29. Unexpected
Matahari menyingsing menempa kulit sawo matang Jen yang hanya terbalut kamisol tipis. Ia masih memejamkan mata di atas ranjang, nyenyak dan pulas seperti bayi.
Tidur memang suatu anugerah.
Saat terlelap, mimpi membawa Jen ke dunia lain yang lebih indah dari kenyataan. Tidur mengantar wanita itu menuju ambang imajiner. Sebuah jagat penuh bahagia dan ramah tanpa derita. Jen berharap ia tidur selamanya. Tak perlu terbangun untuk bertatap muka dengan realita; dengan manusia, dan dengan patah hatinya.
"Jam berapa ini?!"
BRAK. Maria membuka pintu kamar Jen kasar. Ia bergegas menyibak tirai jendela, lalu menyingkap selimut yang Jen dekap erat.
Jen otomatis terperanjat. Kepalanya serasa berdenyut karena dibangunkan secara paksa.
Maria berkacak pinggang sinis. "Setidaknya kalau jadi pengangguran, ya, bantu-bantu, dong! Bangun pagi bikin sarapan, bersih-bersih, nyuci! Ini kerjaannya cuma tidur aja. Dasar males!"
Jen menegakkan badan. Apa yang Maria jabarkan barusan sudah Jen lakukan tiap hari. Cuma karena telat bangun sehari — Maria sigap mengecap Jen pemalas.
"Maaf, Budhe. Aku kesiangan ..." kata Jen serak.
"Kesiangan, kesiangan?" pelotot Maria. "Gunanya HP buat apa? Kan bisa pasang alarm."
"Iya, maaf." Jen tertunduk.
"Sudah sana buruan! Siapin makanan," titah Maria arogan. Ia lantas melirik Jen dengan tatapan menghina. "Sudah Budhe bilang kalau cari kerja susah, tapi malah nolak balik ke kantor pakde. Sekarang kualat, kan? Perusahaan yang kamu tuju bangkrut. Ngelamar sana-sini juga belum dapat panggilan."
Jen memilih diam.
Ya. Apa yang dikatakan Maria memang benar, bukan?
Terhitung sudah enam bulan Jen menganggur. Ia sudah kirim lamaran ke setiap perusahaan, namun tak ada respon satu pun.
"Buruan bangun! Jangan malah ngelamun." sentak Maria.
Jen terhenyak. "Y-ya, Budhe ..." sahutnya.
Jen lantas menuruni ranjang dan merapikannya. Ia lalu mengganti pakaian dengan kaos longgar yang lebih tertutup. Jaga-jaga agar mata Marcus tidak lagi jelalatan memandanginya.
Demi Tuhan.
Jen ingin sekali pergi, tapi ke mana? Ia tak memiliki uang sepeser pun. Ia juga tidak ada tujuan.
Jen serasa terkurung dalam penjara dan tidak bisa melarikan diri.
Pikiran jual diri atau balik open BO sempat terbersit. Namun entah mengapa Jen enggan merealisasikannya. Baik tubuh mau pun pikiran Jen menolak untuk disentuh. Membayangkannya saja ia sudah ingin muntah dan bergidik.
Seks adalah suatu yang kini Jen benci. Bercinta mengingatkannya pada Boy — lelaki jahat yang masih memonopoli otaknya.
Ah, salah sendiri kenapa begitu percaya dan bergantung pada manusia? Padahal Jen tahu kalau manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang gemar ingkar janji. Manusia merupakan penebar kekecewaan terbesar. Mulut manusia begitu mudah mengucap hal-hal indah. Lalu dengan gampang juga mengkhianati.
Mendiang bapak-ibunya, Pak Joko - mantan bos bapaknya, lalu Boy, semua adalah pendusta.
Dan Jen adalah si dungu yang memilih percaya.
Ponsel Jen tiba-tiba berdenting — ia sigap memeriksa pesan yang masuk. Berharap panggilan interview dari salah satu perusahaan yang ia lamar.
