21
"Hai ... ibu?"
Kalimat sapaan itu bahkan tidak bisa disebut sebagai kalimat sapaan. Ia terlalu gugup. Kalimat itu bahkan terdengar bergetar yang membuat suasana makin canggung di antara mereka.
"Ibu? Aku perlu membicarakan sesuatu dengan ibu."
Air matanya nyaris saja tumpah. Kapan terakhir kali ia berbicara seperti ini dengan ibunya?"
"Ada apa Stephanie?"
"Aku perlu membicarakan sesuatu. Demi kepentingan kita semua. Sebuah masalah yang rumit ibu. Aku tidak bisa menyelesaikan masalah yang ini. Sungguh bu. Aku merindukanmu."
"Apa yang kau bicarakan Tiffany?"
"Aku tahu, aku tidak seharusnya ke sini. Maaf bu. Tapi ada sesuatu yang harus aku diskusikan dengan ibu. Aku bersungguh tidak akan pernah ke sini lagi."
"Bukan itu maksudku Fany. Aku sudah mematikan alat pengintai Leonore karena aku tahu kau akan datang ke sini. Maksud ibu, hal apa yang ingin kau diskusikan?"
"Tentang Catherine," jawabnya lesu.
"Ceritakan."
"Aku sudah tahu bahwa ini saatnya Catherine tahu tentang orang tuanya. Ibu pasti tahu murid yang bernama Luna? Dia berbahaya."
"Luna anak dari Moris dan ia merupakan pewaris Kekuatan gelap. Dan parahnya, ia sudah berkeliaran di sini setelah sekian lamanya. Satu lagi, dia berbahaya untuk Ryn."
"Lanjutkan."
"Ibu pasti tahu waktu aku meminta izin pada miss Sheila untuk ke dunia manusia. Di sana, kami menyocokkan data anak yang hilang di sana dengan para White Witch di sini. Jumlahnya pas, tapi ada yang mengejutkan."
Kring!
Telepon itu berbunyi memotong penjelasan Tiffany. Tiffany tidak bisa mengelak ketika ia harus menyaksikan ibunya mengangkat telepon itu dan hanya bisa menunggu dengan sabar.
Beberapa menit kemudian, Tiffany melihat ibunya meletakkan gagang telepon. Dari raut wajahnya yang terlihat kecewa, membuat perasaan Tiffany menjadi tidak enak.
"Fany ... kita bisa melanjutkan ini besok di tempat tertentu. Leonore mengawasi kami dan ia bertanya kenapa alat pengintaiku mati. Maafkan aku. Aku juga merindukanmu, bersabarlah ya? Semua pasti memiliki titik terang. Semoga masalahnya cepat selesai."
"Aku mengerti. Terima kasih atas waktunya bu," jawab Tiffany sambil menghela napas kecewa dan berjalan keluar ruangan.
Entah apa yang ia pikirkan, air mata itu pun berdesakan keluar membuat dirinya terlihat seperti orang yang lemah. Ia terus berjalan tanpa tujuan sambil menangis dalam diam.
***
"Ini Ryn. aku membawa yang seri Hercule Poirot. Apa kau suka seri yang ini? Kalau tidak suka, aku akan mencari seri lainnya."
Ryn menoleh ke arah Rara dengan mata berbinar.
"Kebetulan macam apa ini? Tentu saja aku menyukainya. Seri Hercule Poirot yang terbaik!" seru Ryn senang sambil membantu Rara membawa tumpukan buku itu.
"Nah ... jangan pelit-pelit untuk tersenyum yah! Susah mencari semua ini."
Ryn hanya mengangguk kecil sambil mulai membuka buku berseri itu. Rara hanya bisa memperhatikan sambil sesekali ikut membaca buku yang sebenarnya tidak ia sukai itu.
Ia rasa, cerita tentang misteri pembunuhan tidak menarik sama sekali. Jadi lebih baik memperhatikan Ryn membaca dari pada ikut membaca bukunya.
Lagi pula apa yang bisa ia dapatkan dari membaca cerita seperti itu? Menjadi detektif? Itu sebuah kemungkinan untuk Ryn tapi tidak dengannya. Adakah seekor beruang yang berpotensi menjadi detektif?
