11

Mulai hari ini, aku dapat hidup lebih tenang daripada biasanya.

Memanfaatkan isu panas tentang banyaknya manusia hilang yang sedang beredar luas, aku tidak akan lagi kembali ke sana untuk sementara waktu. Karena banyak penyihir yang tinggal di dimensi manusia dibawa kembali ke dimensi sihir, otomatis aku juga bisa mengelabui diriku menjadi salah satu dari mereka.

Dengan ini, peranku di dimensi manusia sudah selesai. Hanya perlu fokus mengawasi  Ryn sekaligus memainkan peranku di dimensi sihir dengan baik.

Selang beberapa jam setelah aku menyelesaikan kelas sihir, aku mendapat kabar bahwa banyak penyihir baru yang datang menjadi murid baru di akademi. Senyumku langsung merekah, apalagi saat mencuri dengar bahwa Ryn ada dalam rombongan murid baru akademi.

Tapi, senyumku segera surut karena keadaan sudah berbeda. Di dimensi sihir, aku bukan temannya.

Melainkan, musuhnya.

Ada rasa yang mengganjal di dalam hati, tapi aku tak bisa mengikuti kemauanku sendiri. Aku harus menyelamatkan Medusa dengan melakukan apa yang ayah mau. Meski kabarnya ayah sudah tiada, perintah atau wasiat itu membuatku terpaksa melakukan hal ini.

Hal buruk dan busuk ini.

Demi apa pun. Aku membenci ayah. Tapi, aku tak bisa melakukannya. Sebenci apa pun aku, ada sebagian diriku yang menolak.

Bagaimana pun juga... tanpa ayah, aku tak akan ada di dunia ini.

Lalu, sebenarnya siapa yang salah di sini?

***

"Luna, kemampuan sihirmu meningkat. Sebentar lagi kau bisa lulus. Saya harap kau bisa mempertahankan semangat berlatihmu," tutup miss Phina.

Aku hanya bisa merenung sambil menggenggam sebilah pedang logam. Miss Phina sudah meninggalkanku di tengah ruang terbuka, yang baru saja kami gunakan untuk berlatih sihir.

kesiur angin menerbangkan rambutku. Membuatku merasa sedikit tenang, atas rasa takut yang baru-baru ini datang.

Entah kenapa, kedatangan Ryn di dimensi sihir membuat rasa takut hinggap dalam hatiku.

Berbagai macam pertanyaan berkerumun dalam pikiranku.

Bagaimana jika Ryn membenciku?

Oh jawabannya sudah jelas, itu pasti.

Bagaimana jika aku lupa bahwa ia musuhku?

Mungkin ada suatu saat aku akan berbuat kesalahan di masa depan. Ketika, hatiku nulai goyah akan misi busuk yang sedang kulakukan.

Bagaimana jika aku berhasil melaksanakan misiku?

Pertanyaan ini, membuatku takut.

Tak terasa, air mataku menggenang.

Siapa yang harus kurelakan?

Jika misiku selesai, itu artinya aku bisa menyelamatkan Medusa.

Jika misiku tidak selesai, itu artinya aku akan meregang nyawa.

Tapi, jika misiku selesai, itu artinya aku bisa kehilangan Ryn, seorang gadis yang telah menganggapku sebagai teman.

Jika misiku tidak selesai, itu artinya aku bisa melihat si gadis salju menggenggam impiannya.

Jalan mana yang akan kupilih?

"Luna! Kau tidak apa-apa?"

Seseorang mengguncang tubuhku hingga lamunanku buyar.

"Eh? Kenapa?"

"Kau menangis?"

Buru-buru aku menghapus air mataku dan menatapnya dengan wajah sedatar mungkin.

"Apa?"

Aku ingin mengutuk diriku, atas pertanyaan bodoh barusan.

Tata melipat tangannya di depan dada.

"Seharusnya aku yang bertanya padamu. Bukankah latihanmu sudah selesai? Mengapa kau masih berdiam diri di sini? Sambil menangis tidak jelas--"

"Cukup! Katakan saja apa yang ingin kau sampaikan. Kau tak perlu ikut campur atas apa yang aku perbuat," potongku dengan nada tinggi.

Tata mengatupkan bibirnya lalu menunduk.

"Kalau aku mau, aku tidak ingin bertemu denganmu. Leonore memanggilmu, jadi jangan salah kira dulu."

