3
Aku merasakan pusing sementara dan tak lama kemudian aku merasakan bahwa aku terjatuh di atas tanah.
Aku mendengar suara orang lain berjalan mendekat.
"Selamat datang di Magic World Catherine," ujar seorang pemuda berambut pirang.
Aku sadar sepenuhnya dan memperbaiki ekspresi wajahku yang menurutku terlihat aneh sebelum aku menyadarinya.
Yang tadi berwarna ungu itu, apa?
Dan aku tidak ingin mengingat-ingat bagaimana rasanya melewati benda melayang berputar berwarna ungu itu. Memusingkan.
Dengan rasa bingung bercampur penasaran, aku menatap Tiffany dan pemuda berambut pirang itu bergantian.
Tiffany mengulurkan tangannya padaku untuk membantuku berdiri, aku menepisnya keras dan bangkit dengan cepat. Aku berusaha menjaga jarak dari mereka.
"Catherine, ku mohon tenanglah," pintanya dengan nada memelas.
"Aku tidak akan tenang sebelum kalian menjelaskannya padaku."
Si pirang, menatap Tiffany lalu beralih padaku. Aku semakin was-was. Pasti mereka memiliki rencana untuk menyakitiku.
"Apa mau kalian? Dan di mana ini?"
Aku kembali bertanya, meski pertanyaanku itu hanyalah sebuah kesia-siaan. Aku memutuskan untuk melarikan diri, entah ke mana, meski aku sendiri tak tahu mana arah yang benar untuk mengembalikanku ke sekolah. Aku berlari kencang, dan mendengar suara teriakan Tiffany dari jauh.
Berlari ke arah yang tidak kuketahui. Hanya demi sebuah tujuan, aku harus menjauh dari mereka. Aku harus pulang, entah bagaimana caranya. Pepohonan yang tumbuh di sisi kiri dan kanan jalan yang kutempuh, semakin rindang dan semakin mempersempit jalan, seakan-akan mereka membuatku terpaksa masuk ke sebuah penjara hutan.
Sial, bagaimana caranya untuk keluar dari sini?
Tiba-tiba saja, sebuah goncangan hebat terjadi di sekitarku. Angin berembus kencang memutari tubuhku. Tanah di sekitarku mulai terangkat dan mengelilingiku, seakan akan aku hendak diselimuti oleh tanah.
"Maaf, kami terpaksa menggunakan cara kasar seperti ini. Kau harus mengikuti kami Ryn. Kita harus pergi ke akademi lalu pemimpin kami yang akan menjelaskan segala hal lainnya padamu."
Aku menoleh dan memandang mereka dengan rasa kaget dan tidak percaya. Bagaimana bisa mereka melakukan hal seperti ini?
Ah tapi ini mungkin hanya tipu muslihat mereka agar aku percaya dengan mereka. Bisa saja ini perangkap yang sudah dibuat sedemikian rupa sebelumnya. Lihat, aku tidak akan termakan oleh jebakan bodoh kalian!
Aku berusaha melepaskan tubuhku dari tanah-tanah yang mengelilingiku ini dan tidak menghiraukan peringatan yang terus diteriakkan oleh Tiffany.
"Ryn, kalau terus memaksa seperti itu, maafkan aku, tidak ada cara lain selain ini."
Sialnya, tubuhku serasa dihantam benda keras yang pada akhirnya membuatku kehilangan kesadaran.
***
"Selamat datang Catherine. kami sudah lama menunggumu kembali ke dunia ini."
Aku mengerjapkan mata dan melihat ke sekitar ruangan. Kenapa pula, aku bisa terbangun dalam keadaan diikat dan berhadapan oleh seorang wanita bermata hijau dan rambut cokelat.
"Siapa kau?"
"Perkenalkan, aku Leonore, pemimpin klan White Witch sekaligus pemilik akademi Aracelia ini."
"Apa yang kau butuh dariku?"
wanita bermanik hijau itu menghela napas, lalu melanjutkan, "Baiklah mungkin susah untuk dipercaya tentang keberadaan dunia ini apalagi jati dirimu sebenarnya. Dua belas tahun yang lalu, dunia ini mengalami perang besar.
Segalanya hancur dan keseimbangan dunia antar dimensi terancam.
Banyak penyihir yang tewas saat itu. Sehingga anak-anak penyihir yang masih kecil dikirimkan ke dunia manusia untuk diasuh dan dibesarkan di sana.
Cukup banyak penyihir yang dikirim ke dunia manusia. Ada sekitar tiga sampai lima ratus anak, termasuk dirimu."
