30. Bye!
"Ka-kamu Boy, bukan?"
Jen berulang kali mengerjapkan mata, mulutnya separuh terbuka karena keterkejutan luar biasa.
"Jen ...? Kenapa kamu ada di sini?" Boy beranjak dari duduk. Jantung lelaki itu bergemuruh hebat; seharusnya Jen sudah lulus dan mendapatkan posisi idaman di perusahaan bos mendiang bapaknya. Mengapa wanita itu justru sekarang berdiri di hadapannya — demi mendapat sebuah pekerjaan?
"Oh Tuhan," gumam Jen gemetar. Ia betul-betul Boy, CEO itu tahu namanya sebelum Jen memperkenalkan diri. "Jadi kamu memang Boy ... kamu sungguh Boy?"
Jen memundurkan langkah. Sementara Boy kian mendekati dengan tatapan yang tak kalah sendu.
"Kenapa kamu ada di sini, Jen? Bagaimana dengan pekerjaan yang kamu ceritakan padaku?" tanya Boy pelan.
Jen tersenyum getir. "Namamu bukan Boy, tapi Booyah Park? Kamu memilih berbohong padaku? Untuk apa?" Ia lantas teringat sesuatu dan seketika mata wanita itu membelalak. "Dan Vincent bukan temanmu, melainkan kakak kandungmu! Dia Vincent Park? Nama panjangnya adalah Vincent Park!" serunya histeris.
Pantas saja lelaki mengerikan itu mengenakan masker medis untuk menyembunyikan wajah. Ternyata dia merupakan salah satu pebisnis andal di Indonesia; anak sulung dari mendiang Tirta Park, pemilik PT Busaraya Group. Lelaki yang gemar keluar masuk pemberitaan televisi karena sederet kesuksesan di usia muda. Vincent Park - seorang filantropi terkenal yang memiliki keluarga harmonis dan bahagia.
(Filantropi : dermawan)
"Jen ..." Boy tergagu.
"Dan kamu adalah Booyah Park, putra bungsu Tirta Park." Jen menggeleng miris. "Bukan Boy atau Bobby Marvin seperti yang kamu bilang. Dasar penipu!"
"Jen, tunggu!" Boy menahan lengan Jen yang bersiap pergi. "Aku bisa jelaskan."
Jen menoleh tajam. "Jelaskan apa? Semua sudah jelas! Kalian mempermainkanku demi hobi semata. Senang, ya, menipu orang miskin dan bodoh sepertiku? Kutebak ini demi taruhan, bukan? Dan kamu menang karena berhasil bercinta dengan pelacur secara gratis!"
"Apa bisa untuk sekali saja kamu tidak mendengarkan dirimu sendiri? Membuat tebakan yang selalu salah dan herannya ... kamu selalu mempercayainya!" sanggah Boy.
"Lepas!" Jen mendengkus.
"Dengarkan aku, Jen. Semua tebakanmu tentangku salah." Boy bersikukuh.
"Semua sudah cukup jelas, Bapak Park!" tolak Jen.
Boy mencengkeram pergelangan Jen kuat-kuat. "Coba berhenti menebak-nebak dan dengarkan dulu aku bicara."
"Tidak mau!" sentak Jen tak kalah garang. Ia lalu menatap Boy dengan tatapan tajam. "Kamu tahu kenapa aku mempercayai tebakanku sendiri? Karena itu semua melindungiku dari sakit hati yang lebih besar ketimbang tahu kenyataan sebenarnya."
Pegangan Boy melunak.
"Jen ... maafkan aku." Boy membisik pedih. "Aku sama sekali tidak berniat mempermainkanmu. Apa yang kita rasakan nyata, aku sungguh tulus padamu."
Jen tertunduk untuk mematri pandangan pada jari manis Boy yang dilingkari logam mulia berwarna putih. "Kamu sudah menikah, Boy ...? Maksudku Pak Booyah Park ..." gumamnya parau. Pelupuk wanita itu berkabut oleh genangan cairan bening yang mendesak penuh.
Boy membisu.
Mereka berdua sama-sama terdiam dalam pusaran ombak kesedihan.
Sejurus kemudian Jen menyeka sisa air mata yang membasahi kulit pipi — ia lantas tersenyum.
"Baiklah. Saya permisi."
Jen membuka pintu dan melesak keluar secepat mungkin. Sekujur persendian Jen menggeletar, begitu pun dengan hatinya yang remuk redam.
Seperti angin, Jen berlari keluar dari bangunan kantor. Ia bahkan tak mengindahkan panggilan dari Tris yang terlihat penuh tanya. Jen tak peduli apa pun. Ia hanya ingin segera pergi jauh dari sana.
