26. Farewell
Seorang lelaki berambut penuh uban membantu Boy membawa koper. Ia tersenyum ramah memandang tuannya yang tampak berat meninggalkan unit. Sesekali lelaki itu melirik pada jam tangan untuk memeriksa waktu.
"Pak Vincent mengutus saya untuk mengantar Bapak sampai bandara."
Boy mengangguk. "Ya, saya tahu. Jam berapa penerbangannya?"
"Dua jam lagi."
Sorot Boy pedih. Gemuruh seolah mencekik tenggorokannya. Dalam kepalanya terngiang kebersamaan bersama Jen Nera selama beberapa bulan belakangan. Luka yang ia pikir tak seberapa, ternyata adalah borok yang bakal menganga seumur hidup.
"Mari, Pak ..."
Boy menoleh tanpa semangat. "Pak, bisakah kita mampir ke suatu tempat terlebih dahulu sebelum ke bandara?"
"Kita akan terlambat, Pak."
"Tidak akan. Kalaupun tertinggal pesawat, aku akan mengambil penerbangan berikutnya," sahut Boy.
"Saya sudah memastikan sebelumnya, hanya kelas ekonomi yang tersisa, Pak."
Boy tersenyum. "Tidak masalah. Bukankah yang penting aku sampai ke Jakarta?" Ia bersikukuh.
"Pak Vincent akan memarahi saya, Pak." Lelaki suruhan kakak sulung Boy itu terlihat berat hati.
"Maka jadikan hal ini sebagai rahasia kecil di antara kita."
***
Kala Jen mulai pesimis dengan kehadiran Boy, sebuah suara yang memanggil namanya pun membuyarkan lamunan wanita itu.
"Kamu datang juga!" Jen menghambur menghampiri Boy. Tapi langkah wanita itu terhenti saat menyadari style kekasihnya sangat berbeda. "Apa-apaan ini, Boy?" tanyanya keheranan.
Tidak dapat dipungkiri - penampilan Boy begitu menarik perhatian bagi siapa pun yang memandang. Lelaki itu tampil elegan dengan kemeja Ralph Lauren berbahan linen longgar yang dipadukan celana chino. Boy yang biasanya memakai sepatu kets atau sendal pun, kini beralih mengenakan sepatu loafers sebagai alas kaki. Tak hanya itu, wangi parfum lelaki itu menguar memenuhi bangunan kampus. Tak ayal kehadirannya membuat para mahasiswa yang melenggang di sekitar Boy terkesima bukan main.
Alih-alih menjawab, Boy justru mengeluarkan sebuah benda persegi dari saku celana.
"Maaf, aku tak sempat membelikanmu bunga seperti yang kamu mau," kata Boy. "Tapi bisakah kamu terima ini, Jen?" Ia menyodorkan kotak pipih yang ia bawa pada Jen.
Jen berkernyit. "Boy, kenapa kamu memberiku hadiah sekarang? Padahal bisa tunggu nanti pas aku selesai sidang."
Boy tersenyum menahan perih. Ia tak ada waktu untuk menunggu Jen menyelesaikan presentasi tesisnya.
"Karena ini akan menemanimu di dalam sana." Boy menunjuk ke arah pintu ruang sidang dengan dagunya.
Jen pun menerima pemberian Boy, lalu membuka penutupnya pelan-pelan. Begitu menemukan apa yang ada di sana, kedua mata Jen terbelalak.
"Ka-kalung apa ini, Boy?" Ia menelisik pendant berkilauan yang berbentuk pear shape.
"Jangan coba-coba dijual, ya," kekeh Boy. "Itu imitasi." Ia lagi-lagi berbohong. Rantai kalung itu berbahan emas putih sementara liontinnya bertabur sematan 18 butir berlian.
"Astaga ..." Jen masih mendecak kagum. "Ini cantik sekali. Beneran imitasi? Kelihatannya mahal."
Boy mengambil perhiasan itu dan mengalungkannya pada leher Jen. "Kamu simpan, ya." Ia lantas memandangi wajah kekasihnya lekat. "Cocok sekali untukmu, Jen. You are drop dead gorgeous."
Jen tersipu. Ia mengusap pada liontin menggunakan jemari lentiknya. "Makasi, Boy."
"Jen," panggil Boy lagi. "Kamu tahu, kan, kalau aku sangat mencintaimu?"
Jen mengangguk.
Boy meraih tangan Jen dan menggenggamnya erat. "Apa pun yang terjadi, aku akan selalu mencintai dan memikirkanmu. Lakukan semuanya dengan baik. Enjoy and live life to the fullest."
"Kenapa bilang seakan-akan ini perpisahan, sih, Boy?" Jen berkernyit.
"Jen Nera!"
Pintu ruangan dibuka dari dalam. Seorang wanita berpakaian rapi menengok sembari menunggu Jen masuk.