Emosiku mulai melunak saat mendengarkan penjelasannya. Tapi semua ini tidak masuk akal. Apa yang sebenarnya ia katakan?
"Jadi kalau aku penyihir mengapa aku tidak memiliki sihir?" tanyaku curiga.
Jangan-jangan orang di depanku ini hanya menghayal saja.
"Tentu saja kau memilikinya. bahkan magic ball mengatakan bahwa kau memiliki cahaya putih. Sebenarnya penyihir akan menemukan kekuatannya sejak berumur sepuluh tahun. Tapi karena kau selama ini selalu berada di dunia manusia, kemungkinan kecil kekuatan itu sudah muncul tetapi kau sendiri tidak menyadarinya. Kau bisa tahu tentang kekuatanmu nanti di kelas pertamamu."
"Magic ball itu apa?" tanyaku bingung.
Leonore tertawa dan akhirnya menjawab,
"Magic ball dapat memberi tahu setiap penyihir pemiliknya informasi penting saat kau membutuhkannya.
Kau akan mempelajarinya saat kelas pertamamu berlangsung nanti.
Kau harus belajar banyak di sini.''
"Kau juga diramalkan menjadi salah satu penyihir dari lima penyihir Guardians. kelima Guardians ini nantinya akan memimpin perang dan memiliki satu kekuatan yang tidak dimiliki siapa pun. Para Guardians ini bertugas untuk melindungi kami semua," jelas Leonore panjang lebar.
Aku mengernyit bingung. "Lalu, apa yang harus kulakukan? Kau tidak salah memilih orang kan?"
Aku berusaha mengelak. Tidak mungkin aku seorang penyihir, meski aku begitu mengimpikannya.
"Kau akan mengerti nanti saat mengikuti kelas pertamamu. Ini segala perlengkapanmu.
Di sini ada magic ball, kunci kamar, Magic Broom dan tongkat sihir.
Kau bisa istirahat hari ini dan memulai pelajaranmu besok pagi,"
jelas Leonore sambil memberikan perlengkapan itu padaku.
***
Kulihat bahwa nomor kamarku adalah 17 di lantai 3.
Aku mencari-cari di mana letak asrama putri. Aku begitu bodoh, setelah dilepaskan oleh Leonore, dengan bodohnya aku keluar ruangan tanpa informasi yang cukup untuk menelusuri akademi luas ini.
Setelah lama berputar mencari arah yang benar, aku memutuskan untuk bertanya dengan wanita yang sedang merapikan tanaman saat ini.
"Permisi, apa saya boleh tanya?"
"Boleh saja. Silahkan."
"Bisakah kau menunjukkan di mana letaknya asrama putri?"
Wanita itu tampak mencari-cari sesuatu.
"Hei! kamu yang berambut cokelat ... kemarilah."
Seorang lelaki yang tingginya kurang lebih tinggi sepuluh centi meter dariku dengan rambut cokelat tua dan warna mata hitam itu datang menghampiri kami.
"Tolong antarkan gadis ini ke asrama putri ya. Sepertinya dia masih baru. Aku sedang sibuk di sini, bisakah kau mengantarkannya?"
Tampak lelaki disampingku ini mengangguk lalu berjalan tanpa berkata-kata. Awalnya aku bingung, tapi akhirnya kuikuti langkahnya saat tahu bahwa ia sedang menunjukan jalan menuju asrama putri.
Kami terdiam di sepanjang perjalanan sampai akhirnya ia berkata, "Sudah sampai."
Aku tertegun sejenak. Tadinya kupikir bahwa anak ini bisu karena ia tidak berbicara sama sekali sepanjang perjalanan.
"Eh ... Terima kasih ya," jawabku pada akhirnya.
Ia hanya mengangguk dan berbalik badan hendak meninggalkanku.
"Siapa namamu?" tanyaku ragu karena bingung bagaimana caranya untuk berterimakasih.
"Jack," jawabnya singkat.
"Namaku Catherine--" Belum sempat aku menyelesaikan acara perkenalanku ini ia memotong perkataanku.
"Bisa dipanggil Ryn," lanjutnya malas.
"Eh iya ... bisa dipanggil Ryn. Salam kenal ya," jawabku sambil nyengir lebar karena ini pertama kalinya aku berbicara dengan anak laki-laki.
Tapi bagaimana dia bisa tahu bahwa namaku Ryn? Kenapa dia bisa tahu?
Mungkin dia seorang mind reader, batinku mulai yakin.
Aku buru-buru menghentikan pikiran aneh itu dan segera berterimakasih padanya. Jack mengangguk dan kali ini, dia benar-benar meninggalkanku di depan pintu asrama.
