24

"Seseorang mengontrolku," jawabnya lalu tubuhnya mulai limbung dan jatuh ke lantai, tepat di depanku.

Aku terpaku melihat tubuhnya yang tiba-tiba jatuh di depanku.

"Claresta?"

"Resta! Bangunlah!"

Sial! Aku mengerti sekarang. Luna memang selalu ada di mana-mana. Aku menyepelekan hal itu lagi. Kini, Claresta yang menjadi korbannya. Tapi, untuk apa ia menjadikan Resta sebagai korban? Aku tak melanggar janjinya. Bahkan, akhir-akhir ini ia tak memberiku persyaratan apa-apa. Jadi, untuk apa ia membuat Resta pingsan?

"Pengecut sekali. Luna, silakan kau memperlihatkan wujudmu."

"Bukankah sudah kebiasaanku? Datang diam-diam?"

"Kau mau apa?!"

"Tentu saja membuatnya diam! Untuk apa kau bertanya tentang Samantha dengannya? Dia tidak tahu apa-apa tentangnya jadi untuk apa kau bertanya?!"

"Tidak ada urusannya denganmu Luna!" jawabku sambil menahan amarah.

"Kau tidak perlu sampai membuatnya pingsan seperti ini. Kau menyembunyikan sesuatu?"

"Kau tidak perlu tahu
Untuk apa kau bertanya tentang Samantha padanya? Bukankah kau punya Fany? Punya guru? Untuk apa kau bertanya dengan ilmuwan?"

"Lalu apa hubungannya denganmu? Aku bertanya karena itu hak milikku."

"Junior tidak tahu diri! Aku yang menyuruhmu sekarang untuk tidak bertanya tentang Samantha!"

"Aku tidak punya hubungan apa-apa denganmu, jadi untuk apa aku membuang waktuku hanya untuk menurutimu? Apa kamu sedang merekrut anggota baru untuk menjahili junior lainnya?" jawabku kesal.

"Jangan terlalu percaya diri. Kau makin lama makin berani saja," desisnya tajam.

"Bukankah kau yang semakin keterlaluan?"

Aku segera membekukan tangannya dan membuat ruangan ini penuh dengan hujan salju. Aku membawa Claresta keluar dari ruangan sebelum Luna sadar dengan apa yang terjadi.

Aku menaiki sapu terbangku setelah bersusah payah menaikkan Resta ke sapu terbangku. Aku sudah tidak peduli lagi, dalam waktu sepuluh detik aku sudah berhasil sampai di depan ruang kesehatan. Kurasa mulai saat ini aku harus memanfaatkan waktu dengan baik. Belajar lebih banyak tentang penyerangan mendadak untuk melindungi diri dan mengelabui musuh.

"Halo? Apa ada yang menjaga ruang kesehatan?"

"Silakan masuk!"

"Baik terima kasih. Ada siswa yang pingsan."

Sesaat setelah aku mengatakan bahwa ada siswa yang pingsan, aku melihat seorang gadis berambut hijau keluar dari ruang kesehatan dengan tergopoh-gopoh.

"Tolong. Dia pingsan," ulangku.

Tanpa harus diperintah lagi, aku dan gadis itu segera membawa Claresta di ranjang pasien.

"Apa kau tahu penyebab dia pingsan?"

Aku hanya bisa menggeleng sebagai jawabannya.

"Apa kau bersamanya saat dia pingsan? Atau kau yang menemukanya?"

"Aku bersamanya. Tapi ia terjatuh di depanku, secara tiba-tiba," jawabku kaku.

"Bagaimana kejadiannya?"

"Dia terjatuh di depanku secara tiba-tiba. Aku tidak tahu pasti penyebabnya, tapi kami sempat berbicara sebelum ia jatuh pingsan."

Gadis berambut hijau itu tidak menjawabku lagi. Tapi ekspresi wajahnya berubah, dan tatapan matanya menjadi tajam.

"Ada apa dengannya?"

Kali ini, ia menoleh ke arahku dengan tatapan yang sama sekali tidak aku mengerti.

"Dia tidak apa-apa. Kau boleh keluar sekarang. Aku yang akan menjaganya."

"Baiklah. Terima kasih atas bantuannya. Aku permisi," jawabku pada akhirnya karena dari nada bicaranya, ia seperti ingin mengusirku dari sini.

"Semoga dia tidak apa-apa," gumamku sambil menaiki sapu terbangku menuju perpustakaan.

Keputusanku sudah bulat. Mau tidak mau, aku memang harus bertemu Tiffany dan minta maaf padanya. Masalah ini, bisa kubicarakan dengan Fany dan meminta nasehatnya. Biasanya, Carl juga turut menbantuku jika masalahku berhubungan dengan Luna.

***

"Fanny. Aku minta maaf."

"Ya?"

"Aku minta maaf," ulangku.

"Eh? Seharusnya aku yang minta maaf."

"Tidak. Ini salahku. Harusnya aku sudah memafkanmu tapi aku malah mendiamkanmu."

"Tidak perlu sampai seperti itu. Kau hanya butuh waktu, seharusnya aku tahu itu."

Aku sangat ingin menyangkalnya tetapi ia sudah memotong perkataanku sebelum kata-kata itu terucap.

"Ada sesuatu yang harus kutunjukkan padamu Ryn."

Aku menghela napas pasrah, lalu menjawab, "Apa?"

"Ikuti saja."