"Aku tak percaya ini!" teriak seseorang terdengar frustasi. Ryn mengangkat kepalanya dan menoleh ke sumber suara. Ia mengenali suara itu. Suara Tiffany. Tapi, Tiffany tidak pernah seemosi itu. Ada masalah apa?
Tapi tak lama setelah itu, Carl menuju ke tempat Tiffany dan menenangkannya. Ryn memutuskan untuk kembali melanjutkan acara membaca bukunya sesaat setelah ia mengendikkan bahu tanda tidak peduli. Ia memang sempat bingung, tapi apa gunanya mencampuri urusan orang lain?
Mungkin Tiffany masih butuh waktu untuk sendiri dan mungkin Carl adalah orang yang lebih tepat untuknya saat ini. Ia hanya perlu bersabar, beberapa saat lagi Tiffany pasti akan menceritakan masalahnya.
"Ryn!"
Ryn kembali menoleh ke sumber suara.
"Apa?"
"Tidak bisakah kau membantuku untuk mempelajari buku ini? Sudah tiga jam aku membacanya tapi tidak ada satu pun materi yang masuk ke dalam otakku," keluhnya.
Ryn menepuk dahi pelan sambil menutup buku bacaannya dengan sedikit terpaksa. Raut wajahnya merengut seperti ingin mengungkapkan kekesalan. Lagi-lagi Irene. Temannya yang tidak pernah melewatkan acara televisi dan selalu mengeluh saat membaca.
"Maaf Ryn. Aku tahu menganggumu saat membaca buku adalah hal yang sangat mengerikan. Atau mungkin mengganggumu saat kau sedang tidur atau sedang melamun. Tapi ini darurat. Aku bersumpah aku tidak akan menganggumu lagi."
"Tenang saja. Permintaan maaf diterima. Aku akan kembali ke sini nanti setelah menjelaskan materi," jawab Ryn sambil memutar bola mata.
"Terima kasih Ryn," jawab Irene sambil nyengir lebar dan segera menaiki sapu terbangnya menuju kamar.
Ryn menyusul sedetik setelah Irene terbang dengan sapu tebangnya, bersama Rara tentunya. Ia mempercepat laju terbangnya dan menyejajarkan sapu terbangnya dengan Irene. Tidak sampai lima menit, mereka sudah berhasil sampai di depan kamar dengan napas terengah.
"Oke ... menyaingimu dalam segala hal adalah ide buruk. Bisakah kau jelaskan ini?"
Ryn hanya mengangguk sebagai balasannya. Ia membaca sekilas judul buku yang sedari tadi diributkan Irene.
Four Dimensions
Ryn mengerutkan kening saat melihat judul buku tersebut. Apa yang perlu dipertanyakan? Tapi Ryn segera membuang pikiran tersebut jauh-jauh dan fokus membaca kilat buku tersebut lalu menjadi guru super cerewet dalam jangka lama untuk mengajarkan beberapa materi pada Irene, si gadis pecinta televisi.
"Materinya tidak susah Rene. Buku ini menjelaskan tentang pembagian dunia ini, yang terdiri dari empat dimensi. Dimensi manusia sebagai makhluk murni tanpa kekuatan, dimensi sihir sebagai makhluk yang memiliki empat macam cahaya berbeda, dimensi peri yang tidak jelas asal-usulnya, dan dimensi iblis dan malaikat yang selalu terbagi menjadi dua, kekuatan hitam dan kekuatan putih."
Irene mengangguk paham agar Ryn bisa melanjutkan penjelasan berikutnya.
"Kita pelajari tentang dimensi manusia dulu. Disana mereka benar-benar sebagai makhluk yang tidak memiliki kekuatan dan sihir sama sekali. Kau mengerti 'kan? Bagaimana rasanya hidup di dimensi manusia? Sangat tenang dan berbanding terbalik dengan keadaan di sini."
