1
Berbalut rok abu dan atasan putih berdasi yang sudah tidak bisa dibanggakan lagi kerapihannya, aku memeluk diriku sendiri, berusaha memberi ketenangan pada tubuhku yang bergetar sejak tadi. Netraku menyapu lahan luas tanpa tiang, dari ujung hingga ujung, nampak figur puncak-puncak pencakar langit.
Peluh yang terkumpul beberapa menit lalu, bagai terhisap dalam sekejap begitu kaki berselimut sneakers ini berhasil berpijak di rooftop pusat perbelanjaan. Bagaimana tidak, semilir yang hampir melambungkan tubuh mungilku, berasal dari detik-detik sambutan fajar di Senin pagi, sangat ampuh membuat tubuh menggigil.
Sempat diam sejenak tanpa ingin melepas cekalan kuat di tiap lengan, aku menatap lurus cakrawala yang kini secara perlahan mengaburkan legamnya. Malam menuju fajar. Lengang, sungguhan tidak ada jiwa lain, selain aku tentu saja. Hanya sebatang cokelat, yang kugenggam erat.
Dean, dia di mana? Padahal, sejak awal dia yang mengemis meminta bantuan untuk menyusun siasat ini. Lalu sekarang, dia sendiri yang bertindak seolah tidak peduli.
Omong kosong macam apa yang dia katakan minggu lalu? ''Lo harus bantuin gue pokoknya! Kegelisahannya itu sebanding sama nungguin vonis mati!''
''Kalo gue mati terus lo nggak ada di tempat, gue bakal gentayangin elo sampe lo mati nyusul gue!''
''Gue ditolak nggak pa-pa, asal lo ada di sana.'' Sekarang, lihat, aku hanya ditemani suguhan fajar yang beranjak menguasai cakrawala.
Benar-benar terkutuk bocah satu itu!
Aku ingat betul bagaimana dia memenuhi notifikasi ponselku minggu lalu, di mana jadwal hari liburku yang seharusnya digunakan untuk membereskan semua tugas–agar tidak berurusan dengan deadline, justru tersita karena pertanyaan-pertanyaan simpel yang sayangnya berkutip 'pengirim bodoh' karena mengajukan pertanyaan semacam itu pada orang seperti aku.
Bagaimana bisa dia mendesakku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini, ''Bantuin gue buat nentuin hari dan waktu yang nggak biasa atau nggak lazim buat nyatain perasaan."
Tunggu, biar aku garis bawahi, kata di atas bisa bermakna menyatakan cinta, bukan? Sumpah demi apapun, apa dia benar-benar tidak mempunyai stok orang terdekat untuk disuguhi pertanyaan semacam itu? Karena apa? Karena bahkan aku sama sekali tidak pernah mau peduli, dan lagi, berpengalaman pun tidak. Pertanyaannya, atas dasar apa?
Apa hanya karena seorang aku yang bernotabene sahabat sejak zaman popok?
Oh, Dean ayolah. Aku tahu ini bukan momen pertamamu, aku hafal betul jumlah gadis berlabel mantan dalam kurun kenaikan angka usiamu. Hey, kenapa aku harus terlibat? Dan jawaban yang dia berikan adalah, ''Ini momen pertama gue mengutarakan isi hati, sedangkan sebelumnya, gue cuma menerima ungkapan hati''.
Di detik itu pula, aku benar-benar mengumpat di depan layar. Buah kegeramanku pada Dean karena telah menyita waktu, dan buah akan kerisihanku dengan nada songong khas seorang Dean yang dia lontarkan lewat voice note.
Lantas daftar kedua, berbunyi sperti ini, "Benda apa yang harus gue bawa, jangan ribet, sesuai dengan situasi dan kondisi kantong. Tapi ... yang ngebuat gue mutlak diterima'.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top