22. Staycation

Jen mengikuti langkah Boy yang cepat; wanita itu sedikit kesulitan mengejar, sementara tangan mereka saling bergandengan erat. Boy lalu mengajak Jen menyebrang ke sisi lain jalan Tunjungan. Ia belum bilang mau ke mana.

"Boy, mau cari makan di mana, sih?" Jen memicing karena teriknya matahari siang.

"Bukan cari makan," sahut Boy. "Tapi staycation."

"Huh?!" Jen terbelalak. "Maksud kamu?"

Boy masuk ke dalam halaman hotel mewah penuh sejarah yang berada tidak jauh dari unit apartemennya. Namun dengan segera Jen melepaskan kaitan jemari mereka.

"Untuk apa ke sini?" tanya Jen.

"Kamu nggak suka?"

"Untuk apa?" Jen lebih melotot dari sebelumnya.

Boy pun mengembuskan napas panjang. Tatapan lelaki itu teduh pada Jen yang mendadak kesal.

"Kamu pernah bilang kalau hatimu selalu sedih tiap kali melihat tempat ini. Semua karena pengalaman tidak menyenangkan yang pernah terjadi padamu. Saat melayani pelanggan pertamamu," ujar Boy. "Dan aku berharap bisa menggantikan ingatan burukmu dengan memori yang lebih indah, Jen."

"Ini hotel mahal, Boy."

"Aku tahu." Boy tersungging. "Ada gunanya aku bergaul dengan teman-teman kayaku itu, kan?"

"Boy ..." Mata Jen berkaca-kaca.

Boy kembali meraih jemari sang kekasih. "Yuk kita masuk. Kamar yang kudapat sangat cantik."

Mereka berdua lalu memasuki lobi; Jen masih ingat atmosfer kolonial yang kental menyelimuti hotel tersebut, mulai dari arsitektur hingga furniturnya. Sepengetahuan Jen, lobi dan bagian depan dibangun pada tahun 1930, sementara bangunan belakang sudah berdiri sejak 1910. Lalu sebuah mobil Ford keluaran 1930'an terletak pada lobi demi menambah kesan jadul. Begitu pun foto-foto Surabaya tempo lawas dipajang pada pigura yang menempel di dinding-dinding. Dulu - Jen Nera luput mengagumi keindahan klasik dari salah satu bangunan bersejarah di kota Pahlawan itu; semua karena ia terlalu gugup akan menemui klien pertama, dari pekerjaan haram yang ia lakoni. Namun sekarang bersama Boy - segalanya berbeda.

Resepsionis dan beberapa staf hotel tersenyum ramah ke arah mereka, lalu membantu Boy dan Jen masuk ke dalam elevator.

Begitu keluar dari lift, staf tadi mengarahkan keduanya menuju lorong panjang. Pada sisi-sisinya terdapat pilar-pilar tegak khas Belanda. Dan dari sana, mereka bisa memandangi taman hijau yang berada di tengah bangunan.

"Kita di kamar mana Boy?" tanya Jen.

"Legendary Suite," ujar Boy. Setelah melangkah menyusuri lorong, ia berhenti di depan pintu berwarna dark chocolate. "Ini dia Jen."

Jen terperangah ketika Boy membuka pintu; kamar mewah nan luas seukuran rumah tinggal, kursi dan meja kayu semuanya otentik. Lantai teak wood memamerkan kesan elegan begitu masuk. Sementara furniture bermaterial kayu jati tampak mendominasi kamar megah milik mereka berdua.

"Kamu suka Jen?"

Jen mengangguk cepat. Ia berkeliling menjelajah seluruh sudut ruangan.

"Kenapa nggak bilang bakal ke sini? Tahu gitu aku bawa dress cantik buat foto-foto," decih Jen.

"Ehm, soal itu ..." Boy berjalan menuju sofa dan mengambil sebuah kotak persegi berlambang merek kenamaan. "Ini buat kamu."

Mata Jen terbelalak. "Ini ...? Serius?" Ia lantas membukanya dan menemukan dress bertali spaghetti; bagian dada berwarna oranye, lalu turun ke bawah didominasi hitam dan abu-abu. "Ini Chanel? Beneran Chanel?" tanyanya.

