12

Hari-hari penyesuaian itu dilaluinya dengan baik. Teman sekamarnya juga membuatnya tampak nyaman. Maksudku, mereka cepat berbaur dengan yang lainnya. Sebagian hatiku merasa lega, sebagiannya lagi tidak.

Aku menggelengkan kepalaku. Apa yang kupikirkan? Seharusnya aku tidak selemah ini. Bukankah sedari awal, aku memang ditakdirkan jadi musuhnya?

Langkah kakiku terhenti saat melihat seseorang yang mirip dengannya mengenakan baju tidur berjalan ke arah taman belakang.

Instingku mengatakan bahwa ia adalah Ryn dan dengan secepat kilat kakiku berlari menghampirinya. Tapi sejurus kemudian, aku teringat, bahwa aku bukan lagi temannya.

Rasanya tidak bisa kudefinisikan. Aku bingung, bagaimana caranya hntuk menceritakan perasaanku sendiri.

Dan karena itulah, untuk kesekian kalinya aku tidak dapat mengontrol kekuatanku sendiri.

Karena banyaknya awan berkumpul juga langit tengah malam yang tampak begitu gelap, kekuatan Controllerku yang tiba-tiba saja aktif karena perubahan emosi yang signifikan, membuat badai tercipta dalam hitungan detik.

Aku yang turut diguyur derasnya hujan terperanjat kaget saat menyaksikan betapa ketakutannya Ryn saat terkena tetesan air hujan.

Aku kembali mengutuk diriku dan berlari sejauh yang aku bisa demi tidak melihatnya tersiksa.

Dan beruntung, aku bertemu dengan seseorang yang bisa menolongnya. Karena aku dan dia masih berada di koridor sekitar taman tersebut, tidak begitu sulit bagiku untuk menyusun skenario dadakan untuk menolong Ryn.

Aku memfokuskan pikiranku dan mencoba untuk mengalirkan energi sihir dalam jumlah besar. sejurus kemudian, aku berhasil membuatnya terjatuh cukup jauh dan terguyur air hujan.

Aku sendiri meringis dan merasa bersalah saat melihatnya terjatuh. Tapi aku tidak punya pilihan lain.

Dan sesuai dengan dugaanku, lelaki tersebut menghampiri Ryn yang ketakutan saat itu.

Aku tak henti-hentinya bersyukur dan segera berlalu pergi, sebelum lelaki itu curiga denganku.

Dalam keadaan basah kuyup, aku membuka pintu kamarku dengan hati-hati. Baru saja aku akan mengatakannya, Tata sudah membuatku terjatuh akibat tendangan mautnya.

"Dari mana saja kau? Membuat masalah lagi? Menguntit anak baru itu?"

Aku balas menjatuhkannya dengan kekuatanku.

"Apa urusanmu? Kau bahkan tak lebih baik dari pada sampah!" cetusku kesal seraya membanting pintu.

Tata hanya memelototiku. Sedari awal, aku memang mengancamnya dan memanfaatkannya. Tak heran, jika ia membenciku seperti ini.

"Aku tidak peduli! Suatu saat, aku akan menemukan kebebasanku dan anak itu yang akan mengalahkan keangkuhanmu!"

"Coba saja jika kau berani. Yah, kalau kau tak sayang dengan nyawa ibumu sih, tidak apa-apa," bisikku pelan sambil menyeringai, lantas meninggalkannya yang terdiam merutuki kata-kataku.

Aku segera mengganti pakaianku dan menghempaskan diri di atas kasur. Masa bodoh dengan Tata yang masih mengucap sumpah serapah atas namaku yang tak henti-hentinya ia ucapkan sedari tadi.

"Luna!"

Aku pura-pura tak mendengarkan panggilan Medusa. Aku senang karena dia menghubungiku lagi. Tapi aku sudah muak karena ia selalu membicarakan tentang misi dan apa saja yang harus kulakukan selanjutnya. Tak pernah bertanya apakah aku baik-baik saja atau sedang sedih atau apalah. Ia tidak seperti dulu yang selalu memberi perhatian padaku.

"Luna, apa kau baik-baik saja?"

Aku mendengus. "Jangan membaca isi pikiranku lagi. Aku tidak suka."

"Lalu aku harus bagaimana? Kau ingin aku seperti apa?"

"Aku benci ayah. Aku berjanji akan menyelamatkanmu jadi kau tak perlu mengoceh tentang misi yang tidak penting itu lagi dan kau akan hidup bahagia tanpa memikirkan ancaman ayah. Kau juga tak lagi menyusahkanku dengan misi--"

"Luna, maafkan aku. Kuharap kau mengerti. Hanya beberapa hal yang harus kau tahu. Beberapa penyihir yang ada di akademi dulunya adalah teman masa kecil Ryn sebelum dia kehilangan ingatan. Aku berharap kau bisa berhati-hati dengan mereka."