"Silakan isi buku daftar siswa di sini," ujar seorang wanita yang duduk di belakang meja pendaftaran.
Aku segera mengisi namaku dan wanita itu memberiku kartu tanda bahwa aku adalah seorang penyihir di sini.
"Satu kamar berisi dua orang. Saat ini kamarmu masih kosong dan kau bisa menelepon lewat telepon kamar jika memiliki pertanyaan. Sudah jelas?"
Aku mengangguk sambil mengucapkan, "Terima kasih."
lalu berjalan menuju lantai 3 dan menemukan kamarku yang bernomor 17.
Ruangan ini berisi dua kamar tidur, satu ruang tamu yang lebih mirip ruang untuk berkumpul dan satu kamar mandi. Aku memutuskan untuk menempati kamar tidur yang sebelah kanan.
"Lengkap sekali fasilitasnya. Aku bahkan tidak perlu bingung membawa barang," gumamku takjub saat melihat seisi kamar tidur baruku.
Tapi sesaat setelah bergumam seperti itu, aku tertawa keras.
"Aku hanya terjebak dalam imajinasiku sendiri. Mungkin inilah yang disebut mimpi yang terasa sangat nyata," gumamku sambil tertawa hambar.
Setelah membereskan barang yang ada, aku berusaha memejamkan mata agar dapat tertidur sambil berharap setelah aku bangun nanti, aku sudah sembuh dan kembali ke dunia nyata lagi.
Aku segera memasang alarm untuk bangun jam empat sore nanti dan mulai tertidur untuk melepaskan beban pikiranku saat ini.
***
KRING!
Alarm yang ada di atas nakas, tepatnya di sebelah kanan tempat tidurku, berbunyi nyaring sekali.
Aku meregangkan otot dan segera mematikannya.
Sudah jam empat sore rupanya. Aku segera mengambil handuk dan pakaian untuk mandi. Setelah merapikan penampilanku, aku kembali duduk di sofa, tepatnya di ruang berkumpul.
Aku masih tidak tahu caranya menggunakan magic ball yang dapat dijadikan sumber informasi di dunia ini.
Lagi-lagi aku berdecak kesal karena sepertinya mimpiku ini belum kunjung usai dan parahnya, Kezia tidak kunjung membangunkanku juga. Sepertinya ia benar-benar marah tadi, sehingga tidak mau membangunkanku lagi.
"Setahuku di sini letak tamannya," gumamku sambil terus berjalan.
Bruk!
Aku terjatuh karena menubruk seseorang.
"Aduh!" ringisku reflek saat aku sudah jatuh terduduk di atas rerumputan.
Aku mendongak dan mendapati bahwa aku telah menubruk Jack.
"Ma- maaf ya, tidak sengaja," kataku pada akhirnya.
Jack tidak mengatakan apa-apa dan hanya mengangguk samar lalu berjalan meninggalkanku. Aku mengerutkan kening.
"Memalukan sekali. Jatuh dihadapan orang-- maksudku, Menubruk orang yang super dingin seperti itu sangat sangat memalukan," gumamku sambil berusaha untuk berdiri kembali.
"Jangan-jangan Jack bukan orang yang suka menerima maaf?" gumamku panik.
Akhirnya aku memilih untuk duduk di bangku taman yang paling pojok dan memandangi bintang-bintang. Sungguh indah sekali.
Bahkan tidak jauh berbeda saat aku masih berada di rumah. Mengingat itu, hatiku terasa teriris.
***
"Ryn? Tidakkah kamu ingin bermain bersama teman temanmu?"
"Tidak."
"Kenapa tidak? Ayolah ... sekali-sekali Ryn harus punya teman."
"Buat apa sih ma? Buku ini lebih seru dari pada mereka kok. Lagi pula mereka sedang bermain salju. Jahat sekali mereka bermain disaat aku takut dengan salju," gerutu gadis berumur tujuh tahun itu.
"Yah ... Itu bukan salah mereka Ryn, tapi itu bukan juga salahmu. Rasa takut pada sesuatu dalam diri seseorang itu wajar. Tidak akan ada orang yang menyalahkanmu tentang itu."
"Tapi semua orang menyukainya. Aku bahkan tidak tahu alasan kenapa aku bisa takut dengan mereka."
"Lalu apa yang Ryn rasakan saat melihat salju turun? Tidak adakah rasa gembira? Mereka datang hanya sesekali saja, dan semua anak tentu menyambutnya dengan baik, kalau Ryn merasa gembira, itu bukan takut namanya, tapi Ryn merasa malu untuk bertemu dengan teman lainnya."
