::Sepotong Coklat Untuk Aisyah::


Siulan beringin menari-nari. Menghembus debu jalan berterbangan. Menderu ribut. Sesekali menggoda tukang sapu jalan dengan menerbangkan sebagaian daun-daun kering yang terhampar kecoklatan, menutupi sebagian tanah lapang. Rambut-rambut pejalan kaki menjadi sasaran diombang-ombang angin. Menjadi sama kusut masainya dengan wajah murung ibunya kini.

Azka menatap prihatin mendengar desahan ibunya menatap nanar kue-kue yang masih bersisa banyak. Hampir separuh keranjang belum terjual, sedangkan hari telah berubah gardasi menjadi jingga.

Ia membenahi posisi tas sekolahnya yang melorot. Terasa semakin berat karena terisi seragam miliknya dan milik adiknya. Menggenggam tangan adiknya lebih erat agar tak terlepas, pun seolah meminta dorongan semangat untuk menghibur hati ibunya.

"Bunda. Besok kita berusaha lagi ya. Semoga besok dagangannya laku semua. Amiin."

Nabila tersenyum sampai hati menanggapi penuturan putra sulungnya.

"Amiin. Insyaallah."

Hatinya merasa lebih tegar dengan keberadaan dua bocil pelita hidupnya.

Dua tahun lalu, hidupnya berubah drastis sepeninggalan suaminya. Ketika itu, Azka masih berusia sepuluh tahun, sedangkan Aisyah, putri bungsunya baru berusia empat tahun. Nabila harus berusaha seorang diri menghidupi anak-anaknya, menjadi seorang ayah sekaligus seorang ibu untuk keduanya. Pekerjaan apapun ia lakoni demi asap dapur dapat tetap mengepul, agar anak-anaknya bisa terus makan dan bersekolah. Seperti kali ini misalnya, ia memanfaatkan kemahirannya membuat kue-kue tradisional untuk menutupi kekurangan pendapatannya sehari-hari. Tak tentu pula nasib untung atau buntung yang didapatnya tiap hari.

Namun Nabila tak akan lupa bersyukur. Dapat bertahan sampai pada titik ini saja adalah sebuah pencapaian yang sungguh pada awalnya ia ragu bisa bertahan. Kalau bukan karena rasa cinta dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Pengasih, ia mungkin akan menelantarkan kedua buah hatinya sendiri. Nabila menunduk dalam. Hatinya seperti teriris mengingat itu semua.

Langit membias semakin jingga sebelum gelap datang membayang. Pantulan bayang-bayang ketiganya terbias pada kaca riben toko-toko yang berjajar di sepanjang jalan.

Aisyah melompat-lompat riang, mengguncang tubuh kecil Azka yang
masih menggenggamnya dengan erat. Berhenti melompat dengan tiba-tiba, begitu melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.

"Bunda, aku mau itu," rengek Aisyah, menunjuk-nunjuk ke arah seorang anak perempuan di dalam toko yang sedang memakan coklat dalam bungkusan berbentuk hati. Terlihat lezat. Azka menelan ludah. Adiknya masih saja merengek tak mau tahu. Pandangannya menelisik pada sudut-sudut toko. Wonka Chocolate's namanya. Tempatnya terlihat elegan dan berkelas. Pasti harganya mahal, pikirnya.

"Iya, Nak. Nanti ya, kalau Bunda punya rezeki lebih," bujuk ibunya.

"Aku mau sekarang! Bundaaa! huhuhu... Aku mau itu!"

Nabila terus membujuk putrinya yang masih kekeuh tak ingin beranjak dari depan toko. Tak ayal menarik perhatian para pejalan kaki yang lewat. Nabila hampir kehilangan kesabaran, kalau bukan karena bisikan Azka yang kemudian meredam tantrum Aisyah. Disekanya sisa tangis Aisyah. Menggendongnya sebelum semakin banyak pejalan kaki yang menontoni mereka.

Sampai di rumah, ibunya tak banyak bertanya. Begitupun Azka, enggan untuk mengatakan rahasia mereka, sesuatu yang ia janjikan untuk Aisyah. Ibunya terlihat tergesa menyiapkan diri bersiap untuk berangkat bekerja menjadi Cleaning Service di sebuah restauran. Dan baru akan pulang pukul dua dini hari.

