31. Third Wheel

Jen mematung seraya memaku pandangan ke luar jendela Mclaren yang sedang ia tumpangi. Semua terasa ganjil; lelaki yang sedang bersama dengannya bukan lelaki yang semula ia kenal, ini begitu asing, canggung, dan tak nyata.

Boy dalam ingatannya adalah lelaki humoris dan yang sederhana. Jangankan supercar; mengendarai astrea butut saja — Boy masih belum lancar.

Tapi bukankah Jen sangat bodoh?

Tertipu begitu mudah dengan segala dusta dan akting Boy yang manis. Seharusnya Booyah Park berganti profesi menjadi seorang aktor, bukan pebisnis.

"Maaf, Pak Park, Anda bisa turunkan saya di situ." Jen menunjuk ke sisi trotoar.

Boy seolah tuli. Ia enggan memperlambat laju kendaraan, apa lagi berniat menepi.

"Pak Park!" sentak Jen yang tak dipenuhi keinginannya.

Boy mendecih. "Memang kamu mau ke mana? Kamu tidak punya siapa pun."

"Bukan urusan, Bapak, kan?" sahut Jen membuang muka.

"Berhenti memanggilku 'Bapak' atau 'Pak Park', Jen!" sungut Boy kesal. "Aku Boy."

"Bukankah Booyah Park memang namamu, huh!" pelotot Jen tak kalah garang.

Boy menghela napas panjang. "Dengarkan aku Jen — kali ini dengarkan aku dulu," katanya. "Namaku memang Booyah Park dan mereka semua memanggilku 'Boy'. Bobby Marvin juga namaku, Bobby Marvin Park. Nama lahir yang diberikan oleh ibuku. Namun ketika orang tuaku bercerai, ayah mengganti namaku menjadi Booyah Park."

Jen membisu. Ia berlagak seolah tak peduli, padahal rungu wanita itu menajam - mendengarkan dengan saksama.

Boy kembali melanjutkan, "Ada banyak hal yang tidak diketahui oleh publik tentang keluargaku. Keluarga Park," ungkapnya. "Suatu praktik yang dijalankan cukup lama dalam keluarga Park. Hal yang diwarisi oleh mendiang kakekku secara turun-temurun."

"Aku tidak peduli." Jen mendengkus.

Boy melirik Jen sekelibat. Lalu tersenyum tipis karena wanita itu sama sekali belum berubah — keras kepala. Boy tahu betul Jen mendengar, ia hanya sedang mempertahankan harga diri. Bukankah sejak semula julukan wanita itu memang Miss Gengsi Donk?

"Pernikahan kami semua diatur oleh keluarga. Dan segera setelah menikah, kami akan mendapatkan posisi dalam perusahaan. Kami diwajibkan menerima perjodohan dengan kompensasi istimewa. Sesuatu yang ditentang oleh conventional marriage mana pun. Sesuatu yang semula kutentang mati-matian," ujar Boy. "Sesuatu yang membuatku benci terlahir sebagai bagian dari keluarga Park."

Jen menoleh dan menatap Boy lamat-lamat.

Boy menelan saliva. "Baik pernikahan kedua orang tuaku, pernikahan Kak Vincent, dan semua saudara-saudaraku adalah praktik open relationship," jelasnya.

"A-apa?" tanya Jen.

"Pernikahan di mana kami boleh memiliki hubungan dengan orang lain di luar pasangan sah. Asalkan tetap menomor-satukan keluarga inti kami. Keluarga Park menentang perceraian, tetapi melegalkan hubungan terbuka. Oleh karena itu sebelum menikah, kami wajib menandatangani perjanjian pra-nikah. Salah satu poinnya adalah pihak yang menuntut bercerai akan kehilangan seluruh hak akan harta yang ia miliki," terang Boy. "Pernikahan kami adalah pernikahan bisnis, Jen. Di mana saat kami menikah, bukan hanya dua keluarga yang bersatu, tetapi juga dua perusahaan besar."

"Kamu tahu, Boy?" sahut Jen. "I don't care with your fuckin family history! Fakta akan hal itu tak membuatku bersimpati padamu. Bukankah bagus kamu masih bisa ngentot sama perempuan lain seizin istrimu? Tapi bukan berarti kamu bisa mempermainkanku!"

"Aku tidak mempermainkanmu, Jen!" bantah Boy. Ia membanting setir ke pinggir jalan dan berhenti. "Apa yang kurasakan padamu itu tulus. Aku sungguh jatuh cinta denganmu."

"Shut up!" Jen berusaha keluar dari kendaraan. Namun ia tak menemukan cara agar pintu Mclaren 720s itu terbuka. Ya, dia memang kampungan. "Fuck!" makinya frustrasi. "Bisakah kamu bantu aku keluar dari sini?!"