OM TRIS
[ Jen, CEO muda itu baru saja datang ke kantor. Kamu bilang ingin menemuinya, kan? Cepat kemari dan bawa lamaranmu. Om akan bilang kalau kamu adalah keponakanku. Semoga saja dia berbaik hati memberimu pekerjaan. Kelihatannya beliau orang yang baik dan ramah. ]
Jen membeliak.
Pesan itu memang bukan panggilan wawancara. Tapi juga kabar baik yang Jen tunggu. Dia masih punya harapan, bukan?
Ia pun berlari ke kamar mandi untuk bersiap. Kali ini Jen akan mengabaikan omelan dari Maria. Ia akan mengambil resiko!
***
"Om Tris!" Jen mengintip ke dalam pos satpam tempat Tris biasa berjaga.
Tris menoleh. "Kamu sudah datang, Jen! Aku tadi sudah ketemu sama Pak Park. Dia tidak sombong, lho. Mau meladeni satpam sepertiku ..." ujarnya sumringah.
"Terus, Om?"
"Semula dia tidak tertarik. Katanya perusahaan tak butuh pegawai baru. Namun pas aku bilang kamu jurusan Sastra Inggris, dia langsung berubah pikiran!" Tris mengacungkan jempol. "Keren, yo, jurusanmu, Jen? Sastra Inggris ..." decaknya. "Pak Park saja sampai terkagum."
"Masa, sih, Om?" buru Jen antusias.
Tris mengangguk. "Sungguh!" sahutnya. "Ya sudah. Kamu tunggu sini, ya. Biar Om masuk ke dalam dan menemui beliau."
"Memang kantor sudah mulai operasi, Om?" tanya Jen.
"Belum. Kemungkinan, sih, minggu depan. Pak Park juga bilang tidak mau menunda lebih lama agar kerugian tidak makin besar."
"Oh ..." gumam Jen.
"Eh, yawes. Tunggu sini." Tris melenggang keluar dari pos untuk masuk ke dalam bangunan besar di depan.
"Om Tris," panggil Jen. "Makasi, ya."
Tris mengulum senyum. "Makasinya nanti saja kalau kamu diterima kerja. Kalau sekarang jangan bilang apa-apa dulu."
"Iya." Jen berkaca-kaca.
***
Toktoktok.
Terdengar ketukan pada fiberglass yang dikombinasikan dengan panel kayu - tempat ruangan sang CEO berada.
Pada ruangan berdesain jadul; seorang lelaki berjas rapi duduk memeriksa data-data pada laptop, mata monolidnya fokus menatap layar, sementara jarinya sesekali menggeser pada touchpad. Sebenarnya baik furnitur mau pun konsep gaya pada ruang klasik yang ia tempati sekarang - bukanlah seleranya. Terlalu banyak dominasi dari elemen kayu di sana; ukiran mewah dan ornamen yang memberi kesan kolot, ditambah lemari dan lampu antik yang tampaknya berusia lebih tua dari usia sang CEO.
Namun daripada sibuk memikirkan renovasi — ia lebih konsen pada perolehan keuntungan.
Toktoktok. Pintu itu kembali terketuk. Terlalu serius menghitung sana-sini membuat Boy mendadak tuli.
"Ya, masuk."
Pintu pun terbuka, tampak lelaki berpenampilan parlente mengintip dari luar.
"Pak Park, satpam yang tadi mau bicara denganmu."
Boy mengangguk. "Suruh saja dia masuk."
Alih-alih menuruti perintah Boy, si pemberi pesan justru masuk ke dalam dan menutup pintu.
"Hei, Boy," kata lelaki itu. "Kenapa buang-buang waktu untuk bicara dengan dia? Dia cuma satpam."
Boy menarik kedua sudut bibir ke atas. "Perasaan tadi caramu bicara padaku lebih sopan?" ledeknya.
"Ah, tak ada yang melihat kita." Lelaki itu mengibaskan tangan. Ada alasan mengapa COO (Chief Operating Officer) itu cukup akrab dengan sang CEO, mereka dulu belajar di universitas yang sama.
"Lagipula kenapa emang kalau cuma satpam, huh?" Boy meringis. "Dia bilang keponakannya membutuhkan pekerjaan. Mungkin saja keponakannya bisa menjadi salah satu karyawan yang berdedikasi untuk kita."
