1

"Ryn! Butuh berapa kali aku harus membangunkanmu? Ini sudah jam enam pagi. Seharusnya kau sudah berangkat!"
Samar-samar, kudengar suara yang tidak asing berteriak memanggil namaku.

"Euh ... memangnya buat apa bangun pagi?" tanyaku bingung sambil mengucek mata.

"Kau lupa hari ini hari apa ya? Sebaiknya kau segera membuka mata dan lihat jam dindingmu itu!" teriaknya lagi. Kini aku tahu siapa yang berteriak, dia saudaraku, Kezia.

Spontan, aku melihat jam dinding yang ada di kamarku.
Aku melotot saat menyadari jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Bagaimana aku bisa melupakannya?

Padahal hari ini, adalah hari penting untukku. Dan tentunya, sangat dilarang bagi siswa baru datang terlambat di hari pertama sekolah.

Tanpa kuhiraukan keberadaan Kezia yang sedang menatapku kesal, aku segera menuju kamar mandi dan mandi dengan tergesa-gesa.

"Kalau saja aku tidak disuruh mama untuk membangunkanmu, aku tak akan pernah mau membangunkanmu lagi. Sudah dibangunin tidak bilang terima kasih--" Kudengar Kezia sedang mendumal kesal.

Aku hanya mengendikkan bahu tidak peduli. Kezia memang anggota keluargaku yang paling cerewet dan sering mengomel. Kalau ada satu hal saja yang kulewatkan, sudah pasti anak itu yang menjadi alarm pengingatku, bahkan tanpa kuminta sama sekali.

Setelah sepuluh menit lamanya, aku berhasil menyelesaikan acara membersihkan diri  lengkap dengan seragam sekolah menengah pertamaku. 

Aku mengamati seragam sekolahku sambil merapikan rambut hitamku. Kemeja putih lengan panjang dengan dasi berbentuk pita berwarna biru tua dan rok biru tua dengan garis hitam bermotif kotak-kotak selutut kurasa cukup untuk dibilang keren, untuk ukuran seragam sekolah swasta ternama yang ada di kotaku.

Sudah rapi rupanya. Kupandangi diriku untuk terakhir kalinya dan segera melepaskan pandanganku dari cermin.

Aku segera turun untuk sarapan pagi dan menyapa mama, papa, dan Kezia yang sudah menungguku di ruang makan.

"Selamat pagi semuanya," sapaku sambil mengambil roti isi selai coklat dan memakannya dengan kilat.

"Kau itu keterlaluan sekali. Rupanya kebiasaan bangun siangmu itu tidak ada habisnya ya," sahut Kezia di sela-sela kegiatan makannya.

"Sebaiknya kau perhatikan dirimu sendiri daripada kau menceramahiku layaknya anak kecil," jawabku tak mau kalah.

Baru saja Kezia ingin menjawab lagi tapi mama sudah menyela,
"Sudah sudah. Segera habiskan sarapan kalian dan berangkat ke sekolah."

Kami semua pun terdiam. Aku melirik jam yang saat ini menunjukkan angka setengah tujuh kurang lima menit.
Tanpa berkata apa-apa lagi aku segera meneguk air putih dan berpamitan pada mama dan papa.

Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya. Udaranya sangat segar, dan selamat datang awal tahun ajaran baru di musim semi! Beginilah rasanya menyambut awal tahun ajaran baru di sekolah baru.

Yap, hari ini aku mulai bersekolah di sekolah menengah pertama sebagai siswa baru yang cukup beruntung karena bisa diterima di sekolah ternama di pusat kota. Meski dari taman kanak-kanak hingga sekolah dasar aku sudah bersekolah di sana, tetap saja, jika ingin melanjutkan sekolah di sana tetap memerlukan hasil rapor yang baik serta beberapa persyaratan khusus lainnya. Yah, sudah kubilang kan? Aku beruntung.

Aku berlari menuju halte bus karena aku tidak ingin terlambat di hari pertamaku sekolah, apalagi aku tergolong anak rajin yang malas bangun pagi. Lupakan fakta bahwa aku susah dibangunkan,  aku benar benar rajin, kecuali dalam hal tidur.