Boy menggeleng. "Tidak sampai kamu mendengarkan penjelasanku."

"Apa yang harus kudengar?!" sentak Jen. "Kenyataan kamu sudah menikah merupakan hal yang tidak mungkin berubah. Meski kamu mencintaiku, meski aku mencintaimu, KAMU TETAP SAJA SUDAH MENIKAH!"

Boy terdiam dengan raut sendu. Jen juga sama.

"Maafkan aku, Jen," kata Boy memecah hening. "Aku memang egois — kuakui itu. Aku sudah tahu ke mana arah masa depanku, tetapi aku justru memanfaatkan waktu yang tersisa untuk membuatmu dekat denganku."

Jen memalingkan wajah.

"Aku jatuh cinta pada pandangan pertama padamu, Jen Nera." Boy kembali berujar, "Sejak pertama kita bertemu di balkon; aku sudah menyukaimu, aku sungguh gugup dan takut untuk berkenalan. Tapi aku akhirnya berani untuk mendekatimu. Dan, saat kamu tersenyum — pikiranku mulai menggila. Aku berubah egois dan menahanmu selama mungkin di sisiku. Aku memang berbohong di belakangmu. Aku berengsek."

Bulir air mata Jen tumpah. Ia tetap hening sambil berusaha menghentikan tangis.

"Aku pikir suatu hari kamu akan melupakanku. Dengan kesibukan baru sebagai seorang sekretaris, dengan teman-teman baru, dengan kehidupan baru. Aku pikir ... kamu akan menemukan seseorang yang lebih baik dan kembali jatuh cinta. Lalu pada akhirnya kamu hanya akan menganggapku sebagai bagian dari cinta monyet yang pernah terjadi dalam salah satu bab di cerita utuh kehidupanmu." Boy memandang Jen nanar. "Aku sama sekali tak mengira kita justru bertemu lagi seperti ini, Jen ..."

Jen terisak. "Kamu bilang aku adalah wanita sok tahu yang hobi menebak-nebak, tetapi kamu kini lebih parah, Boy." Ia membalas tatapan Boy melalui mata yang menggenang. "You aren't just a chapter in my life. But you are my whole book."

"Oh Tuhan ..." gumam Boy parau. "Aku memang idiot, Jen. Maafkan aku."

Boy meraih jemari Jen dan menggenggamnya erat. Ia mengecup buku-buku tangan wanita itu penuh kasih sayang.

"For God's sake. I’m smitten with you," ucap Boy.

"Kalau kita tak bertemu lagi, kamu tak akan mengatakan ini dan aku akan selamanya bertanya-tanya apa salahku sehingga kamu tega pergi begitu saja ..." lirih Jen.

Boy mengangguk. "Aku tahu, aku tahu. Ini memang salahku. Aku adalah lelaki bajingan yang egois. Aku hanya memikirkan diriku sendiri — diriku yang tersesat tanpa ada kamu di sampingku."

Bibir Jen gemetar. Rasanya sulit sekali untuk bicara saat menangis. Seolah ada batu besar yang mengimpit jalan napasnya.

"Let me go, Boy." Jen menarik jemarinya.

"No for this time, Jen. Aku nggak bisa membiarkanmu terombang-ambing seperti ini. Ikutlah denganku." Boy bersikukuh.

"Mana mungkin? Aku nggak bisa!" tolak Jen.

"Kenapa tidak bisa? Imagining life without you is impossible and we’re meant for each other, right? tukas Boy.

"Kamu sudah menikah!"

"Pernikahan terbuka!" sentak Boy.

Napas Jen tersenggal. Mata mereka kemudian saling beradu. Jen menemukan dirinya terjebak dalam bingkai sorot tajam Boy.

"Jadilah kekasihku. Aku lebih mencintaimu ketimbang istriku sendiri. Dan Caithlyn tak akan keberatan dengan keberadaanmu karena dia pun memiliki kekasih lain di sisinya," sergah Boy. "Semula aku menentang konsep open marriage ini. Namun tampaknya aku harus menjilat ludah sendiri karena demi bersamamu, aku akan lakukan apa pun."

"B-Boy ... ini salah ..." ucap Jen terbata-bata.

"But, it's feels so right when I'm with you."

Jen kembali bungkam.

Boy mengunci Jen dalam tatapan. "Ini satu-satunya cara untuk kita bersama-sama. "I don't sell my soul to the devil for money, but I'd sell my soul to have you."

"Boy, ini nggak adil untukku. Bagaimana jika aku terjebak perasaan padamu? Sementara kamu adalah seorang pria menikah."

"Jen, aku tak mungkin berpaling darimu. Aku tak mencintai Caithlyn!" dalih Boy.