"Lalu ada dimensi para peri. Mereka merupakan dimensi yang tertutup dan suka merawat dimensi mereka sendiri tanpa khawatir dengan hancurnya portal antar dimensi akibat keseimbangan dunia yang sudah tidsk seimbang lagi. Mereka cenderung hidup mandiri dan tak pernah bekerja sama dengan dimensi lainnya. Mereka bahkan dianggap tidak ada."
"Setelah itu, ada dimensi sihir yang berhubungan dengan dimensi malaikat dan iblis."
"Tunggu! Kau bilang tadi hanya ada empat macam cahaya saja di dimensi sihir. Bukannya ada cahaya hitam?" tanya Irene bingung.
"Menurut penjelasan di buku ini, cahaya hitam ada karena perpaduan dari semua cahaya yang kita miliki dengan kekuatan hitam iblis. Iblis pernah diajak bekerja sama oleh Dark Knight, penyihir-penyihir yang tidak setuju dengan sistem pemilihan Guardians, dan beberapa penyihir lainnya sehingga terbentuklah Dark Knight dan White Witch yang dianggap rawan dalam menyebabkan runtuhnya keseimbangan dunia."
"Berarti, jika kita akan berperang tidak lama setelah ini, itu artinya keseimbangan dunia sedang terancam?"
"Betul sekali."
Tok tok tok!
Mendengar suara pintu di ketuk, Ryn dan Irene menoleh dengan reflek kearah pintu. Ryn memutuskan untuk bangkit berdiri dan membuka pintu.
Dengan raut wajah bingung, ia membuka pintu dengan pelan dan berhati-hati. Jarang sekali ada orang yang berkunjung kekamar mereka, apalagi sampai mengetik pintu seperti ini.
Yah, kalau Tiffany, Netta, atau Kayla tidak pernah mengetuk pintu, mereka pasti langsung masuk atau berteriak memanggil nama mereka.
Namun, perkiraannya salah total.
"Siapa?" tanya Irene penasaran, karena ia melihat Ryn mematung di depan pintu.
"Siapa Ryn?"
"Tiffany."
Irene ikut ikutan bingung dan segera berlari menuju pintu. Tidak biasanya Tiffany datang sambil mengetuk pintu.
"Aku ingin berbicara dengan Ryn," kata Tiffany memecah keheningan.
"Aku? Bukannya kita sekarang bicara?"
"Di ruang Leonore. Pembicaraan formal," jawab Tiffany tegas.
"Baiklah," jawab Ryn menyetujui lalu mengambil sapu terbangnya.
Ia menoleh sebentar pada Irene yang masih memasang wajah bingung itu dan berkata, "Aku ada panggilan. Nanti kita lanjutkan."
Irene hanya bisa mengangguk kaku dan melihat kedua temannya itu terbang menjauh darinya.
***
Dengan perasaan campur aduk, Ryn sedikit gugup dengan adanya pertemuan formal ini. Ia mengikuti Tiffany tanpa bicara sama sekali. Hening dan canggung, begitu suasana yang ia rasakan hingga tanpa sadar, ia ikut merinding tanpa sebab yang jelas. Firasatnya memang mengatakan akan terjadi hal buruk, tapi ia tidak tahu apa itu. Jadi, ia memutuskan untuk tetap diam dan membuang jauh-jauh pikirannya.
Dengan jantung berdebar, ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan setelah menyimpan sapunya di magic bag.
Matanya mulai mengawasi siapa saja yang menghadiri pertemuan ini.
Ia terbelalak kaget, saat melihat beberapa orang yang menghadiri pembicaraan ini.
"A- ada apa ini?"
************************************
Published : 5 januari 2018
Revisioned : 24 Agustus 2018
Hi my lovely readers ^^
Rina mau minta maaf karena mulai hari ini jadwal update kembali seperti semula.
Maaf.. karena menurutku aku sendiri gak mampu untuk update dua kali seminggu karena beberapa hal, termasuk statusku yang sudah kelas 9 ini..
Mohon dimaklumi dan dimaafkan yahh..
Oh ya! Terimakasih untuk vote dan komennya dan terimakasih karena kalian masih setia nunggu cerita ini walaupun cerita ini gajelas (?)
Ok.. segitu aja.. see you next week
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top