"Oh iya, Bu," sahut Jen gugup. Ia kembali menatap Boy. "Boy, sudah waktunya aku masuk."
Boy mengangguk. "Semangat, ya."
"Wish me luck!" Jen melengos dan meninggalkan Boy.
Namun Boy menyusul Jen; menahan lengan wanita itu, lalu menyorotnya cukup lama.
"Boy?" protes Jen yang sedang terburu-buru.
Boy pun mengecup dahi Jen penuh perasaan. Hati Boy bergetar hebat ketika bibirnya menyentuh kulit Jen. Ada aroma magnolia yang bersemayam pada tiap helai rambut pekat wanita itu.
Jantung Jen berdebar. Ia mengusap dada Boy sembari melempar senyuman manis.
"Setelah ini kita akan bercinta sampai puas," bisik Jen.
"Masuklah." Boy pun melepaskan wanitanya.
***
Jen menempelkan ponsel pada telinga, nomor Boy tidak aktif. Ia kemudian berjalan mengitari gedung fakultas untuk mencari kalau-kalau kekasihnya itu masih ada. Tetapi nihil. Jen tak menemukan Boy.
Ia ingin memberi kabar baik.
Jen pun bergegas pergi; ia tahu di mana keberadaan sang kekasih, pasti di apartemen. Senyum Jen terkulum. Raut wajah wanita itu merona bahagia tak tertahan. Ia tak sabar menemui Boy, memeluk lelaki itu erat-erat. Langkah Jen pun memburu. Tak tahu apa yang akan ia hadapi sebentar lagi.
***
"Mbak Jen Nera!"
Jen terhenti dan menoleh, seorang security datang mendekatinya. Ada senyum canggung terpatri pada ekspresi petugas keamanan itu.
"Kenapa, Pak?" tanya Jen. Ia merasa familiar dengan wajah si security. Oh ya! Security itu adalah pemilik motor tua yang biasa dipinjam oleh Boy.
"Mau cari Mas Boy, ya, Mbak?"
Jen mengangguk.
"Anu ..." kata security ragu-ragu. "Mas Boy sudah tidak tinggal di sini lagi."
"Huh? Maksudnya?" Jen membeliak.
"Mas Boy sudah pindah tadi pagi."
Seutas garis melengkung terbentuk pada kedua sudut bibir Jen. Ia masih mencerna informasi yang diberikan oleh si petugas keamanan.
"Tapi ... bukannya unit itu memang bukan milik Boy? Dia cuma numpang, kan? Pemilik aslinya adalah Vincent. Bukan begitu?" cecar Jen.
Security menggaruk-garuk tengkuk yang tak gatal. "Waduh ..." Ia tak mampu menjelaskan lebih detail karena Boy sudah melarangnya. "Saya kurang tahu."
"Kok gitu? Bapak, kan, kerja di sini sudah lama. Pasti kenal semua tenant yang ada."
Si security menelan saliva. "Gini, Mbak. Ini saya tadi cuma dititipin ini sama Mas Boy. Mohon diterima." Ia memberikan secarik kertas yang dilipat seadanya pada Jen.
Jen menerima dengan hati yang mendadak tak karuan. Ia yakin ada yang tidak beres. Namun, ia tak mau berspekulasi lebih lanjut.
"Yasudah, Mbak Jen. Saya permisi, ya." Security itu pamit dan pergi sejauh mungkin dari Jen Nera.
Untuk waktu yang cukup lama - Jen berdiri mematung pada tempatnya. Ia terpegun seraya menatap lembar kertas putih yang sekarang dalam genggaman. Jantung Jen bergemuruh bak ada badai yang sedang terjadi di dalam sana. Perutnya juga terasa mual karena cemas.
Pelan-pelan Jen membuka lipatan. Matanya bergerak saat membaca isi pesan yang - katanya - dari Boy.
Jen, maaf.
Hubungan kita tak akan berhasil. Kuharap kamu mendapatkan pekerjaan yang kamu inginkan. Lalu mewujudkan semua rencanamu dengan lancar.
Maaf jika harus berakhir seperti ini. Jangan cari aku lagi. Hiduplah berbahagia, kamu pantas mendapatkannya. Kamu juga pantas bersama lelaki yang lebih baik dari aku. Sekali lagi, ini bukan salahmu. Tapi aku.
Selamat tinggal - Boy.
Jen bergeming membaca kata demi kata berulang kali. Lagi dan lagi. Ia membacanya hingga hampir hafal dengan tiap untaian kalimatnya. Jen menolak percaya. Semuanya pasti bohong belaka. Ia pasti sedang bermimpi. Pasti.
Bibir wanita itu gemetar, lalu diiringi bulir air mata yang perlahan jatuh membasahi pipi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top