosok yang populer, apakah kau akan lebih ramah dan menyambutnya dengan tangan yang terbuka? Tentu, ini hanya kemungkinan saja.
"Hei, dari dulu aku ingin bertanya padamu," Joonghyuk mengangkat suaranya. Kau pun mengiyakan dengan gumaman pelan, membuat ia kembali melanjutkan perkataannya, "apa kita pernah bertemu sebelumnya? Bukan hanya kau dan aku, tapi juga dengan Kim Dokja."
Sebuah pertanyaan yang aneh.
Kau mengendikkan bahu, menjawab dengan asal-asalan, "Mungkin di kehidupan sebelumnya? Entahlah, di Korea banyak sekali bukan, kisah seperti itu. Misal, di novel, drama, atau manhwa."
Joonghyuk terdiam, lalu terkekeh pelan. Sejenak, kau merasakan bulu kudukmu merinding mendapati reaksinya yang seperti itu. Untuk mengurangi rasa ketakutanmu, kau pun kembali mengangkat suara, "Apa ternyata ... kau ini juga membaca web novel seperti Dokja?"
"Oh, sama sekali tidak? Tapi, begitu ya, dia suka membaca web novel."
"Hei, awas kalau kau mencoba modus padanya, lagi!"
Pemuda itu masih setia mengulas senyum di wajahnya, mengabaikan peringatanmu. Tak ingin memperpanjang perkara, kau hanya memalingkan wajah sembari menggerutu pelan. Joonghyuk menghela napas melihat tingkahmu, padahal ia hanya ingin berteman dengan kalian semua.
Semenjak pindah sekolah, pemuda itu merasakan perasaan familiar ketika melihat wajah-wajah tertentu. Ia tidak tahu, apakah benar apa yang kau katakan mengenai reinkarnasi. Yang jelas, ia hanya ingin memastikan kalau kalian bersama dirinya, menghabiskan waktu di sampingnya.
Merasa sedikit curiga dengan Joonghyuk yang diam dan tak mencari masalah, kau melirik pemuda tampan itu dalam diam. Wajah yang putih mulus, hidung mancung, iris hitam nan gelap, serta rahang yang tegas.
Benar-benar definisi dari seorang karakter utama.
Sontak saja, pipimu memanas, membuat kau menampar dirimu sendiri. Joonghyuk melotot, kaget. Lalu, ia bertanya dengan ragu, "Hei ... apa akhirnya kau sudah jadi gila?"
"Tidak sopan, Yoo Joonghyuk."
Langkahmu terhenti, lantas kau menunjuk rumah sederhana berwarna putih. Kau pun mengalihkan pandangan seraya kembali mengangkat suara, "Ini rumahku. Terima kasih ... atas payungnya."
Kalian berdua telah berada di dalam teras rumah, tenggelam dalam suasana canggung. Kau dengan cepat menyahut, "Ka-kau bisa meminta imbalan apa pun. Tapi, tidak boleh tahu yang mana rumah Dokja!"
"Hm, sama-sama. Jangan lupa, sebagai imbalan atas jasaku hari ini, kau harus jadi beta-tester makananku untuk besok," ujarnya jahil. Dahimu mengerut, lalu kau mendecak sebal. Namun kau tetap mengangguk, menyetujui tawarannya. Bagaimana pun juga, ia sudah memberi tumpangan payung, kau tidak boleh membalas susu dengan air tuba.
Pemuda yang populer itu pun pamit, meninggalkan dirimu di teras rumah. Sebelum kau masuk ke dalam, kau mendapati Dokja yang tengah mengintip dari balik jendela. Sontak saja, kau melotot padanya, mengulas senyum manis. Lantas, kau menggoyangkan tangan secara horizontal pada bagian leher berulang kali.
Benar, tidak boleh menjadi seperti seorang pemuda yang membalas kebaikanmu dengan kejahatan hari ini.
Sosok yang menyandang gelar sebagai teman masa kecilmu itu menegak ludah, segera menutup jendela dengan panik karena tahu riwayatnya akan tamat besok.
Oh, Kim Dokja yang malang.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top