3-akhir-

Fajar mulai membias dengan awan, begitupun semilir kian tegas menyisir tiap inci pori-pori. Aku menatap lurus ke depan sana, melihat Dean yang sekarang berlari kecil menghampiriku.

"Nih," kataku spontan, begitu Dean tepat berdiri di hadapanku.

"Apa?"

"Cokelatlah. Lo kan nyuruh gue." Aneh, aku merasa ada yang takbiasa dari cara Dean menatapku. "Lami, bisa lo tenang dulu?" tanyanya.

"Udah tenang gue! Tenang banget!" ucapku sekenanya, karena memang masih didasari perasaan kesal.

"Gue serius, lo dengerin gue, ya?"

"Iya, apaan?"

"Gue bingung La, di antara bunga sama cokelat, keduanya sama-sama nggak lo suka. Makanya gue nggak bawa apa-apa. Tempat pun sama bingungnya, karena gue tahu lo nggak suka yang terlalu narik perhatian, jadi gue serahin semuanya sama lo."

Aku menatap Dean heran. Apa hubungannya suka atau tidaknya aku dengan semua hal yang dia bilang, terhadap rencana ini? Dean sungguhan tidak bisa diajak berpikir, semua yang tidak ataupun aku suka sama sekali tidak ada pengaruhnya dengan gadis yang akan dia ajak 'main-main', bukan? Ya begitulah, apapun itu namanya. Kecuali dia sedang manyamaratakan selera semua gadis karena tidak ingin repot-repot menggunakan otak.

Dean sepertinya melihat dengan jelas bagaimana bola mataku ini berputar. Saking jengkelnya, kubilang saja, "Sumpah ya, Yan. Lo beg-"

"Tapi ...." Aku mengernyit begitu Dean memotong sumpah serapah yang hampir keluar dari mulutku. Tatapan Dean semakin serius. "Tapi gue baru sadar satu hal, lo nggak suka basa-basi, lo lebih suka to the point. Jadi La, intinya, yang gue suka-"

"Bentar." Kuangkat kelima jariku di depan wajah Dean. 'Lo nggak suka basa-basi?' Apa-apaan dia ini, apa hubungannya denganku coba. "Lo apaan, sih. Berhenti ngomongin apa-apa soal gue. Nggak jelas, sumpah. Kalau nggak jadi, mending buruan balik ke sekolah, bentar lagi upacara. Nyesel gue ikut-ikutan, norak tau nggak."

Dean terdiam. Air mukanya seketika tergantikan oleh sebersit raut kecewa. Lantas kudengar dia bertanya, "Norak?"

Aku mempertegas, "Norak."

"Norak lo bilang?"

"No-rak, Yan. Norak!"

"Ya terus kenapa lo bantuin gue pake cara ginian, kalo lo sendiri nganggep ini norak?!

"Kok, ngegas?"

"Elo duluan! Gila ya, ngerusak suasana."

"Apa lo bilang?"

"Udah deh, mendingan balik."

"Gue cuma ngikutin jalan pikir lo, Yan."

"Gue kan nyerahin semuanya sama lo. Harusnya lo ngikutin jalan pikir lo, Lam."

"Kalau lo nyuruh gue ngikutin jalan pikir gue, ini semua nggak bakal ada, Yan!"

Hening.

Desiran Senin pagi menggantikan dialog kami yang tiba-tiba dilanda kebisuan. Baru beberapa hari yang lalu kami berdamai karena katanya aku terlalu memaksa dia untuk dekat dengan adik kelas yang meminta dikenalkan, lalu kali ini kami mulai memanas kembali. Dean harusnya tidak sebegitu marahnya padaku, toh aku hanya mengatakan apa yang bergumul di dalam kepalaku sejak pertama kali menaiki anak tangga gedung. Aku memang tidak menyukai hal-hal seperti ini, aku mengiakan karena tidak ingin semakin memperburuk pertemanan yang baru saja kembali dingin. Namun, lihat, Dean mengacaukannya. Oke, mungkin aku juga.

Aku mengalihkan pandangan, Dean pun berlaku sama. Netraku mengarah pada pojok rooftop ini, ke arah tiang beton di samping balok semen di ujung sana. Mataku menyipit begitu melihat gelembung karet berisi gas bermunculan dari sana satu per satu. Bisa kuhitung jumlahnya, sekitar lima balon berwarna jingga.

Senada dengan gerak irama balon yang mengikuti semilir pagi, seseorang berseragam seperti kami keluar dari persembunyian. Tangan kanannya mengepal kuat tiap helai pengait benda karet, sedangkan tangan kiri ia gunakan untuk menepuk bokongnya yang tampak kotor. Berdiri tegap, dia tersenyum bodoh ke arah kami. "Yan," kataku. "Lo bawa Meses?" Hanya decakan yang kudengar dari mulut Dean.

Mengepal lima tali balon, Meses berjalan mendekat. Perlahan, dengan mimik yang tiba-tiba berubah canggung. Dia berjalan dengan kaki jenjang dan tangan mengepal erat, dipayungi bulat kejinggaan. Lagi-lagi aku mengutarakan isi kepalaku, "Please, Yan. Norak."

Aku tidak mengerti kenapa Dean tiba-tiba melotot di depan wajahku. Aku terperanjat begitu mendengar Dean tiba-tiba menyentak sambil menunjuk-nunjuk ke arah Meses. "Woy! Lepasin nggak tuh balon?!"

Meses yang baru saja terlihat merenggangkan celana abu ketatnya tiba-tiba berhenti. "APAAN?" tanyanya, dengan tampang bego.

"LEPASIN," teriak Dean, geram.

"HA?"

"TERBANGIN."

Setelah sempat melirikku dengan wajah kesal, Dean berlalu begitu saja. Dia berlari ke arah tangga untuk turun, sementara kumpulan balon jingga itu mengangkasa semakin jauh. Pelakunya berlari ke arahku, dia berkata sambil menggelengkan kepala, "Te-ga!"

"Ngomong apa?"

"Nggak peka."

"Ha?"

"Kagak. Buruan balik."

Sneakers-ku mundur perlahan, bersiap mengikuti langkah Meses. Namun, pandanganku belum beranjak dari warna kejinggaan di atas sana. Aku mengembuskan napas, merasa tidak mengerti dengan jalan pikir Dean dan dunianya.

"Pasti mahal, tuh. Mending dibeliin es krim, kan, ya?"

Pertanyaanku ditimpali oleh teriakan Meses, "Bodo amat! BURUAN. UPACARA."

Tapi ... sebentar, mataku menyipit. Selain karena terik yang mulai mengangkasa, penglihatanku juga terbatas karena balon di ujung sana semakin tinggi. Aku baru sadar jika balon itu berekor putih dan bertulisan. Maka dari itu aku mengejanya, "La ... Lami?"

Eh?

"La-mi a-yo ja-di pa–? Lami ayo jadi pacar gue?"

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top