9
"Kau ... kau Guardians!?"
Jack tidak menjawab tapi ia malah memberiku kode untuk duduk di dekat perapian. Aku menurutinya dan segera mendekat ke sumber api tersebut.
"Sudah tidak takut?"
"Dari mana kau tahu aku takut? Dari tadi kau hanya mengocehkan hal yang sama. Atau jangan-jangan kau yang takut ya?" balasku tak terima.
"Sudah terlihat," jawabnya santai.
"Apa yang sudah terlihat?"
"Dari caramu menyikapinya, kau takut dengan kegelapan, hujan, badai, dan segalanya yang berhubungan dengan hal itu. Satu lagi, semua orang di akademi tahu kalau kau takut dengan hal-hal itu."
Tanganku mengepal hendak memukulnya. Tapi perkataannya memang benar adanya, jadi aku mengurungkan niatku yang hendak memukul wajahnya yang selalu terlihat mengesalkan.
"Aku tak melakukan apa pun," jawabku bersikeras.
Ia mengendikkan bahu. "Kau ini ya ... sudah takut tidak mau mengaku."
"Memang tidak takut kok," balasku tak mau kalah.
"Kalau begitu aku matikan saja apinya."
"Jangan!"
"Kau sendiri tidak mau apinya padam. Penakut."
Wajahku memerah antara malu dan marah.
"Aku tidak takut ... di sini terlalu dingin jadi aku memerlukan apinya."
"Tidak perlu mengelak. Ngomong-ngomong kau tidak berubah juga ya."
"Apa yang berubah?" tanyaku semakin bingung.
Dasar anak aneh!
Tiba-tiba saja petir menyambar lagi dan membuatku memejamkan mata."
"Kau tidak perlu takut."
"A ... aku--"
"Tidak usah bohong. Aku sudah tahu semua," jawab Jack memotong pembelaanku.
Aku hanya diam sambil menekuk lutut. Sesial ini kah hariku? Sampai berapa lama listrik ini terus mati?
"Tidak apa-apa. Takut terhadap sesuatu itu wajar. Lebih baik kau tidur sekarang. Tidur adalah cara terbaik untuk menghilangkan rasa takut."
"Kau menyuruhku tidur?" tanyaku malas sambil tetap meringkuk di lantai.
Ia mengangguk.
"Aku belum mengantuk."
"Buat apa berbohong? Tak akan berpengaruh jika kau berbohong padaku. Asal kau tahu saja, wajahmu sudah menjawab segalanya."
Wajahku menjawab segalanya? Apa aku terlihat sangat mengantuk atau mungkin ... terlihat ketakutan?
Aku menundukkan kepalaku. Aku benar-benar bingung sekarang. Aku tahu aku sudah mengantuk, tapi aku takut dengan hujan di luar. Aku takut aku bermimpi kembali kalau aku tidur sekarang. Aku takut kalau nantinya aku malah memimpikan hal yang sama seperti waktu itu. Namun sepertinya aku tak dapat mempertahankan rasa takutku.
Entah kenapa, mataku terasa berat setelah samar samar melihat Jack yang sepertinya mengucap beberapa patah mantra. Sesaat setelah ia menjentikkan jarinya, pandanganku menggelap dan ajaibnya, rasa takutku ikut sirna.
***
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Mataku terasa silau melihat sinar matahari yang masuk lewat jendela.
Aku mengernyit bingung. Ini 'kan, bukan kamarku?
Apa yang kulakukan di sini?
Sambil meregangkan otot-ototku yang kaku sehabis bangun tidur, aku mencoba untuk mengingat-ingat dan mencari seseorang yang bisa menjelaskan sesuatu untukku. Apa mungkin aku tertidur karena terlalu asyik membaca?
Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, tidak mungkin aku bisa tidur berjalan ke dekat perapian. Sudah jelas ini aneh, karena aku bukan tipe orang yang suka tidur sambil berjalan dan rasanya, lebih masuk akal jika aku tertidur sambil memegang buku atau menelungkupkan wajah di atas meja baca.
Setelah mengingat-ingat lagi, wajahku jadi merah padam. Sial, Jack lagi-lagi tahu apa kelemahanku. Kapan aku bisa menunjukkan kelebihanku di depan anak yang suka meremehkan itu?!
"Astaga Ryn!"
Pekikan yang menyerukan namaku itu berhasil menbuatku menoleh ke arahnya. Wajah Tiffany tampak panik diikuti dengan wajah kusut Carl dan juga wajah Irene yang terlihat pucat saat melihatku berdiri di dekat perapian.
"Apa kau baik-baik saja?" Carl yang memberi pertanyaan padaku, mewakilkan kedua gadis di belakangnya yang masih terdiam melihatku.
"Aku tidak apa-apa," balasku sambil tersenyum.
Mengapa wajah mereka terlihat aneh? Apakah tidur di perpustakaan adalah sesuatu yang salah?
