2
Kenapa aku harus terlibat?
Dan jawaban yang dia berikan adalah, ''Ini momen pertama gue mengutarakan isi hati, sedangkan sebelumnya, gue cuma menerima ungkapan hati''.
Di detik itu pula, aku benar-benar mengumpat di depan layar. Buah kegeramanku pada Dean karena telah menyita waktu, dan buah akan kerisihanku dengan nada songong khas seorang Dean yang dilontarkan lewat voice note.
Lantas daftar kedua, berbunyi sperti ini, "Benda apa yang harus gue bawa, jangan ribet, sesuai dengan sikon, dan kondisi kantong. Tapi ... yang ngebuat gue mutlak diterima".
Terhitung tujuh belas tahun aku hidup saling bersimbiosis dengan Dean, tak pernah sekali pun aku ikut campur dengan rute jalinan merah jambunya. Aku memang tidak peduli, yang kutahu selama ini, besoknya dia bergandeng dengan cewek kelas sebelah dan sebulan kemudian dia membonceng cewek anak satu kelas. Iramanya selalu seperti itu.
Dikarenakan desakan buru-buru mengerjakan Transformasi Geometri dan tak sudi untuk kembali mendengar voice note sialan bernada melas milik Dean, akhirnya aku pasrah untuk terlibat dalam pertaruhan akan keberhasilan suatu rencana yang katanya, kegelisahannya itu sebanding sama nungguin vonis mati.
Ya, aku terlibat dalam penembakannya.
Untuk poin pertama, waktu dan hari yang tak lazim, tanpa berpikir hingga puluhan kali, di menit itu juga aku membalas pesan Dean. Hari Senin, sebelum upacara, di rooptop mall sebelah sekolah kita, barengan sama fajar. Alasan: mendukung tujuan awal, target pasti langsung menjawab cepat karena faktor desakan bel upacara. Pinter nggak gue?
Poin kedua, Cokelat. Alasan: yang gue tahu, cewek kalo nggak suka bunga, berarti suka cokelat. Kecuali gue.
Berusaha meredam deru napas yang tak beraturan, aku menghentak kesal. Berlari menaiki anak tangga menuju lantai empat di hari Senin sebelum upacara, bukan hal yang layak dianggap lelucon, ini perlu ditindak melalui persidangan, jika perlu.
Dean ini, apa-apaan! Jelas-jelas dia sendiri yang berkoar menyuruhku agar segera ke sini lewat panggilan. Sempat berbalik hendak kembali menuju gedung sekolah, langkahku terhenti begitu merasakan getar ponsel di dalam saku. Ada panggilan di sana, Dean. Segera aku menggulir ikon hijau.
"Lo di mana kampret?!" semprotku, tanpa menunggu dia menganga terlebih dulu. "Jangan ketawa! Jawab!"
Perkataan pertama Dean adalah, "Lo jawab dulu pertanyaan gue."
"Buruan!"
"Ekhem, biar gue nggak ditolak, gue harus ngomong kaya gimana? Gue kan–"
"Yaelah, ribet lu! Bilang aja gue mau jadian. Buruan sini! Lo di mana sih?"
"Tapi--"
"Udah, kalo lo ditolak, ya tinggal sadar diri. Lo masih di mana, sih?"
"Gue udah di sini, dari tadi ngeliatin lo celingukan."
"Ha?"
"Arah jam sembilan."
Kepalaku berputar, mengikuti instruksi. Benar saja, Dean berdiri di samping beton tangga. Tangan kanannya masih terangkat memegang ponsel.
"Lo diem, tungguin gue di sana," katanya, masih lewat ponsel. Perintahnya berakhir dengan ponsel yang kumatikan dan kutaruh di dalam saku. Dia melangkah perlahan menuju tempatku berdiri sekarang.
Fajar mulai membias dengan awan, begitupun semilir kian tegas menyisir tiap inci pori-pori. Aku menatap lurus ke depan sana, melihat Dean yang sekarang berlari kecil menghampiriku.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top