31

Author pov

"SIALAN KAU!!"

"Kenapa? Apa aktingku buruk?"

"Kenapa kau membohongiku seperti itu? Kenapa kau tidak tulus melakukannya? Lebih baik kau tidak pernah melakukannya daripada menipuku seperti ini!" teriak Ryn marah.

"Karena memang itu tujuanku," jawabnya sambil mengendikkan bahu tidak peduli.

"Kau tidak berhak menatapku lagi bahkan di saat-saat seperti ini."
Nada bicara Ryn kembali melunak tapi ia mengucapkan kalimat tersebut dengan penuh penekan.

Cahaya putih dan menyilaukan itu muncul di sekililing Catherine secara tiba-tiba, membuat Luna menutup matanya sejenak. Ia merasa dejavu dengan apa yang ia alami saat ini. Rasanya ia pernah melihat lawannya mengeluarkan cahaya besar seperti itu, tapi ia sendiri tak yakin kapan ia pernah mengalaminya.

Catherine muncul tepat di belakangnya dan berhasil menusukkan pedang es itu ke punggung Luna.

Luna membalasnya dengan satu sentakan sambil memerangi rasa sakit dan nyeri yang kini menjalar di tubuhnya.
Meski sakit, luka itu perlahan-lahan mulai menutup dan kembali seperti semula. Ia merasa sangat bersyukur bisa memiliki keistimewaan yang bisa membuat tubuhnya beregenerasi.

Setidaknya, keistimewaannya itu sangat menguntungkannya di saat ia terluka maupun dalam keadaan perang seperti ini.

"Kau juga seorang Healer."

Luna mengibaskan pedangnya ke sumber suara tetapi hasilnya nihil. Ayunan pedangnya mengenai udara kosong.

"Mencari siapa?"

Kini suara itu muncul tepat di belakangnya. Suara yang cukup menganggunya karena ia sama sekali tidak bisa menemukan di mana keberadaan lawannya kali ini.

"Janganlah jadi seorang pengecut! Keluarlah dan lawan aku!"

"Kau pikir aku seorang pengecut?"

"Kalau begitu, baiklah ... aku akhiri ini."

Luna sempat merasakan bahwa dirinya merinding saat mendengar ancaman lawannya.

"Tunggu, apa aku takut padanya?"

Satu goresan berhasil membuat bajunya terkoyak hebat. Bertepatan dengan itu, badai berhenti mendadak.

"Ini bukan, yang kau mau?"

Luna menelan ludah dengan susah payah setelah melihat siapa yang ada di depannya.

Dia memang Catherine, tapi dia berbeda. Mata birunya menyala dan rambut Hitamnya kini berubah warna menjadi seputih salju meski hanya setengahnya.

"Jawab aku Luna! Ini kan yang kau mau? Maka ini saatnya kita bertarung dengan sungguh-sungguh," ucapnya penuh penekanan.

"Tentu saja. Aku siap melawanmu."

Ryn berteleportasi ke belakang Luna dan memberi satu goresan di pinggangnya. Ia berhasil menghindar dengan cepat saat Luna berusaha membalas serangannya.

"Kau kurang menambah kecepatanmu Luna."

"Sombong sekali kau! Aku akan membuatmu bertekuk lutut di hadapanku dan kalau bisa aku akan melemparmu ke dimensi di mana ibumu berada!"

"Jadi dimensi itu juga buatanmu?" tanyanya sambil menggeram.

"Kau tahu apa tentang dimensi yang kami buat?"

"Kau orang paling gila di dunia ini! Orang sepertimu tidak pantas hidup di sini!" teriaknya marah.

Luna bisa melihat warna rambut Ryn sudah berubah sempurna kali ini.

"Perubahan macam apa ini?"

Di sela-sela kebingungannya, ia berusaha untuk tetap fokus,. Bagaimanapun juga, Catherine menjadi berbahaya saat ini.

Luna mulai kewalahan saat Ryn menyerangnya dengan membabi buta. Gerakannya bahkan tidak bisa secepat gerakan Ryn, begitupun juga dengan serangannya. Ia juga tidak bisa menangkis seluruh serangan yang diberikan Ryn.