Setelah mengatakan itu, Tata beranjak pergi dengan terburu-buru.

Aku dapat memakluminya. Ia pasti takut padaku. Itu hal yang wajar. Karena tak hanya ia, tapi hampir seluruh murid akademi lainnya takut padaku.

Air mataku kembali turun. Tidak adakah hidup yang lebih baik dari sekadar memainkan peran antagonis?

Hidupku ini memang mengerikan.

***

"Karena banyak murid baru di akademi dan kemampuan sihirmu meningkat, saya memutuskan untuk meluluskanmu. Jal ini bergantung pada kondisi para pengajar akademi."

Aku hanya mengangguk sebagai respon.

"Ada kemungkinan pula, kau akan menjadi pengajar di akademi ini. Karena, kami kekurangan pengajar pada kelas sihir tingkat tiga sampai lima."

"Kalau itu sebuah tawaran, saya minta maaf. Karena saya tidak ingin menerima tawaran tersebut."

Leonore tersenyum. "Tidak apa. Kau bisa menikmati masa liburmu kalau kau tidak mau menjadi pengajar."

"Saya menghargai itu."

"Kalau begitu baiklah... saya belum bisa memastikan, apakah kami benar-benar harus menggunakan bantuanmu sebagai pengajar atau tidak. Tapi itu kembali pada keputusanmu."

"Terima kasih Leonore. Mengenai kedua tawaran tersebut, saya lebih memilih untuk tidak menjadi pengajar dan memilih untuk berlibur," ucapku tegas.

Leonore mengangguk. "Baiklah. Keputusanmu adalah yang terbaik bagi kami. Kau boleh kembali."

Aku mengucapkan terima kasih seraya berjalan keluar dari ruangan Leonore.

Saat decitan suara pintu berakhir tanda bahwa pintu tersebut telah tertutup sempurna. Aku menghela napas lega dan tersenyum lebar. Aku sudah lulus! Dengan begini bebanku akan berkurang sedikit demi sedikit. Namun, langkah kakiku terhenti kala sepasang mataku melihat Ryn berjalan seorang diri di sepanjang koridor.

Aku ingin menghampiri dan bertanya ke mana ia akan pergi, tapi sesuatu dalam dirinya memperingatkannya.

Ingat, kau bukan lagi seorang Silvi. Kau Luna, musuhnya.

Bisikku pada diriku sendiri. Entah kenapa, hal itu justru membuatku semakin resah juga merasa sedih.

Kuputuskan untuk mengambil jubahku agar tidak dikenali oleh murid lainnya. Sekali saja mungkin tidak apa, aku mengikutinya.

Ryn adalah anak yang ceroboh. Hal buruk bisa saja terjadi di hari pertamanya berada di dimensi sihir ini.

Dan benar saja, entah ia melamun atau sengaja, ia jatuh terduduk sehabis menubruk seorang lelaki.

Ia buru-buru berdiri dan aku dapat mendengarnya mengucap kata maaf.
Setelah insiden itu, ia duduk sendiri di bangku taman di temani cahaya bintang.

Lagi-lagi, aku menahan diriku untuk tidak duduk di sebelahnya.

Ia merenung, tapi sepertinya ia tak melakukan hal itu. Ekspresinya berubah sedih. Dan dari situ, aku mengerti apa yang sedang ia pikirkan.

Namun tak lama, seseorang datang dan duduk di sebelahnya. Membuatku terkejut, namun berusaha menerima kenyataan.

Senyumku mengembang. Ia sudah tidak sendiri. Dalam hati aku menertawai kebodohanku.

Buat apa aku repot-repot khawatir pada musuhku sendiri?

***

Baguslah, ia sudah menemukan teman baru.

Setidaknya, ia tidak akan mengkhianatimu sepertiku.

Baguslah, karena ia tulus padamu.

Tidak sepertiku, yang hanya bermain di balik topeng palsu.

***********************************
Published : 19 April 2019

Hai semuanya \(^^)/

Rina comeback nih.

Setelah beberapa minggu tidak update.

Hehe semoga suka dengan ceritanya ya. Karena ini sudah masuk scene yang sama dengan chapter awal POM series 1.

Semoga kalian tidak bosan dan bisa berpikir dua kali sebelum membenci tokoh antagonis POM, Luna.

Sampai jumpa minggu depan.

Rina cinta kalian ♥

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top