24. Forever In Love
Boy memandang wajah tidur Jen lekat; ia berfokus pada rambut-rambut lentik yang membingkai mata sang kekasih, lalu bibir Jen yang penuh dan kemerahan.
Satu bulan berlalu sejak Boy pulang dari Jakarta dan waktu yang tersisa tak lagi banyak.
Rasa bersalah kian mencabik-cabik relung Boy. Ia yang membangun hubungan sedalam ini dan dia pula yang harus menghancurkannya. Meninggalkan Jen dalam luka - setelah memberikan buaian seindah mimpi. Tiada yang lebih sakit dari itu, bukan?
"Berhenti memandangiku," kata Jen.
Boy tersentak. "Kok bisa tahu?"
"Aku punya ilmu kebatinan," sahut Jen. Ia lalu membuka mata dan membalas tatapan Boy yang terlihat lebih sendu dari biasa. "Ada sesuatu yang mengganggumu, Boy?"
"Tidak ada." Boy menggeleng. "Kapan sidangmu?"
"Tiga bulan lagi." Jen lalu memanjangkan tangan untuk mengambil kalender duduk. "Kalau jadwalnya tidak berubah, ya, tanggal 12," tunjuknya pada angka yang terpampang.
Boy mengangguk, lalu tersenyum demi menyembunyikan hati yang sembilu. Pada hari itu ia seharusnya sudah pergi dari Surabaya; menemui keluarga dan tunangannya, bersiap untuk upacara pernikahan yang telah diatur.
"Kenapa?" selidik Jen. "Kamu mau bikin kejutan, ya? Datang dan membawakanku buket mawar?"
"Hobimu belum berubah, suka sekali menebak-nebak."
Jen mengerucutkan bibir. "Jadi nggak? Padahal aku ngarep, lho. Barusan itu kode keras tau ..."
"Baiklah, aku akan berusaha memenuhi keinginanmu." Boy lalu mengusap puncak kepala Jen. "Berusahalah agar sidangmu lancar. Itu yang paling utama."
"Tentu saja aku akan berusaha. Aku sudah muak bekerja di kantor pakde. Setiap hari aku selalu membuat alasan beragam agar ia tak menyentuhku. Aku ingin segera pergi dari rumah itu, bekerja di perusahaan mantan bos mendiang bapak dulu."
"Baguslah. Aku berharap semua berjalan lancar," ucap Boy.
"Kamu sendiri bagaimana, Boy?" tanya Jen. "Kamu nggak bisa selamanya menganggur dan tergantung pada Vincent."
"Aku tahu. Aku juga akan memulai kehidupan baru setelah kamu lulus nanti."
Boy memang akan memulai kehidupan baru - sebagai Booyah Park - putra bungsu generasi ketiga keluarga Park. Dan saat itu terjadi, ia akan lenyap dari dunia wanita yang sangat ia cintai itu.
Jen memeluk Boy. "Baguslah. Kita akan meraih titik balik dari fase hidup. Aku juga berharap semua rencanamu berjalan lancar, Boy."
"Terima kasih." Boy membalas dekapan Jen. Lalu terpejam demi mengendus aroma tubuh wanita berkulit eksotis itu. Menyimpan wanginya dalam ingatan selamanya. "Ngomong-ngomong ... apa ada sesuatu yang kamu inginkan, Jen?"
"Ada," jawab Jen. Ia melepaskan pelukan dan menegakkan kepala. "Bercinta denganmu sekarang."
Boy mengulum senyum. "Maksudku sebelum sidang ..." Kalimat lelaki itu terhenti ketika Jen mulai meraba-raba area tengah selangkangannya. "Tapi, ini juga boleh." Ia menggeram.
Jen menyusuri tubuh atletis Boy menggunakan bibir. Ia heran mengapa kekasihnya itu memiliki otot-otot kokoh yang teramat menawan. Padahal Jen tak pernah sekali pun melihat Boy berolahraga; lelaki itu juga gemar makan junkfood, dan lebih suka berbaring di kasur seraya membaca setumpuk buku.
Jen merasa ia sangat beruntung.
Boy begitu tampan dengan kulit seputih salju. Wajahnya mungil - proposional mengikuti standar golden ratio. Selain itu ia juga punya eye smile, dimana senyuman Boy selalu tampak ramah, menawan karena mata lelaki itu akan ikut menyipit menyerupai bulan sabit. Hal yang tak pernah gagal memukau Jen.
Bukan cuma itu saja ... milik Boy ... punya ukuran yang luar biasa memuaskan.
Jen menurunkan boxer yang menutup kejantanan Boy; ulahnya membuat sesuatu melonjak keluar, berdiri teracung dan mengangguk-angguk. Ia pun menggiring batang kokoh itu untuk terbenam dalam mulut. Kemudian sesekali menyapu tiap incinya yang liat dan berurat.
Segalanya menjadi buram bagi Boy. Ia tak mungkin bisa berpikir jernih kala wanita itu memanjakan adik kesayangan. Melakukan sesuatu yang tampaknya menjadi keahlian utama seorang Jen Nera.
"Kemarilah," bisik Boy parau.
[ CUT. BACA UTUH DI KARYAKARSA KUCING (SPASI) HITAM ]
***
Boy masih tertidur ketika Jen terbangun. Entah berapa lama mereka terjebak pulas akibat kelelahan bercinta. Yang jelas Jen masih melihat lembayung mentari dari celai tirai jendela unit. Berarti masih ada banyak waktu sebelum ia harus kembali pulang.
Jen pun memiringkan tubuh, memandangi raut tanpa dosa Boy kala nyenyak. Seutas senyum terukir pada bibir wanita itu.
Ia telah memenangkan lotre kehidupan. Meski tidak kaya raya - Boy adalah lelaki sempurna. Jen yakin kekasihnya bakal mendapat pekerjaan bergaji tinggi. Lelaki itu cerdas; bergelar magister pula, selain itu Boy juga goodlooking. Ia menawan dan punya kemampuan bicara yang cukup baik - HRD perusahaan mana pun pasti bakal terkesima oleh penampilan karismatik Boy.
Memandangi paras Boy berlama-lama membuat Jen kembali bergairah. Ia mengintip ke dalam selimut yang menutupi tubuh telanjang mereka; milik Boy di bawah sana masih tertidur.
Ada birahi tak tertahan menggoda-goda batin Jen. Ia pun mulai meraba-raba tiap jengkal kulit halusnya menggunakan jari-jari. Berhenti sebentar untuk meremat gundukan buah dada yang menyembul, lalu memainkan pucuknya. Jen pun menahan desah. Ternyata menjamah diri sendiri lumayan nikmat juga.
Jari-jari wanita itu pun menyusuri pusar dan akhirnya menetap pada area intim.
Ia menjamah titik sensitif yang tersembunyi di balik lipatan. Jen melakukan sama persis seperti yang Boy biasa lakukan. Jen tak sangka sensasinya akan seenak itu. Ia pun mulai menggeliat, membenamkan telunjuk mengitari clit yang sudah licin. Ternyata benar - biji sensitif itu merupakan syaraf terbaik untuk dirangsang.
"Mau dibantu?"
Pertanyaan dari Boy sontak membuat Jen terperanjat bukan main. Ia berhenti dari pekerjaannya sambil menatap Boy salah tingkah.
"B-Boy a ... aku ..."
Boy mendekati Jen. "It's okay. Lanjutkan Jen ... aku suka melihatmu seperti tadi," katanya.
Please, follow, vote, dan komen agar aku menamatkan cerita ini di wattpad 🖤 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top