"Sial. Kalau begini caranya aku akan mempermalukukan diriku sendiri."

Ryn berteleportasi saat ia menemukan celah untuk menyerang Luna. Ia marah, hatinya kesal karena diperlakukan seperti itu.

"Seharusnya aku memang peka dari awal!" geramnya sambil terus meluncurkan serangan tanpa memperdulikan tenaganya yang mulai terkuras habis.

"Catherine! Hentikan! Kau bisa kehabisan tenagamu!"

Ryn menoleh ke sumber suara, sangat mengenali suara itu.

"Aku baik-baik saja Fanny. Dia masih menjadi bagian dari urusanku dan sebaiknya urusanku kuselesaikan hari ini juga. Tolong bantulah White Witch lainnya."

Tiffany hanya bisa mengangguk pasrah dan menjauh dari arena duel itu. Rasanya Ryn memang sedang marah besar sampai-sampai dirinya sendiri pun tak berani masuk ke arena duel hanya untuk melihat kondisinya.

Ryn lengah, saat itu juga pedang Luna berhasil melukai punggungnya dan tidak sengaja memotong rambutnya.

Ryn menggeram dan menyerang Luna hingga terpental hampir dua puluh meter jauhnya dari tempatnya berdiri. Ia bahkan tidak memperdulikan darah yang masih menetes akibat goresan yang dibuat Luna beberapa detik yang lalu.

"KAU!"

"Kau ... Jangan sekali-sekali kau berani melukaiku, bahkan hanya dengan memotong sehelai rambutku saja, kau harus menanggung pembalasannya!"

Teriakan itu menggelegar hingga membuat hati Luna menciut. Tapi ia tidak akan menampakkan ekspresi bodoh khas anak ketakutan di depan lawannya. Setidaknya dia masih memiliki satu kejutan lagi untuk lawan duelnya ini.

Matanya terbelalak kaget saat mendengar suara pecahan logam yang berasal dari tangannya. Ia melirik sekilas dan benar saja, senjata yang ia pergunakan untuk menyerang Catherine sudah pecah menjadi kepingan-kepingan es yang pada akhirnya berbaur dengan tanah bersalju.

"Mau maju Luna?"

Luna menggeram sambil mengontrol cuaca sekitar dengan segenap kekuatannya.

"Cukup sudah kesabaranku! Kau juga pantas mendapat balasanku yang seperti ini!"

Mereka saling melemparkan tatapan saling membunuh tanpa melakukan serangan selama beberapa detik.

"Ini saatnya," pikir Luna.

Ia segera merapalkan sejumlah mantra dan bertepatan dengan itu, sebuah cahaya hitam datang hampir saja menelan segala cahaya yang ada.

Perlahan, cahaya itu membentuk sesuatu yang menyerupai senjata milik reaper atau yang biasanya kalian jumpai di dalam film atau komik fantasi dan berbagai animasi lainnya sebagai sosok menyeramkan bertudung hitam lengkap dengan senjatanya itu.

Pikiran Ryn sempat melayang kemana-mana saat melihat dan merasakan aura kegelapan dari senjata tersebut. Ini semua bagaikan berada di dunia fantasi yang mirip dengan cerita-cerita fantasi, yang sering dibacanya berulang kali sewaktu ia masih menjalani kehidupan normalnya dulu.

"Jadi sebenarnya Luna ini siapa? Apa dia seorang grim reaper? Tapi mengapa bisa? Bukankah dia penyihir?"

Banyak sekali pertanyaan yang berkelebat di dalam pikirannya. Matanya masih saja terpaku, melihat senjata yang kini berada di genggaman Luna.

"Jadi ini sebagian dari sihirmu?" balas Ryn berusaha mengorek informasi dengan melontarkan pertanyaan yang paling rasional dibanding pertanyaan-pertanyaan lain yang sempat berkelebat dalam pikirannya.

Luna tersenyum, "Bukan. Ini memang bagian terakhirku yang kupunya. Tapi aku yakin kau tidak akan mengalahkannya, bahkan untuk menyentuhnya saja aku berani bersumpah kau tak akan bisa."

Senyum miring terbit di wajah Ryn. Ingin sekali ia berteriak kembali untuk menyadarkan lawannya betapa sombongnya ia saat itu. Ia harus segera bertindak.