"Syukurlah kalau begitu. Ryn, kau dipanggil oleh miss Sheila. Kusarankan agar kau segera menemuinya," balas Carl lalu mulai membisikkan sesuatu pada Tiffany.
"Sepertinya, mantranya bekerja dengan baik?" Bisikannya itu masih terdengar olehku, meski tidak semua.
"Miss Sheila? Baiklah aku akan menemuinya. Terima kasih atas informasinya. Tapi kalian ... kenapa kalian terus melihatku dengan tatapan aneh seperti itu? Dan apa yang kau bisikkan pada Tiffany, Carl? Mantra apa?"
Irene tergagap sedangkan Carl menepuk dahinya pelan. Tiffany memalingkan wajahnya ke arah lain, sehingga mau tak mau Irene yang harus menjelaskannya padaku.
"Itu ... aku hanya panik saat melihatmu tidak ada di dalam kamar. Takutnya ... takutnya kau diculik penyihir Dark Knight," jawabnya pelan.
"Benar! Soal tadi, aku berbisik kalau mantra pelindung yang kita buat di luar perpustakaan mungkin saja bisa menyelamatkanmu dari penculik, iya 'kan teman-teman?"
Semuanya mengangguk kompak.
Aku yang melihat itu nyaris saja tertawa melihat tingkah mereka. Oh ayolah, tidak mungkin mereka khawatir hanya karena itu?
"Aku hanya tidak sengaja tertidur di perpustakaan. Maaf ya sudah membuat kalian khawatir," responku pada akhirnya.
Mereka bertiga mengangguk pelan hingga Carl memutuskan untuk mengantarku pada miss Sheila.
***
"Hari ini kau masuk di tingkat 3.
Miss Rose yang akan mengajarmu."
"Memangnya saya tidak bisa belajar di tingkat 2 dulu? Saya baru saja masuk ke tingkat 2, mustahil hari ini saya masuk ke tingkat 3." Aku berusaha mengelak karena aku memang tak menginginkan program percepatan atau apalah itu seperti apa yang mereka harapkan.
Aku tak mau, aku tidak sebegitu berbakatnya untuk langsung naik tingkat hanya dalam kurun waktu sehari saja.
"Kau masih belum tahu? Kami semua mengumpulkan para white witch yang tinggal di dimensi manusia karena Dark Knight telah mengibarkan bendera perang. Mereka telah menyerang kami dan memberikan pesan bahwa mereka sudah siap untuk menghancurkan kami sewaktu-waktu dan mengharapkan kami untuk mempersiapkan pasukan agar setidaknya perlawanan antara White Witch dan Dark Knight seimbang. Maka dari itu kita harus segera bersiap karena pemimpin Dark Knight tidak semudah itu untuk dikalahkan. kekuatan Moris tidak bisa kita remehkan," jelas miss Sheila panjang lebar.
"Moris?"
"Ya. Beliau adalah pemimpin Dark Knight, meskipun kita tidak pernah melihat batang hidungnya lagi sejak kejadian dua belas tahun yang lalu. Tapi dia termasuk penyihir berkekuatan hitam yang pastinya tidak main-main dengan kekuatannya itu."
Mendengar penjelasan miss Sheila itu aku hanya bisa menganggukan kepala tanda paham.
"Sebaiknya kita tidak membuang-buang waktu di sini. Kau bisa mengikuti kelasmu bersama Carl."
"Terima kasih miss."
Aku keluar dari ruang pribadi miss Sheila dan menemukan Carl yang sedang berdiri sambil memperhatikan pola-pola dinding lorong akademi.
"Maaf sudah membuatmu menunggu."
"Sama sekali tak menjadi masalah Catherine. Jadi bagaimana? Apa kau naik tingkat?"
Aku mengembuskan napas tak suka. "Iya. Mereka seperti memaksaku masuk ke sekolah percepatan. Aku tak begitu suka setiap harinya bertemu dengan orang yang berbeda, berjumlah puluhan, dan meminta berkenalan tanpa ada satu pun dari mereka yang kuingat wajah dan namanya," jawabku penuh dengan rasa kesal.
Carl tertawa lepas sambil menepuk-nepuk pundakku. "Itu artinya kau harus banyak belajar untuk mengenal orang lain. Aku akan membantumu nanti."
Aku mengangguk sambil tersenyum. Carl memang lelaki yang baik. Aku menyukai sikapnya yang selalu ramah itu.
Kami berjalan beriringan menuju kelas tigkat 3. Tingkat di mana kekuatan sihirku akan dikembangkan dan mempelajari bagaimana caranya menggunakan dan membagi kekuatan pada tongkat sihir yang kumiliki.
Carl mengantarku sampai ke depan asrama putri. Lagi-lagi aku merepotkannya. Sehabis ini, ia harus menungguku selesai mengganti pakaian dan kembali menunjukkan jalan padaku di mana letaknya tingkat 3. Aku jadi merasa bersalah, apa ia tak memiliki pekerjaan lain selain mendampingiku seperti ini?