Jen terus berjalan semakin jauh. Sesekali berlari hingga tersenggal di pinggir trotoar. Isak wanita itu pecah.
Boy memang tidak nyata. Ia hanya karangan belaka dari Booyah Park. Semua palsu. Palsu seperti pencitraan Vincent Park di depan publik. Dari yang tampak di pemberitaan — Vincent Park adalah seorang ayah tiga anak yang penuh kasih sayang. Mana mungkin ada yang menyangka bahwa dia sebenarnya penganut seks ekstrem BDSM. Gemar menyewa pelacur demi menuntaskan hasrat yang mungkin tak bisa didapatkan dari pasangan sahnya.
Dan Jen yakin Booyah Park juga sama.
Cara lelaki itu sangat halus dalam mendekatinya; cih ... berpura-pura miskin agar Jen bersimpati dan memberinya seks cuma-cuma, tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Bangsat!
Isak Jen diselingi tawa getir kala mengingat segala kebodohan yang sudah ia lakukan demi Boy. Jen sungguh naif karena meninggalkan 'pekerjaan mudahnya' atas nama cinta. Andai saja ia tetap bekerja sebagai wanita BO, ia tak perlu susah payah menekan ego di depan Marcus. Jen tak harus menerima tekanan batin akibat kegenitan pakde terkutuknya itu.
Ia memang tolol.
Kini dalam otak Jen terbayang sosok Booyah Park yang tertawa-tawa di belakangnya. Menertawakan kenaifan dirinya yang sangat mudah ditipu.
***
Jen turun dari atas ojek motor sambil mendesah berat. Ia berdiri cukup lama di depan gerbang rumah sebelum memutuskan masuk.
Baik tempat tinggal mau pun kehidupannya adalah neraka. Ia tersadar tidak memiliki apa pun di dunia ini. Wanita itu frustrasi akibat serangkaian peristiwa yang baru saja terjadi. Sekarang sudah jelas apa alasan Boy meninggalkannya begitu saja — dia sudah menikah. Dan Jen hanya permainan semata demi melepaskan rutinitas. Yah, terkadang orang kaya memang seenaknya. Uang membuat mereka berkuasa dan bebas melakukan apa saja.
"Wah, tuan putri sudah pulang rupanya?" sindir Maria ketika melihat Jen memasuki rumah.
Jen menahan napas. "Maaf tadi aku pergi begitu saja, Budhe. Ada panggilan interview ..." ucapnya.
"Bukan berarti kamu nyelonong gitu aja tanpa pamit dan tanpa menyelesaikan kewajiban kamu di rumah, dong, Jen!" bentak Maria. Ia berjalan mendekati Jen sambil melotot sinis.
Jen menengadah. "Maaf, Budhe." Ia tak memiliki tenaga untuk membantah. Namun netranya terbelalak ketika melihat perhiasan penuh kilau yang melilit pada leher Maria. "Bu-Budhe ... itu, kan, kalungku?" tanyanya.
Maria memegang kalung pemberian Boy dan memamerkannya ke arah Jen.
"Sejak kapan kamu punya barang mahal seperti ini? Mencuri di mana?" seringai Maria.
"Aku nggak mencuri. Itu pemberian orang!" sanggah Jen.
"Orang siapa yang bakal ngasih kamu kalung berlian begini?" cecar Maria.
Jen sontak terhenyak. "Berli ... an?" gumamnya. "Itu bukan berlian, Budhe. Itu cuma kalung murah."
"Alah! Kamu pikir Budhe ini bodoh apa? Budhe bisa bedakan mana perhiasan asli dan imitasi. Budhe, kan, juga hobi koleksi berlian." Maria bersikukuh. "Jadi jangan berani bohongin Budhe. Kamu ngaku sekarang, Jen! Dari mana kamu dapat benda semahal ini?"
Jen pun membisu untuk berpikir sejenak. Sekarang semua ucapan Maria tentang keaslian kalung itu terdengar masuk akal. Bukankah dari awal Booyah Park memang sudah menipunya? Mungkin saja hadiah mahal itu adalah kompensasi karena sudah memuaskan Booyah Park selama beberapa bulan kebersamaan mereka.
Bangsat sekali karena Boy berkaca itu adalah kalung murahan.
"Itu punyaku, Budhe!" sentak Jen. "Seharusnya Budhe tidak boleh lancang memeriksa barang-barang di kamarku."
Jen mulai melawan — andaikata barang itu memang 'mahal', ia akan menjual dan menggunakan uangnya untuk mencari tempat tinggal lain.