"Bunda. Aku janji akan jadi juara satu, tapi hadiahnya itu ya."

Nabila terkesiap. Menoleh ke arah Azka yang menunduk, seolah menangkap basah perjanjian keduanya. Mengusap wajah lelahnya. Sungguh ia tak menginginkan ada gurat kecewa untuk kesekian kalinya. Nabila memberikan senyum terbaik untuk meyakinkan.

"Insyaallah ya, Sayang."

Ibunya pergi setelah tetangga yang baik hati, Bu Iyem datang dengan sukarela menjaga keduanya. Azka masih menunduk dengan air mata yang siap tumpah. Merasa bersalah
karena telah membuat ibunya harus bekerja dengan pikiran menggantung beban yang bertambah-tambah.

*

Jam dinding telah menunjukkan pukul sembilan pagi, Azka telah selesai menimba air untuk memandikan Aisyah. Adiknya yang lucu masih lekat senyumnya membayangkan akan merasakan coklat yang lezat itu. Azka membatin. Bisakah ibunya mendapatkan uang untuk membeli sesuatu yang tentu harganya mungkin sedikit miring, sedangkan untuk makan dan biaya bersekolah, ibunya harus pontang-panting gali lubang tutup lubang.

Suatu malam, tak sengaja Azka mendapati ibunya meletakkan beberapa lembar ribuan pada kendi tabungannya. Tabungan yang akan ia gunakan membeli coklat untuk adiknya.

Dalam renungannya, Azka membulatkan tekad hendak membantu. Apa yang dilakukan bersama akan terasa jauh lebih ringan nantinya.

Azka mencoba mencari pekerjaan. Apa saja. Sayang, dari sepuluh tempat yang ia datangi, tak satupun mau memperkerjakannya.

*

Azka menutup bukunya. Dia tak dapat berkonsentrasi dengan buku yang ia baca. Pikirannya berkelana mencari cara untuk mendapatkan uang dengan segera.

"Kamu sudah kelas enam. Sudah waktunya serius belajar. Jangan terlalu banyak bermain!" hardik ibunya, ketika mendapatinya pulang terlalu sore setelah beralasan kerja kelompok.

Azka bergeming. Mengerti betul bahwa larangan ibunya juga untuk kebaikan dirinya. Tapi yang menjadi masalah adalah, "permainan" yang tengah ia mainkan adalah untuk menempati janji.

Setelah di adakan kelas tambahan, Azka kini punya alasan yang tepat untuk mencari pekerjaan mengumpulkan uang. Ia berjuang sekuat tenaga, sekuat keinginannya untuk menepati janji pada adiknya.

Pekerjaan apapun ia lakukan asal ada yang mau menerimanya. Azka mendapatkan pekerjaan di sebuah komunitas pengrajin gantungan kunci. Dibayar sesuai dengan pekerjaaan yang dihasilkan. Meski tak seberapa hasilnya.

Uang telah dalam genggaman. Azka bersiul riang. Tinggal beberapa hari sebelum malam perpisahan adiknya. Sesuai dengan perkiraannya.

Dari jauh beberapa mata jahat berniat memangsanya. Mencegat jalannya. Orang-orang itu menyeringai. Azka ketakutan. Ketika hendak berlari, kakinya sengaja dihalangi. Ia tersungkur dengan luka gores memanjang. Uangnya tumpah ke jalan. Dengan mudah tubuhnya disingkirkan ke trotoar. Azka meronta, mencoba melawan. Na'as. Perseteruan tak seimbang akhirnya dimenangkan mereka. Ia menangis putus asa. Tubuhnya bergetar dipenuhi luka dan memar. Ibunya pasti akan marah.

Sampai di rumah, ia diobati. Berbohong pada ibunya dengan mengatakan terjatuh dari pohon. Ibunya tak berkata banyak, mengobati dengan telaten salep yang ia beli di apotek. Azka tahu, ibunya menggunakan uang dalam celengan kendi untuk membeli obatnya. Dadanya dipenuhi rasa sesak ketidakberdayaan.