"Apa kau akan menunggu lagi?"
"Tentu saja. Aku akan mengantarmu ke kelas sehabis ini," jawabnya santai.
"Tapi ... aku pasti merepotkanmu. Kau tak perlu membantuku seperti--"
"Sudahlah. Mau kau lama atau tidak, aku tetap akan menunggu dan menjalankan perintah. Tidak ada penolakan."
***
Pelajaran di kelas sihir ini tak berbeda dari kelas-kelas sebelumnya. Hanya berbeda dalam bidang apa kami mendapatkan teknik baru menggunakan sihir berdasarkan kekuatan kami masing-masing. Kalau di tingkat 1 kami diberi materi pengendali kekuatan, di tingkat 2 diberi materi perlindungan diri, di tingkat 3, kami diberi materi untuk membagi kekuatan kami dalam sebuah benda sihir, yang nantinya akan membantu kita saat kehabisan tenaga atau dalam keadaan yang mendesak lainnya.
Setelah jam belajar usai, aku nelambaikan tangan pada Carl yang mulai berjalan menuju perpustakaan. Aku ingin beristirahat sambil memikirkan sesuatu yang mungkin terjadi padaku. Sebenarnya, kekuatanku ini apa? Dan kenapa banyak penyihir yang mengangung-agungkan namaku walau aku tak melakukan sesuatu yang berarti?
Fakta ini selalu menggangguku. Tak bisa kubohongi lagi bahwa aku benci ... benci diperlakukan seperti idola.
Ketika hendak berbelok menuju lorong akademi yang tersambung ke lorong asrama putri, aku berpapasan dengan seorang gadis bersurai ungu beserta kedua temannya yang memang selalu mengikutinya ke mana pun ia melangkah.
"Hei anak baru. Apa yang kau punya sampai menjadi seorang idola?"
Aku menahan napas di tempat. Apa maksudnya? Apa ia ingin membahas ketenaranku? Tapi kenapa?
"Diam mematung sambil menahan napas tak akan membantumu keluar dari jangkauan kami, Catherine Anastasya," ujarnya lagi dengan nada tegas, yang berhasil membuatku merasa takut.
"Apa yang dikatakan Luna benar. Sebaiknya kau mengikuti perintahnya dari pada melawannya. Kau akan mendapatkan balasannya jika tak mau menurut," tambah gadis yang berambut kuning keemasan.
Aku menelan ludah gugup. "Apa maksudnya?"
"Kekuatanmu, ketenaranmu, kepandaianmu, semuanya! Kau berniat menandingiku? Karena kau baru masuk di akademi ini, aku menantangmu untuk berduel denganku besok pagi, atau tidak kau akan merasakan akibatnya," ancamnya lalu menghilang dalam sekejap mata.
***
Pagi itu, aku tidak datang.
Entah apa yang membuatku takut, ancamannya jelas bukan sebuah mainan. Tapi, dibanding harus bertemu dengannya, lebih baik aku tetap berada di dalam kelas dan menerima materi sihir, meski aku tahu itu membosankan.
Sambil melamunkan kebimbanganku mengenai ancamannya dan tindakan bodohku yang dengan santainya melewatkan jadwal berduel dengannya tadi pagi, kebetulan sekali, aku bertemu dengan Kayla.
"Hai Ryn! Bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja?"
"Tentu. Bagaimana denganmu?"
"Aku baik-baik saja. Eh, apa Ryn sudah dengar berita terbaru?"
"Berita apa?"
"Lho Ryn tidak tahu?!" Ekspresi wajahnya berubah kaget dan terlihat alami tanpa dibuat-buat.
"Memangnya berita apa? Sepenting apa beritanya sampai aku harus tahu?"
"Loh, tentu saja Ryn harus tahu! Irene yang menjadi korbannya!" Ia mengatakannya sambil memekik dan bersungut-sungut. Aku ikut terperangah mendengar perkataannya.
"Irene? Siapa yang melukainya?" tanyaku sedikit marah. Apa di akademi sihir, penyihir boleh melakukan kekerasan?
"Ryn tak bertemu dengan Luna 'kan?"
Aku menelan ludah sekali lagi. Ada apa ini?
"Hmm sepertinya Ryn tidak bertemu Luna. Nah biar kuberitahu. Aku dan Netta tidak tahu apa penyebab pastinya, tapi yang jelas, Luna yang melukai Irene. Sekarang ia sedang dirawat di ruang kesehatan akademi."
Mataku membulat sempurna. Pasti ini berhubungan denganku yang menyepelekan ancamannya.
************************************
Published : 10 November 2017
Revisioned : 15 Agustus 2018
***
Selamat hari pahlawan !!!
Terimakasih atas vote nya
See you next week ^_^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top