Gadis itu menoleh dan dan menatap ibunya dengan mata berair.
"Tapi yang Ryn rasakan bukan itu ma. ada sesuatu yang menyayat hati dan membuatku ingin menangis saat melihat salju turun. Aku tidak pernah tahu alasannya, tidak pernah! Kenapa harus begitu? Kenapa harus merasa ketakutan disaat anak lainnya berbahagia saat mereka datang? Kenapa ma? Kenapa?"
"Sudah-sudah ... jangan menangis lagi. Kalau Ryn memang takut Ryn tidak usah memaksakan diri untuk keluar demi teman temanmu. Ryn kan bisa mengajak teman teman bermain bersama di rumah."
"Tapi ... Ryn tidak berteman dengan mereka."
"Baiklah ... Sewaktu waktu Ryn pasti membutuhkan teman. Tidak perlu banyak. Satu saja pun sudah cukup, jika satu orang itu memang setia dan menerimamu apa adanya."
Ryn hanya bisa mengangguk sambil menghapus air matanya. Ia berjalan ke arah jendela dan menutupnya dengan tirai. Entahlah ... Ia tidak ingin melihat salju sama sekali walaupun hanya ia lihat dari kaca jendelanya.
***
Mengingat kejadian itu, rasanya ingin menangis saja. Tentangku yang membenci salju sampai mama yang memberiku nasehat untuk segera mencari teman.
Sungguh bagaimana kabar mereka saat ini? Aku tak habis pikir bagaimana bisa kehidupanku yang tidak apa apa nya menjadi rumit seperti ini hanya karena aku terlahir sebagai penyihir?
"Kau melamunkan apa? Keluargamu?"
Aku menoleh sekilas dan menemukan gadis bersurai cokelat sudah ikut duduk di sebelahku. Ah mengesalkan, lagi-lagi aku harus bertemu dengan penculikku.
"Lalu, memangnya kenapa kalau aku melamunkan keluargaku? Apa urusanmu?"
"Kau akan terbiasa hidup di sini. Maaf karena sudah membawamu ke dimensi ini secara paksa, tapi kami tidak memiliki pilihan lain selain membawamu dengan cara seperti itu. Berulang kali aku mencoba memasuki mimpimu dan membawamu ke dunia ini lewat portal mimpi, portal yang hanya dimiliki oleh penyihir berkekuatan Dream Power saja. Tapi aku tak pernah bisa melakukannya, jadi kami memutuskan untuk membawamu dengan cara manual, meski kau begitu sulit untuk mempercayaiku," jelasnya panjang lebar yang hanya kurespon dengan sebuah dengusan napas.
"Baiklah baiklah, Apa semua penyihir yang dikirim ke dunia manusia sama seperti itu?"
"Kurang lebih sama. Mereka pasti memiliki orang tua angkat. Tapi beberapa dari mereka juga ada yang tinggal di panti asuhan," jawab Tiffany.
"Apa maksudmu dengan orang tua angkat?" tanyaku mulai merasa aneh.
"Kau belum diberitahu? Semua penyihir yang hidup di dunia manusia tidak pernah tinggal dengan orsng tua kandungnya Ryn."
Aku hanya bisa terdiam di tempat. Sebuah penjelasan telak yang menjawab seluruh pertanyaan masa laluku. Kenapa warna mata kami berbeda? Kenapa wajah kami sama sekali tak mirip layaknya seorang anak dan orang tua?
"Apa-apaan itu?" Aku bertanya dengan suara serak, berusaha mengelak dari kenyataan yang ia sebutkan.
"Maaf, dulu aku juga seperti itu. Aku yakin kau perlu waktu untuk memahami semua ini. Bersabarlah dan ikuti saja alurnya."
Ada perasaan lega dan kecewa.
Aku ada di dunia nyata bukan terjebak dalam imajinasi bodohku sendiri.
"Terkadang untuk mempercayai sesuatu itu susah. Tapi ada waktu yang pasti akan menjawab semuanya," ucapnya sambil berlalu meninggalkan diriku yang masih dilanda kebingungan.
Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. "Aku berada di dunia sihir sekarang. Aku bukanlah manusia melainkan seorang penyihir. Begitulah faktanya dan aku tidak bisa menentangnya."
************************************
Published : 06 october 2017
Revisioned : 02 august 2018
Hi! I'm back!!
Gimana ceritanya?
Membingungkan? Jelek? Atau gimana?
Disini Rina mau ngumumin kalau bakal update setiap hari jumat.
Makasih buat yang mau baca :))
~see you next week
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top