"Untuk apa mencari karyawan baru, Boy? Busaraya Group sudah menyediakan SDM terbaik untuk menggantikan karyawan-karyawan lama."
"Hmmh, itu memang benar, Cel. Tapi tidak ada salahnya bertemu dengan orang yang ia rekomendasikan," dalih Boy. "Lagian aku lagi sedikit senggang, kok."
Marcel menggeleng. "Istimewa sekali keponakan si satpam ini. Interview langsung dari sang CEO. Harusnya tugas ini dikerjakan HRD. Nanti bisa-bisa dia besar kepala. Dianggap istimewa." decih lelaki berdarah Tionghoa itu.
"Apa kamu melihat ada HRD di sini? Bukankah cuma ada kita berdua? si CEO dan COO tampan. So, why not? Kasihan dia sudah jauh-jauh datang." Boy tersenyum jahil.
Marcel menggeleng. "Baiklah. Terserah kamu saja. Tapi jangan terima ponakannya cuma berdasarkan 'kasihan'. Kita harus profesional, Boy. Perusahaan ini kini di bawah payung besar Busaraya Group, dan tugas kita adalah menjaga citra dan nama baik perusahaan inti."
"Iya-iya." Boy mengangguk. Ia lalu melihat Marcel penuh senyum lebar. "Andaikan aku bisa menukar jabatanku denganmu. Kamu lebih pantas menjadi CEO ketimbang aku."
Marcel tersungging. "Bersyukurlah karena lahir sebagai salah satu keluarga Park. Manfaatkan itu sebaik mungkin." Ia lantas membuka pintu dan menghilang di baliknya.
Boy seketika terdiam.
Bersyukur karena lahir sebagai salah satu keluarga Park? Cih ... ia justru merasa itu adalah kesialan atau kutukan.
Boy menukar hidup demi mempertahankan tradisi. Ia merelakan kebebasan untuk mencetak uang sebanyak-banyaknya. Boy bukan lagi manusia — tapi robot ciptaan keluarga Park. Robot yang dituntut mengabaikan nurani.
Ada alasan kenapa Boy memberi kesempatan keponakan Tris untuk bicara padanya. Wanita itu sama-sama lulusan Sastra Inggris.
Ya ... seperti Jen, Jen Nera.
Sosok bidadari yang masih mengendap dalam hipokampus - laci memori pada otak besarnya. Bayangan paras Jen mengaktifkan amygdala yang sukses mempercepat detak jantung Boy. Aroma tubuh, sentuhan, bahkan cara wanita itu tertawa membuat adrenalin Boy berpacu.
Lalu perih itu hadir.
Menyergap inti jiwa pada relung tersembunyi yang mati-matian Boy coba bunuh. Ia kalah. Rasa bersalah itu terus mengganggu. Menyajikan kenangan betapa berengseknya Boy sebagai seorang lelaki - seorang manusia.
Toktoktok. Pintu kembali terketuk untuk kali ketiga.
"Silakan, masuk," sahut Boy.
Ia pun menunggu si calon pelamar masuk. Namun ketika wanita itu menampakkan diri seutuhnya; netra Boy membeliak, bibir lelaki itu gemetar. Boy pun tak sanggup mengalihkan pandangan yang terpaku.
Mereka berdua mengunci tatapan dalam kebisuan paling menyiksa.
Wanita itu; Jen, mematung di depan ambang pintu. Jantungnya bergemuruh hebat. Ia meremat stopmap folio yang berisi berkas-berkas lamaran.
Lelaki bergelar CEO yang kini duduk di hadapannya itu ... adalah lelaki bajingan yang selama ini ia cari-cari. Lelaki yang meninggalkan sakit hati paling pedih untuk dirinya. Si pembual penuh dusta yang memanfaat Jen hanya demi kepuasan bercinta; lalu menghilang bak setan tanpa alasan jelas, dia Boy. Bobby Marvin.
Namun kenapa mereka semua memanggilnya 'Booyah Park'?
"Boy ...?" lirih Jen. "Kamu Boy, bukan?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top