"Aku dapat dari Vincent. Semula mau diberikan pada kenalan wanitanya, tapi tidak jadi. Ya sudah kuminta saja dan aku hanya perlu membayar kurang dari harga aslinya," dalih Boy. Well, tentu saja ia berbohong. Hotel, lalu gaun - semua dusta.

Jen memeluk dress mahal itu dalam rengkuhan. "Oh, Boy ... kenapa kamu melakukan semua ini?"

"Karena kamu spesial, Jen." Boy menarik pinggang Jen dalam pelukan. "Kamu pantas mendapatkan semua keistimewaan karena kamu merupakan wanita tercantik yang pernah kukenal."

Jen menatap kedua iris Boy yang berhasil menghipnotisnya. Ia lalu menyusuri pipi mulus kekasihnya dan mendaratkan sebuah ciuman. "Makasi, Boy. Ini sangat - sangat luar biasa."

"Kenapa kamu tidak coba gaunnya dan kita keluar untuk berkeliling hotel?" Boy tersenyum.

Jen mengangguk seraya meloloskan diri dari pelukan. Ada seringai tipis terukir pada bibir plum wanita itu. Secara perlahan, Jen melepaskan kancing kemejanya satu per satu.

"Aku akan mencobanya sekarang ..." kata Jen. "Tapi sebelum itu, bisakah kamu melakukan sesuatu terhadap tubuh ini?"

Boy menelan saliva. "Apa itu?"

Jen melepas kemeja dan menjatuhkannya ke lantai. Kemudian wanita itu beralih menurunkan jeans untuk menampakkan kulitnya yang eksotis. Tanpa ragu; Jen menanggalkan bra dan celana dalam, sekarang ia berdiri polos di hadapan Boy.

"Apa saja yang kamu inginkan. Yang kita sama-sama inginkan." Jen lantas duduk di atas ranjang. Ia melebarkan dua kaki jenjangnya untuk mengekspos miliknya yang cantik. Bagian itu sudah merona.

Jantung Boy serasa melompat keluar. Pemandangan yang Jen suguhi sangat tidak ramah bagi kesehatan jantung. Dan juga - ketenangan adiknya.

Boy lalu melepaskan kaos dan celana yang ia kenakan, kemudian menghambur ke arah Jen. "Kamu sangat seksi, Jen." Ia melumat bibir sang kekasih.

Jen menyambut Boy dengan senang hati; melingkarkan lengannya, sambil mengulum senyum kebahagiaan.

"Bagaimana tesismu?" tanya Boy.

Jen mendesah. Boy tiba-tiba berpindah ke bukit kembarnya. Lelaki itu mengisap pucuk Jen kuat dan sesekali menggigitnya kecil. Sementara jemari Boy menyusuri gundukan lain yang tak terjamah oleh mulutnya.

"Kata dosbing-ku aku bisa ikut sidang semester ini." Jen merintih. "Hmmh ... ya ..."

Boy memilin-milin puncak Jen, kemudian memelintirnya demi menambah rangsangan. "Bagus. Kamu memang gadis pintar."

"Semua berkat bantuanmu, Boy." Jen membusung - membiarkan Boy menyusuri sekujur tubuhnya yang sudah memanas. Sentuhan pada bagian atas mengakibatkan sesuatu di bawah sana meronta minta diisi. Ia sadar miliknya pasti sudah basah.

Boy kembali naik untuk menciumi bibir Jen. "Bukan karena aku, tapi usahamu yang gigih, Jen Nera." Ia lalu mengakhiri pagutan dan membiarkan Jen merebahkan kepala pada pundaknya. Sementar telunjuk Boy menari-nari pada kulit Jen yang sudah sangat sensitif.

*** CUT *** BACA UTUH DI Karyakarsa Kucing Hitam ***

"Mau dilanjutin nggak?" Boy membisik pelan. Ia lantas menurunkan boxer sampai sebagian paha. "Ada yang kangen." Lelaki itu menunjukkan kejantanan yang terbebas keluar.


Please, follow, vote, dan komen agar aku menamatkan cerita ini di wattpad 🖤 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top