Kesedihan Azka tak kunjung surut. Besok adiknya akan mendapat piala, sedangkan hadiah yang ia janjikan belum dapat terbeli. Kembali Azka mencari pekerjaan, tapi pendapatannya tak kan cukup juga karena waktu yang teramat singkat.

Azka menatap aspal jalan dengan tertunduk. Beberapa langkah, matanya membulat menemukan sebuah tas kecil terjatuh. Resleting yang terbuka menampakkan isi di dalamnya. Uang dengan jumlah banyak.

Azka bimbang. Berkelebat bayangan senyum Aisyah. Tapi sebagian hatinya menolak. Azka membayangkan jika ibunya berada dalam posisinya.

Tidak! Uang ini bukanlah haknya. Ibunya tak kan senang mengambil hak orang lain. Siapa tahu pemiliknya juga tengah mengalami masa sulit yang sama atau malah lebih.

Azka menggeleng pelan. Pandangannya mencari-cari pemiliknya. Tak jauh pandang, ia melihat pengendara yang celingak-celinguk dan bergegas menyetater motornya kembali. Dengan sigap Azka berlari mengejar.

"Tunggu, Pak! PAK!"

Azka masih mengejar pengendara sepeda motor tersebut, meski sempat kehilangan jejak. Beruntung, pria itu berhenti setelah salah satu polisi mencegatnya dan menunjuk pada Azka yang mengejarnya.

Dengan terengah-engah dan peluh membanjiri tubuh, ia memberikan tas milik pria tadi. Pria itu mengerut kening, bingung awalnya, lalu raut wajahnya berubah cerah seketika mendapati maksud baik dari anak kecil dua belas tahun di hadapannya.

"Anda menjatuhkan ini. Hati-hati di jalan, Pak. Saya permisi. Terima kasih Pak Polisi."

Azka tersenyum ke arah kedua pria dewasa yang memandangnya kagum, kemudian beranjak pergi, kembali mencari pekerjaan seperti tadi.

"Tunggu, Dek!"

Azka berhenti melangkah mendengar panggilan seseorang. Tahu-tahu, pengendara itu telah berada di belakangnya. Motornya ia parkir tak jauh dari sana.

"Ini untuk kamu. Ambillah sebagai ganti karena telah berbaik hati menolong saya."

"Tidak usah, Pak—"

"Tidak apa-apa. Ambillah."

Azka tertunduk mengamati tiga lembar ratusan ribu disodorkan ke hadapannya. Matanya berkaca-kaca dipenuhi keharuan.

"Terima kasih, Pak."

"Saya yang harusnya berterima kasih."

Azka menyalami pria tersebut dengan takzim. Kemudian pamit. Dadanya dipenuhi keharuan. Akhirnya, ia bisa menepati janjinya. Membelikan sepotong coklat untuk adik kecilnya.

Azka berlari sekencang-kencangnya. Menebas angin yang menyejukkan. Adiknya ada di sana, datang bersama Ibu dengan membawa sebuah piala.

"Kakaaak! Aku juaraa!"

Anak berlesung pipit itu tersenyum manis. Azka terpana, berdebar-debar percampuran rasa takjub, bangga, dan bahagia.

"Selamat, Icha. Ini hadiah buat kamu, dari Abang dan Bunda."

Aisyah berjingkrak-jingkrak histeris. Nabila memandang putranya bertanya-tanya. Raut kesedihan yang ia tunjukkan tadi berganti binar harap namun curiga.

"Tunggu. Aku juga punya hadiah."

Aisyah merogoh dua bunga ilalang dari tasnya. Memberikan kepada dua orang tercintanya.

"Satu untuk Bunda. Satu untuk Abang. Aku saaayaaang Abang. Aku juga saaayaaang Bunda."

Nabila tak mampu menyembunyikan keharuan. Didekapnya kedua permata hati, pemberian Ilahi.

"Bunda juga sangat menyayangi kalian."

Azka tersenyum lebar, bersamaan dengan bulir-bulir yang menetes di ujung mata. Harga perjuangan mendapatkan sepotong coklat, telah lunas terbayar dengan senyum adik dan Bundanya.
***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top