"Perkenalkan namanya Dark Rose. Dan dia belum pernah membiarkan lawannya tetap hidup saat dia berhasil menyentuhmu."

"Kau terlalu banyak bicara."

Ryn kembali melesat dengan cepat dan berhasil menorehkan beberapa tusukan kecil di tubuh Luna.

Luna memekik kecil lalu ikut melesat berusaha mengikuti pergerakan Ryn yang tidak bisa ditebak alurnya.

Luna kembali menemukan Ryn yang berada di atas pohon lalu menyabet pohon tersebut dengan senjata mautnya itu. Aura hitam pekat menguar saat senjata itu berhasil menyabet beberapa pohon di sekitarnya. Luna tersenyum puas. Setidaknya dia merasa unggul kali ini.

Ryn hanya bisa menghindar karena bayangan-bayangan hitam itu benar-benar menbahayakan. Bajunya ikut terkoyak hanya karena ia tidak sengaja terkena bayangan hitam tersebut.

Alhasil, ia hanya bisa berteleportasi dari pohon yang satu ke pohon lainnya berusaha memancing pergerakan Luna. Ia sudah tidak tahu lagi sampai kapan ia masih mampu bertahan tapi ini demi tempat tinggalnya, demi ibunya.

Aura hitam itu semakin pekat dan semakin mendominasi hingga Ryn merasa seperti dikejar-kejar sesuatu yang tak terlihat tapi hidup. Bahkan bagian ujung jubahnya sudah terkikis dan terbang ke udara seperti abu karena pergerakannya berhasil diimbangi oleh senjata gila milik Luna.

Kini ia merasa bahwa dirinya benar, mungkin Luna adalah penyihir yang kuat. Mungkin ada banyak ilmu sihir yang belum ia ketahui sehingga membuat dirinya terpojok seperti ini.

Ryn kehilangan keseimbangan dan jatuh diantara salju-salju yang ia ciptakan. Ia segera membuat tameng dan menghentikan badai salju yang dibuatnya. Tenaganya akan habis tidak lama lagi, jadi mau tak mau, ia harus merubah rencananya.

Ia memutuskan untuk berbaur dengan White Witch lainnya, sekedar untuk memulihkan tenaganya di saat Luna sibuk mencarinya diantara White Witch lainnya.

Tapi rencananya gagal total. Luna tidak membiarkannya pergi dari jangkauannya. Ryn menggeram, seharusnya ia tahu itu. Luna tidak akan melepaskan lawannya.

"Baik jika itu maumu. Berikan aku waktu untuk mempersiapkan diriku melawanmu."

"Sayangnya aku tidak akan memberimu waktu yang akan membuat rencanaku gagal begitu saja. Lagipula aku telah membuktikan bahwa lawanku ternyata seorang pengecut. Bisa-bisanya ia berencana kabur dariku."

"Bahkan di saat-saat seperti ini kau masih bisa sombong."

"Tentu saja. Ini karena aku mampu dan kau yang lemah."

"Setidaknya aku akan membuktikan bahwa aku berjuang melawanmu demi kepentingan dunia bukan demi kekuasaan."

Ryn dan Luna melesat bersamaan, cahaya hitam dan putih saling menyerang dalam hitungan detik. Ryn merasakan bayangan atau entah apa wujudnya itu berhasil menggores tubuhnya beberapa kali hingga menyisakan rasa sakit yang tidak dapat ia deskripsikan rasanya.

Ia mengerahkan kekuatannya lagi dengan skala yang lebih besar daripada yang sebelumnya. Tapi lagi-lagi kekuatannya tidak bisa mengimbangi kekuatan milik Luna.

Ryn terpental beberapa meter dari tempatnya berdiri menyisakan bunyi berdebum yang akan membuat siapa yang melihatnya akan merasakan kengerian yang luar biasa.

"Ryn! Kami di sini! Kami akan membantumu."

Ryn tersenyum. Bahkan di saat-saat seperti ini masih ada kawan yang memperdulikannya. Ia segera bangkit dan bergabung, rupanya mereka telah selesai dengan urusan mereka masing-masing.