"Cinta akan tumbuh seiring waktu Boy, apa lagi dia adalah istrimu."

"Jen," sela Boy seraya kembali meraih tangan Jen. "Kamu harus bertemu Caithlyn sebelum mulai menduga-duga. Dan kamu harus melihat seperti apa kehidupan pernikahan kami."

"Boy ... aku ..." Jen mendadak gamang.

"Baiklah. Kalau cinta saja tak cukup bagimu, maka aku juga akan memberikan banyak uang asal kamu mau menjadi kekasihku. Bukankah lelaki idealmu adalah seseorang yang melemparkan segepok dolar selesai bercinta. Lalu, memberikan cincin berlian dan tas Hermès setiap selesai nge-date? Maka aku akan menjadi lelaki seperti maumu. Anything to make you stay." Sorot Boy mengialkan keseriusan.

Jen memandang wajah Boy cukup lama. Apakah ia cukup bodoh untuk kembali mempercayai lelaki itu lagi?

"Jen," kata Boy lagi. "Aku benar-benar mencintaimu."

Jen pun mendekat pada Boy. Ia membelai sisi wajah Boy yang sehalus pualam. Kemudian mengendus aroma parfum mahal yang dikenakan oleh lelaki itu. Mata Jen terpejam; ia membisik, "Jangan kecewakan aku untuk kali ini. Aku akan meninggalkan dunia dan berlari ke neraka asal bersamamu."

Boy lantas menarik dagu Jen dan mencium bibir plum-nya.

Saat kulit bibir mereka saling bertemu, seketika jantung keduanya bergeletar sedemikian dahsyat. Ada percikkan birahi yang semula Boy dan Jen pikir telah mati. Setiap sel-sel dalam tubuh mereka memanas, seiring belitan lidah yang menari-nari. Pagutan itu pun semakin dalam dan dalam.

Ciuman yang Boy berikan sangat tegas, tetapi lembut. Menggoyahkan semua dinding kokoh yang semula Jen bangun pada prinsipnya.

Dan Boy merengkuh Jen seolah serigala kelaparan yang menemukan anak domba. Ia meremas helai rambut hitam Jen yang tebal menggunakan jari-jemari. Kemudian melumat bibir manis wanita itu secara ganas.

***

"Touch dua kali sebelum kamu menariknya ke atas," terang Boy.

Jen melakukan apa yang Boy katakan. Ia lantas tertawa pada kebodohannya sendiri. "Sorry, ini pertama kalinya aku naik Mclaren," ungkapnya merona.

"It's okay. Kalau kamu mau mobil ini akan menjadi milikmu dan kamu akan terbiasa, bahkan bosan mengendarainya." Boy tersenyum lebar. Kedua sudut bibir lelaki itu tertarik ke atas hingga matanya menyipit membentuk bulan sabit.

Jen makin terpesona. Itu adalah senyum yang sangat ia sukai.

Mereka pun turun dari kendaraan. Netra Jen seketika menyapu pandangan pada sekeliling rumah. Kediaman mewah elegan dengan konsep modern tropical house.

"Ini rumahmu?" tanya Jen.

"Aku baru menempatinya semenjak menikah," jawab Boy. Lelaki itu lalu menggandeng tangan Jen.

Jen sedikit canggung. "Boy, apa ini tak apa-apa?" Ia berusaha melepas genggaman. "Aku belum pernah menjadi wanita simpanan sebelumnya."

"Kamu bukan wanita simpanan. Kamu dan Caithlyn akan bertemu sebentar lagi dan kelak aku akan mengenalkanmu pada keluargaku," sahut Boy terkekeh.

"Maksudmu mengenalkanku pada seluruh keluarga Park?"

Boy mengangguk. "Kami harus memperkenalkan kekasih kami pada seluruh anggota keluarga, khususnya pada Kak Yuna. Dia akan membahas segala persyaratan yang wajib kamu penuhi."

Jen menelan saliva. Yuna atau Yuna Park adalah putri kedua dari Tirta Park.

"Ayo," ajak Boy.

Jen pun menyambut uluran tangan kekasihnya. Mereka berjalan masuk disambut beberapa pelayan rumah yang sigap membawa tas kerja Boy sembari tersenyum ramah. Langkah Jen menjadi semakin berat karena segan. Ia salah tingkah tak karuan.

Lalu; dari arah tangga, seorang wanita berkulit bak mutiara terlihat menuruni tangga. Terdapat segaris senyum pada bibir yang berpemulas pinkish glossy.

"Hai," sapa wanita tersebut pada Jen. "Aku Caithlyn — istri Booyah Park."

Naskah utuh POLY bisa kalian baca di akun karyakarsa KUCING (SPASI) HITAM. ((Second account Ayana Ann))

Jangan lupa vote & komennya, ya, Darls 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top