20. The Office

Letak ruang kerja Marcus berada jauh di belakang studio. Bagaimana bisa Jen betah berlama-lama bersama pakdenya itu dalam satu persemayaman yang sama? Tempat itu bak ruangan privat yang bakal mengurung Jen dari keramaian. Mengisolasi dirinya agar berdua saja dengan Marcus yang genit.

"Tadi katanya Pakde jobdesk-ku nerima klien, kalau aku di dalam sini, jauh banget dong dari pintu masuk?" elak Jen.

Marcus tersenyum. "Ada CCTV di dalam ruangan Pakde. Kamu tinggal pantau dari sana. Nanti kalau ada klien datang, kamu tinggal keluar." Ia masuk ke dalam. "Ayo, Jen, masuklah."

Jen mengulas senyum keterpaksaan. Langkah kakinya berat menginjakkan kaki mengikuti Marcus.

Marcus lalu berjalan seraya menunjuk meja sudut berbentuk L kepada Jen.

"Itu meja kerja kamu. Sudah ada laptop, ponsel kantor, dan peralatan lainnya."

"Baik Pakde," ucap Jen seraya menunduk sopan.

Marcus mengangguk. Ia meletakkan tas jinjing ke atas meja seraya melekatkan sorot pada keponakannya. "Ada sofa juga, Jen," tunjuknya dengan dagu. "Kalau kamu capek, kamu bisa balas pesan atau surel dari klien sambil selonjoran di sana."

"Ehehe, nggak dong, Pakde. Aku, kan, lagi kerja ... masa selonjoran," sanggah Jen.

"Alah. Ini kantor punya Pakdemu sendiri. Santai saja. Yang penting tidak ada yang lihat." Marcus mengulum senyum.

Bulu kuduk Jen meremang. 'Yang penting tidak ada yang lihat' terdengar seperti vonis mati bagi wanita itu. Ia pun bergegas duduk di arm chair dan bersiap memulai pekerjaan.

Jen menghidupkan laptop dan smartphone milik kantor; ternyata benar kata Maria, Marcus Priambodo Architects memang studio arsitektur paling laris, belum sedetik ponsel itu nyala puluhan notifikasi sudah menyerbu masuk.

"Dahulukan membalas pesan di aplikasi perpesanan sebelum menjawab surel, ya, Jen," celetuk Marcus. "Kalau ada yang bikin bingung, segera tanya sama Pakde. Jangan sampai ngasal respon pertanyaan dari klien."

"Baik Pakde." Jen mengusap touchpad pada laptop. Ia membutuhkan kata sandi untuk login. "Pakde, password-nya apa, ya?"

Alih-alih langsung menjawab, Marcus justru bangkit dari kursi. Ia berjalan menghampiri Jen sambil mengukir sunggingan penuh arti. Lelaki itu lantas membungkuk di belakang punggung Jen seraya melingkarkan tangan untuk mengetik pada keyboard.

"Priambodo tujuh dua tujuh empat, itu kata sandinya," kata Marcus. Ia sempat mengendus aroma rambut sang keponakan.

Jen menghindar sebisa mungkin. "Makasi, Pakde." Ia menggeser arm chair.

"Rambutmu wangi, Jen. Tadi pagi abis keramas, ya?"

Jen mengumpat dalam hati. Memang kenapa kalau dia habis keramas? Apa penting bagi keberlangsungan hidup pakdenya? Kalau pun basa-basi, tidak ada topik lain apa?

"Nggak, Pakde. Sudah sebulan belum keramas. Hehehe." Jen meringis - sengaja ingin membuat Marcus ilfeel.

Marcus justru sumringah. "Belum keramas aja begitu wangi. Apa lagi udah." Ia lalu menelisik tubuh keponakannya dari atas ke bawah. "Ngomong-ngomong ... tumben kamu pakai celana panjang. Biasanya waktu berangkat kerja pas masih jadi SPG suka pakai rok di atas lutut."

"Lebih nyaman begini, Pakde." Jen ingin pembicaraan mereka segera berakhir.

"Besok-besok pakai rok saja, ya. Cantik, lho, kamu. Pakde suka lihat kedua kakimu yang jenjang." Marcus berjalan kembali menuju mejanya. Namun tatapannya masih setia membingkai Jen.

"Rania sama Miranti juga cantik kalau pakai rok. Kaki mereka juga jenjang dan posturnya tinggi," sahut Jen.

Marcus berdeham. Ia memalingkan wajah seraya membetulkan letak kaca mata. Mendengar nama dua anak gadisnya - sontak membuyarkan segala imajinasi nakal dalam otak lelaki itu.