Syukurlah aku tidak ketinggalan bus. Sambil mengatur napas, kucari tempat duduk kosong sambil kembali melihat jam tanganku. Pukul setengah tujuh.  Aku beruntung, mulai dari sini, aku tidak perlu mengkhawatirkan diri lagi.

Setelah bus berhenti, aku berjalan bersama siswa lainnya ke arah mading. Dengan sekali lihat, aku berhasil menemukan namaku terpampang diantara puluhan nama lainnya. Segera saja kulangkahkan kakiku meninggalkan kerumunan dan mulai memasuki kelas baruku. 

Kulihat gadis dengan rambut berwarna dirty blonde, satu-satunya teman yang kupunya, melambaikan tangannya padaku sambil memberi isyarat bahwa bangku di sebelahnya masih kosong.

Aku pun tersenyum simpul padanya sambil duduk di bangku yang ditunjuknya. Bertepatan dengan itu, bel masuk berbunyi.

***

Miss Clara memasuki kelas, dan seperti biasa, beliau menyuruh siswa baru untuk memperkenalkan diri.

"Kenalkan, nama saya Catherine. Bisa dipanggil Ryn," ucapku memperkenalkan diri di depan kelas lalu berjalan kembali ke tempat dudukku.

Begitulah acara perkenalan yang super membosankan ini.

"Ryn, kau mau ikut ekskul apa kali ini?" tanya Silvi, satu-satunya gadis populer yang memilih untuk berteman denganku.

"Untuk apa? Sepertinya aku tidak memerlukannya," balasku jujur.

"Kuharap kamu mau bersosialisasi kali ini. Kamu memiliki bakat menari kan? Sebagai contoh, kau pandai dalam bidang menari. Aku pernah melihatmu menari. Padahal kau memiliki potensi, sayang tidak dikembangkan."

Aku sudah mengira Silvi akan mengatakan hal seperti ini. Ia memang keras kepala dan aku cukup muak dengan sikapnya ini. Tapi mau bagaimana lagi? Di saat mereka menjauhiku, Silvi malah datang dan tersenyum padaku. Ia memberi harapan, dan kuharap dia tidak akan mengingkarinya suatu saat nanti.

"Aku tidak ingin. Menari hanya sebuah hobi. Tidak ada yang perlu ditambah dan dikurangi."

"Ayolah, sekali-sekali kau harus berkenalan dengan orang lain. Jangan cuek kepada orang lain seperti ini. Aku yakin mereka pasti menyukaimu." Walau sudah seperti ini, bujukannya tidak akan pernah bisa merubah keputusanku. Ingin rasanya aku meminta maaf padanya lalu menyuruhnya untuk diam dan tidak mencampuri urusanku lagi.

Ah, aku juga belum menjelaskan betapa berbakatnya gadis bernama Silvi ini. Sudah menjadi hal yang wajar jika ia menghiburku dengan cara seperti ini. Silvi seringkali menjadi model iklan dan bintang film layar lebar. Bakatnya dalam bidang akting tidak bisa diragukan lagi. Jika dibandingkan dengannya, aku tidak ada apa-apanya.

"Memiliki kegiatan selain belajar itu menyenangkan. Kau yakin tidak mau mendaftar?"

Mendengar ucapannya yang terkesan memaksa itu membuatku membuang muka, enggan menatapnya lagi.

Aku memang sulit untuk bersosialisasi. Bahkan mereka membenciku hanya karena sifatku. Hanya saja, aku merasa hal seperti itu tidak akan berpengaruh terhadapku.  Tidak dirugikan dan tidak diuntungkan. Mungkin aku memang menginginkan sesosok teman yang bisa diajak bermain bersama, tapi itu tak perlu. Tak perlu, selama aku masih bisa hidup seorang diri. Dan aku cukup bersyukur, ada seorang gadis yang mau berteman denganku.