Maria mendecih. "Lancang? Heh, ini rumahku. Tidak ada yang berhak melarang Budhe di sini. Apa lagi kamu yang cuma numpang."
"Kembalikan Budhe!" Jen berusaha menggapai kalung yang dipakai Maria.
Maria melengos. "Eh, apa-apaan kamu?!"
"Itu punyaku!" tegas Jen.
"Kulitmu yang dekil tidak cocok pakai kalung mahal ini. Lebih baik Budhe yang pakai. Hitung-hitung balas jasa atas segala kemurahan hati Budhe selama ini," kelit Maria.
"Tidak mau!" sanggah Jen. "Itu punyaku dan Budhe harus kembalikan!"
Maria mendorong Jen kasar. "Dasar, anak tidak sopan!" geramnya.
Jen sontak terjerembap. Alih-alih bangkit dari ubin, tangis wanita itu justru pecah. Ia meratapi nasib malangnya — semua terasa berat dan penuh penderitaan.
"Heh, jangan playing victim, Jen!" Maria melotot. "Budhe tidak menyiksamu, ngapain kamu sampai sesegukan begitu?" sulutnya.
Jen membenamkan wajah dalam kedua lutut. Ia meringkuk sambil terisak-isak akibat ujian tak berkesudahan. Jen muak. Ia cuma ingin disayangi — apakah permintaan itu terlalu muluk?
"JEN NERA!"
Sebuah seruan dari luar rumah menyebut namanya. Jen masih ingat siapa pemilik suara itu ...
"JEN NERA! KELUAR KAMU! JEN!"
"JEN NERA!"
Maria berjalan ke depan untuk memeriksa siapa tamu tidak sopan yang sudah berteriak-teriak di depan kediamannya. "Siapa itu?" desisnya.
Jen akhirnya beringsut bangkit dan mengekori Maria; dugaannya benar, itu memang Booyah Park. Lelaki itu berdiri pada ambang gerbang dengan ekspresi dingin. Kedua alis Boy bertautan - membingkai sorot setajam elang.
Bibir Maria menganga karena memergoki sportcar yang terparkir gagah. Sifat angkuh wanita itu seketika lenyap dan berganti dengan senyum ramah.
"Siang? Bisa saya bantu?" sapa Maria. Ia makin berdecak kagum kala menelisik figur lelaki di hadapannya; tampan luar biasa, serta berkelas dalam setelan jas Burberry gray.
Boy bergeming. Iris obdisian lelaki itu terpatri ke arah Jen tanpa berkedip.
"Ikutlah denganku, Jen," kata Boy tegas.
Maria terperanjat seraya menoleh pada si keponakan. Sama halnya dengan Jen.
Boy kembali melanjutkan, "Kalau kehidupanmu di sini masih sama menderitanya — ikutlah denganku."
"Jen!" sentak Maria mulai gusar. Ia lantas beralih ke arah Boy. "Kamu ini siapa kok tidak sopan main ajak pergi anak orang!"
"Jen Nera bukan anakmu," bantah Boy datar. "Dan kamu memperlakukannya seperti sampah."
"Heh! Kurang ajar!" sembur Maria senewen.
"Ikutlah denganku Jen. Aku akan memberikanmu kehidupan yang kamu inginkan. Aku akan mengeluarkanmu dari kesuliatan keuangan. Lalu melemparkan segepok dolar selesai bercinta dan memberikan cincin berlian, serta tas Hermès setiap selesai nge-date." Boy mengulurkan tangan ke arah Jen. Ada garis melengkung pada bibir merah lelaki itu.
Jantung Jen bergemuruh. Tatapannya nanar sambil terus tertuju ke depan.
"Pergi dari rumahku!" usir Maria.
"Jen Nera!" panggil Boy.
Jen lantas melangkah pelan menuju Boy — ia mengabaikan suara Maria yang berulang kali menahan dirinya. Dan tapak Jen semakin lebar menghampiri sosok rupawan yang masih menggenggam seluruh kepingan hatinya.
Apa Jen punya pilihan lain? Atau haruskah ia kembali mempercayakan jiwanya pada sang lelaki pemilik senyum terindah itu?
Dengan gamang, Jen pun menyambut gandengan tangan Boy.
"Jen mau ke mana kamu?!" teriak Maria.
Jen menengok nanar. "Pergi. Selamat tinggal, Budhe."
Baca naskah utuh Poly di akun karyakasa Kucing (spasi) Hitam.
Terimakasih untuk dukungan, vote, dan komen kalian semua 🖤🖤🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top