Mataku membulat sempurna saat mendengar deretan nama yang disebutkan oleh Medusa sebelum ia mengakhiri sambungan komunikasi antara kami.

Sial! Aku harus menghindari beberapa anak itu dan berhati-hati lagi untuk mengawasi Ryn. Aku tidak menyangka drama ini akan semakin rumit.

Aku menenggelamkan wajahku ke bantal dan mengumpat kesal.

Kapan drama ini akan berakhir?!

***

"Apa?! Secepat itu?!"

Tata mengendikkan kedua bahunya seraya tersenyum sinis.

"Sudah kubilang, kan? Dia anak yang spesial. Bahkan setelah kau buat ketakutan setengah mati seperti itu, kekuatannya malah muncul. Sungguh malang nasibmu, Lunaria."

Aku menggeram kesal. Mulut bocah pirang ini memang menjengkelkan. Kalau bisa, ingin kusumpal mulutnya agar ia tak perlu mengatakan fakta yang bahkan sudah kuketahui.

Sambil tertawa keras, Tata pergi keluar kamar, diikuti oleh bantingan pintu yang selalu menjadi kebiasaanya sewaktu menutup pintu kamar--jika ada aku di sana.

Aku merenung sambil menatap kosong keluar jendela.

Senyumku merekah bersamaan dengan turunnya tetes-tetes air mata hina.

Ryn belajar dengan cepat dan sihir yang didapatnya adalah sihir yang spesial. Meresahkan, kenapa pula harus dia?

Kenapa pula harus aku, yang jadi tokoh antagonisnya?

Pertanyaan dan keluhan penuh penyesalan itu terus berputar di benakku. Bukan salahku pula jika aku mengutuk dan menghujat sang pembuat takdir kejam ini.

Sudah kejam, hidup penuh drama, drama yang buruk pula.

Tolong, aku juga manusia dan sama sepertinya, kan?

***

Hari-hari berikutnya, terasa begitu lamban. Aku mengurangi jadwal untuk mengikutinya semenjak Ryn didapuk sebagai murid tercepat yang menguasai  pelajaran sihir.

Tapi karena itu, aku justru menampakkan diri di hadapannya. Ia tak mengenaliku dan itu membuatku sedikit merasa aneh.

Tapi aku harus membiasakan diri. Karena aku muncul bukan sebagai temannya, namun sebagai lawannya. Ironis sekali, tapi begitulah keadaannya.

Langkahku terhenti di depan pintu ruangan latihan. Sambil menghela napas aku mulai memasuki ruangan tersebut dan melasanakan rutinitas untuk melatih kekuatan sihir. Beruntung, aku mendapat akses untuk latihan di ruangan pribadi ini  sebagai hadiah saat aku menjadi penguasa sihir tercepat di akademi, sebelum ada Ryn tentunya.

Aku menyalakan mesin yang didesain untuk menyerang target--aku-- karena setiap harinya aku lebih sering berlatih sendiri dengan mesin ini, ketimbang dengan benda hidup atau pengajar akademi.

Mesin itu berdesing dan puluhan robot penyerang berbaris dan bersiap untuk menyerang.

Aku mengubah benda-benda kecil yang ada di sekitarku sebagai alat untuk menyerang target tersebut.

Beragam kekuatan sihir dilepaskan oleh masing-masing robot. Kutepis pula satu persatu dengan sebilah pedang, yang tadinya berasal dari sebuah lidi yang kebetulan tergeletak di lantai.

Kutebas satu persatu target sebelum kekuatan sihir itu berani menyentuhku.

Puing-puing robot yang baru saja kutebas kuubah menjadi pisau kecil nan tajam dan mengarahkannya ke target lain hingga hancur tak bersisa.

Senyumku merekah walau hanya sedikit.

"Ryn. Bukan hanya kamu yang spesial. Tapi anak menyedihkan ini, juga punya sesuatu yang spesial dalam dirinya."

************************************
Published : 12 April 2020

Hai semuanya ~

Rina kembali bagai bangkit dari kubur...

wow rupanya sudah setahun setelah Rina terakhir update //pura pura gak liat

Sudah lama kutelantarkan cerita ini, tapi aku memutuskan untuk kembali menulis dan melawan kemalasan :"

Semoga kalian suka dan tidak kecewa :"

Dan rasanya banyak sekali time skipnya karena yah... mulai chapter ini dan seterusnya bakalan bersinggungan dengan POM jadi aku harus menyesuaikannya dengan baik.

Ngomong-ngomong, stay safe semuanya. Semoga kita terus diberi kesehatan sampai badai corona ini berakhir.

See you~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top