***

Pinggang Jen rasanya mau patah karena tegang. Ia tidak berani bergerak dan tetap duduk tegap seperti patung. Mau bagaimana - tiap kali bergeser atau sekedar menguap - mata Marcus pasti bakal jelalatan ke arahnya. Lalu lelaki itu akan melanjutkan dengan obrolan-obrolan cheesy yang memuakkan.

Sialnya, sama sekali tak ada klien berkunjung ke studio hari ini. Padahal Jen berharap ada alasan untuk keluar dari ruangan terkutuk tempatnya bersama Marcus.

Markus melirik ke arah jam. "Kita istirahat makan siang, yuk, Jen."

"Oh, iya, Pakde." Jen mengembuskan napas lega.

Markus tiba-tiba sudah berdiri di dekatnya. Lelaki itu menunggu Jen ikut beranjak.

"Ke-kenapa, Pakde?" tanya Jen bingung.

"Lho, kamu bagaimana, to? Ayo makan siang sama Pakde. Pakde tahu tempat makan steak enak di dekat sini. Kamu suka steak, kan?" tawar Marcus.

Jen menggeleng cepat. "Nggak usah, Pakde. Makasi. Aku bawa bekal dari rumah. Tadi sudah nyiapin mie goreng," tolaknya halus. "Silakan Pakde istirahat duluan aja."

Jen bisa gila jika harus menemani pamannya itu makan siang bersama. Istirahat dan lepas dari Marcus satu-satunya oase bagi wanita itu.

"Masa ponakannya yang punya kantor makan mie instan, Jen? Bisa malu dong, Pakde." Tawa Marcus pecah. "Sudahlah, yuk, ikut Pakde saja."

"Ng-nggak usah, Pakde. Sayang mienya nanti mubazir," sahut Jen bersikukuh.

Di luar dugaan, Marcus justru menyambar sling bag milik Jen. "Kalau takut mubazir kamu bisa kasih mienya ke Pak Ramdan, office boy di sini. Sudahlah, makan sama Pakde saja." Ia melenggos dan membuka pintu.

"Pakde!" panggil Jen. Mau tidak mau dia terpaksa bangkit karena Marcus membawa tas yang berisi barang-barang pentingnya. "Pakde, tunggu."

Jen pun mempercepat langkah demi menyusul Marcus. Hati wanita itu mendumal dan memaki si lelaki botak yang sekarang berjalan di depannya. Menyebalkan sekali!

"Nah gitu dong, Jen. Jangan pakai sungkan segala kalau sama Pakde." Marcus tersungging. Ia lalu melewati karyawan dan anak magang yang masih berkutat dalam kesibukan masing-masing. "Saya keluar makan dulu," kata Marcus.

"Baik, Pak." Mereka menyahut kompak.

Jen menahan napas. Ia sungguh-sungguh tak ingin pergi makan bersama Marcus. Aneh sekali - sikap pakdenya berubah sok perhatian. Padahal ketika di rumah, Marcus mana pernah peduli tiap kali Maria mengomelinya tanpa alasan. Mana peduli kala Jen menahan lapar karena Maria tak memperbolehkannya menyentuh lauk di dapur. Dan mana pernah Marcus membukakan gembok pagar tatkala Jen terpaksa kehujanan karena dikuncikan oleh Maria.

Terang saja perubahan perlakuan yang sekarang Marcus tampakkan membuat Jen curiga dan waswas.

"Pakde ... sungguh, deh, aku makan bekalku di kantor aja. Sekalian mau kenalan sama staf yang lain," kata Jen setengah memohon.

Marcus tetap melangkah. "Ah, besok juga bisa," sahutnya acuh tak acuh.

Mereka berdua akhirnya tiba di luar studio. Halaman depan cukup luas dan memiliki suasana mirip kafe. Alih-alih menanam rumput, batu-batu kerikil bertebaran menutupi tanah. Taman kering itu hanya ditumbuhi oleh tanaman daun dolar yang merambat pada sisi-sisi tembok pembatas. Sementara di tengah terdapat picnic bench atau meja dan bangku lipat bermaterial kayu untuk bersantai.

Marcus menekan remote kunci mobil untuk membuka kendaraannya. "Yuk, Jen."

Napas Jen tercekat. Saat ia hendak menuruti titah Marcus, tiba-tiba seseorang yang mengendarai Astrea butut berhenti tepat di samping mobil Marcus.

Bibir Jen menganga tak percaya. Lalu berganti lengkungan senyum merekah.

"Boy ..." sambut Jen.

Please, follow, vote, dan komen agar aku menamatkan cerita ini di wattpad 🖤 🖤

Part utuh POLY bisa kalian baca di akun Karyakarsa Kucing Hitam. Atau, komen di sini supaya aku bisa bagi link-nya 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top