"Aku tidak apa-apa. Hanya saja bayangan hitam senjata Luna itu sangat mengerikan."

Jack segera meluncurkan serangannya membakar habis bayangan-bayangan hitam yang mulai mendekat. Tiffany membuat angin disekitar mereka berlima agar tidak ada bayangan hitam tersebut yang berhasil masuk melukai mereka. Dave kembali mengacau cuaca sekitar dan Netta segera mengendalikan air yang berasal dari tanah. Setidaknya mereka harus membuat Ryn pulih setelah berjuang mati-matian melawan Luna.

Tapi semua yang mereka lakukan bersama tidak cukup untuk melukai Luna. Mereka semua ikut terpental dan kembali jatuh terduduk diatas tanah.

Darah mengalir di mana-mana hingga warna salju yang semula berwarna putih menjadi warna merah.

"Kalian cukup menyerahkan Ryn saja padaku lalu kami akan berhenti menyerang kalian. Bagaimana?"

"Tidak akan!"

"Baik. Lakukan apa yang kau mau lalu berhentilah menyerang mereka."

Semua pasang mata menatap kearah Ryn dengan tatapan tidak menyetujui.

"Maafkan aku. Seharusnya kekacauan ini tidak terjadi," kata Ryn lalu melesat maju dan memasang pelindung dari es disekiling teman-temannya itu.

Terdengar suara teriakan dari dalam dinding es yang ia bangun agar teman-temannya tidak menghalanginya lagi. Ia menebalkan dinding es itu agar tidak ada yang bisa menembusnya.

"Catherine! Kumohon dengarkan aku! Jangan tinggalkan kami!" teriakan itu berasal dari Tiffany. Ryn hanya bisa tersenyum pahit saat mendengar teriakan Tiffany yang begitu menyayat hati saat orang mendengarnya.

Sudah cukup! Ia tidak bisa membiarkan semua temannya terluka hanya karena mereka ingin melindunginya.

Ryn membuat pedang dari es dan memasang kuda-kuda, membuat Luna tertawa terbahak-bahak karena aksi konyolnya.

"Kau tidak akan bisa menang melawannya."

"Coba saja." balas Ryn tak mau kalah.

Bayangan-bayangan tersebut berkelebat dan bergembira saat berhasil menorehkan goresan mereka masing-masing ditubuh Ryn. Darah kembali mengalir deras hingga Ryn berlutut tepat di depan Luna.

"Sudah kubilang bukan? Kau tak akan bisa."

"Lantas apa maumu?"

"Hanya satu. Aku sudah memerintahkan seorang dream power untuk membawamu ke alam ini. Tetapi kau menolak. Jadi kali ini aku akan melakukan hal yang sama. Silahkan masuk kedalam Catherine."

Sebuah portal terbuka di udara persis seperti yang pernah Ryn lihat sebelumnya.

"Aku ... aku tidak bisa melakukannya."

"Ya! Kau memang tidak bisa. Tapi aku bisa merebut jiwamu dan masuk kedalam sana!" teriaknya sambil merapalkan mantra dihadapan Ryn yang berusaha keras tetap bertahan agar jiwanya tidak tertarik kedalam portal.

Sedetik kemudian Ryn merasakan bahwa dirinya melayang masuk ke dalam portal meninggalkan tubuhnya sendiri yang sudah jatuh tersungkur di atas tanah bersalju.

***

Publised : 9 Maret 2018
revisioned : 02 september 2018

Maafkan ya, kalau adegannya agak membosankan atau apalah itu.. aku sendiri sudah berusaha mbuat adegan perangnya tapi ya begitulah *hufftt~~

Yosh, kalau gitu maafkan ya, kalau ada salah ketik dan typo tolong diingatkan karna aku buat chapter ini buru-buru, lagi PAS soalnya hehe~~~

Hooo~~ btw terimakasih banyakk lhooo~~
Kemarin Magic World ada di urutan ke-29

Waaaww ku ndak nyangka bisa sampe segitu /alay-_/
Yah pokoknya makasih ya, karena tanpa vote dan komen dari kalian Magic World dan bakal sampe segini..

Aduh terharu aku ... /plak/

Oke segitu aja, sampai jumpa minggu depan^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top