Aku menurut. Fanny menyuruhku untuk duduk sedangkan ia mulai sibuk mencari sesuatu.
Beberapa menit kemudian, Fanny membawa selembar dokumen yang tidak kuketahui isinya.

"Aku akan menceritakannya dari awal. kami sudah berdiskusi dan setuju bahwa kami harus memberitahumu tentang rahasia dan usaha-usaha kami selama ini."

Aku mengangguk. Aku tahu, secara tidak langsung ia menyuruhku untuk menjadi pendengar yang baik.

"Jadi, kami bertiga, Jack, aku, dan Dave selalu bekerja sama untuk mengetahui tentang asal usulmu. kami berusaha mengorek berbagai macam informasi tentang Half Blood, karena pada waktu itu, kami masih belum tahu bahwa seorang Half Blood tidak ada hubungannya sama sekali dengan keseimbangan dunia ini."

"Dilanjutkan dengan usaha-usaha kami yang belum mengalami kemajuan, aku harus membawamu kembali ke sini atas perintah Leonore. Semua White Witch yang masih berada di dunia manusia diminta kembali ke dunia sihir.

Setelah tugas itu, kami tetap berusaha mencari informasi tentang Half Blood. Awalnya, kami mengira bahwa hanya ada satu Half Blood di dunia ini. Tapi ternyata tidak. Pertama kali kami mengetahuinya saat aku tidak sengaja mendengar perdebatan serius antara Luna dan Tata."

"Perdebatan antara Luna dan Tata?"

"Ya, Mereka terus berdebat karena perbedaan pendapat tentunya. Luna memberi Tata tugas untuk menyakitimu. Tapi ia tidak mau melakukan itu. Luna terus mendesaknya dengan ancaman ia akan membunuh ibunya yang merupakan seorang manusia. Bahkan ia juga mengancam akan menyebarkan berita kepada seluruh White Witch lainnya bahwa dia adalah seorang Half Blood. Saat ini, memang semua penyihir memiliki persepsi bahwa Half Blood sangat berpengaruh terhadap keseimbangan dunia."

"Jadi, mereka masih belum tahu?"

"Tentu saja tidak. Berita itu masih dirahasiakan untuk sementara waktu, karena dianggap akan menuai banyak tanggapan negatif yang akan membuat akademi ini semakin hancur pada akhirnya. Biarkan para White Witch lainnya fokus pada kekuatan mereka untuk persiapan perang."

"Baiklah. Aku paham."

"Karena aku sudah tahu bahwa sebenarnya Tata ada di pihak kita, aku memintanya untuk bekerja sama dengan kami. Jadi sebaiknya kau tidak salah paham lagi."

"Tata setuju untuk bekerja sama dengan kami. Sejak saat itu, kita tahu bahwa Half Blood sama sekali bukan ancaman dan sejak saat itu pula kami mengetahui, bahwa di dunia ini sebenarnya ada beberapa Half Blood, tidak hanya satu saja."

"Dan setiap Half Blood memiliki keistimewaan tersendiri."

"Benarkah? Lalu apa keistimewaanku?" tanyaku penasaran.

"Aku tidak tahu pastinya. Tapi menurut Tata dan Elena keistimewaanmu cukup unik."

"Unik?"

"Iya. Mereka berkata bahwa kau tidak bisa diserang dengan kekuatan. Tata pernah mendengar Luna menggerutu karena dia tidak bisa mengontrolmu. Elena juga tidak bisa membaca pikiranmu, begitu pun juga aku. Bukankah sudah kubilang aku sering terlempar keluar saat menjemputmu melalui mimpi?"

"Tidak bisa? Tidak bisa diserang? Keistimewaanku?"

Wajahku sempat memerah karena malu. Entah kenapa, aku merasa malu untuk bercerita pada Tiffany saat Elena membantuku membuat ramuan. Bukankah ia membantuku karena membaca pikiranku?

"Ryn? Kau tidak apa-apa?"

"Tapi, bukannya Elena pernah membaca pikiranku?"

"Jangan bergurau Ryn. Elena sendiri yang bilang bahwa ia tak pernah berhasil membaca pikiranmu."

Aku mengernyit bingung. Lalu, kejadian waktu itu karena apa? Jelas sekali Elena membantuku waktu itu. Membuat sebuah ramuan, saat aku tak tahu bagaimana caranya menbuat sebuah ramuan.

"Kau sungguh tidak apa-apa? Wajahmu--"

"Tentu saja aku tidak apa-apa. Lanjutkan saja," potongku cepat.

"Baiklah. Jadi setelah itu, kami sempat menemukan berita in-- Tunggu! Ada yang mengirim surat!"

Reflek aku menoleh kearah yang dilihat oleh Fanny. Memang benar ada yang mengirim surat dan sepertinya surat itu ditujukan untuk Tiffany.
Tapi ternyata dugaanku salah total. Aku tidak tahu alasan apa yang dipakai orang ini sampai mau mengirim surat untukku jadi, aku hanya diam melihat surat itu berhenti diatas meja, tepat di depanku.

"Kenapa hanya dilihat?"

"Aku tidak tahu kenapa ada yang mengirim surat untukku."

"Surat itu ditujukan untukmu. Jadi kau harus membacanya, mungkin saja penting."

Aku mengangguk setuju lalu mulai membuka isi surat itu. Jantungku berdebar karena tidak biasanya ada yang mengirim surat padaku.

Siapa dan untuk apa dia mengirim surat untukku?

************************************

Published : 19 Januari 2018
Revisioned : 26 Agustus 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top