Pertemanan kami bahkan hanyalah sebuah pertemanan biasa, tanpa ada hal lebih seperti kebanyakan mereka lakukan. Saling membeberkan rahasia dan memberitahu apa masalah yang mereka hadapi. Aku menanti, sampai kapan aku bertahan dengannya dan apakah pertemanan kami bisa berlanjut sampai nanti.

"Ryn."

"Ya?"

Silvi tampak ragu ragu tapi pada akhirnya dia bertanya, "Ryn ... Apa susahnya sih mencari teman?"

"Aku tidak butuh dan mereka tidak butuh. Sudah jelas kan? Tidak perlu bertanya lagi."

***
Seperti biasanya, aku menyantap mi ayam favoritku bersama Silvi yang sibuk mengoceh. Ia bercerita panjang lebar tentang teman baru yang baru saja dikenalnya, dan berniat untuk memperkenalkannya padaku.

"Kalian sama-sama pendiam. Ia juga anak baru. Kalau kau berteman dengannya, mungkin bisa menjadi awal yang bagus untuk kita bertiga," ujarnya yang hanya kubalas dengan helaan napas pasrah.

Apa pun yang ingin ia lakukan, tidak bisa kucegah meski aku tidak suka dihadapkan oleh orang asing dan disuruh untuk berkenalan dengannya. Ayolah, aku bukan anak kecil.

"Itu anaknya ... Tiffany!" teriaknya sambil melambai-lambaikan tangannya antusias.

Aku merasakan ada langkah kaki berjalan mendekat. Rupanya Tiffany akan bergabung dengan kami.

"Ayo Ryn, sambut dia. Ini Tiffany, siswa baru yang baru saja kuceritakan padamu."

Aku hanya mengangguk sekilas sambil terus memakan mi ayamku yang kali ini agak hambar. Rupanya bibi Arumi kurang memberi garam pada kaldunya.

Tiffany tampak tersenyum dan memilih duduk di sebelah Silvi, tepat di depanku.

Silvi memang mengesalkan, batinku kesal. Aku tahu ini ulahnya, ia pasti menggeser posisi duduknya dan menyuruh anak baru itu duduk di hadapanku.

Mau tidak mau, akhirnya aku mendongakkan kepalaku untuk melihat Tiffany, aku nyaris terjungkal dari tempat dudukku saat ini dan hampir saja tersedak mi ayam tercintaku.

Apa ini mimpi?
Aku berusaha untuk mencubit tanganku dan berharap hasilnya tidak sakit. Tapi apa yang kubayangkan tidak sesuai dengan kenyataannya.

"Ryn? Apa kamu tidak papa? Wajahmu pucat sekali," tanya Silvi khawatir.

"Aku tidak apa-apa," balasku cepat.

Tapi ada yang aneh, selama ini aku tidak pernah salah mengingat, bahkan aku berani bertaruh, aku bukan tipe anak yang pelupa.

"Salam kenal ya, aku Tiffany," ujarnya sambil tersenyum.

"Namaku Catherine. Bisa dipanggil Ryn," jawabku pelan sambil menjabat tangannya ragu-ragu.

Ah mungkin hanya perasaanku saja. Aku memilih untuk melanjutkan acara memakan mi ayam daripada memikirkannya. Mungkin ini hanya kebetulan, mungkin dia memang mirip.

Tapi sekeras apapun aku tidak ingin memikirkannya, pikiranku terus tertuju dengan hal yang sama.
"Apa apaan ini ... bagaimana bisa ?"

Magic Notes :

Catherine :

Black hair
Blue eyes
153 cm
13 years old

Silvi :
Dirty blonde hair
Brown eyes
160 cm
13 years old

************************************

Published : 4 oktober 2017
Revisioned : 28 Juli 2018

Halo semua, Rina udah revisi chap 1 dari POM series 1. Menurut kalian gimana? Tidak sepenuhnya berubah kan?

***

Haii..

makasih bagi yang sudah baca. Bagi yang sudah berbaik hati baca cerita ini, jangan lupa vote dan comment nya.

oh ya!

Gimana ceritanya?

Membosankan? Menarik? Atau gimana?

Ditunggu komentarnya ya!

~Rina~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top