17. Blue

"Kita nonton porn, yuk. Mau?"

Jen menatap Boy melalui sorot mata menantang - tatapan itu berbalas karena Boy juga tersenyum jahil dari bibir tipisnya.

"Nanti kamu nggak kuat, Jen?" ledek Boy.

Jen menyeringai. "Oh jadi ini soal kuat-kuatan?" sahutnya. "Okay, siapa yang menyerah duluan, kalah, ya!" Ia menantang.

"Deal." Boy menatap layar laptop tanpa gentar.

"Aku bebas pilih video apa aja, kan?" Jemari Jen lihai mengetik pada keyboard.

Boy mengendikkan bahu. "Terserah kamu."

"Kuperingatkan, ya, selera video dewasaku nggak seperti orang kebanyakan." Jen mengulum senyum. "Nah ... aku suka yang seperti ini." Ia menunjuk menggunakan dagu.

Boy pun mengalihkan atensi, mulai menonton tayangan pemicu libido yang disuguhkan Jen. Ia tak menduga laptop baru itu akan digunakan untuk mencari video-video biru. Boy berbohong pada Jen dengan mengatakan bahwa barang tersebut adalah milik Vincent. Padahal dia sendiri yang membeli laptop baru agar Jen tak perlu lagi meminjam pada sepupunya yang pelit.

Video mulai berjalan dan Boy sedikit terkejut dengan selera Jen. Wanita itu lebih memilih menyaksikan dua wanita 'bermain' bersama ketimbang pasangan heteroseksual yang mengundang birahi.

Dua wanita pada video juga tak saling menjamah satu sama lain; hanya menyentuh diri masing-masing sampai mencapai puncak, menggunakan jari dan beberapa mainan dewasa.

Boy berdeham. "Kamu nggak suka sama cewek, kan, Jen?"

"Nggaklah. Kenapa emang?" Jen balik tanya. "Pasti karena aku milih lihat yang model beginian, ya?"

Boy menjawab dengan anggukkan kepala.

Jen terkikik. "Dari pada melihat pasangan cowok-cewek; aku lebih suka melihat ini, mereka tak terkesan bohong. Mereka terlihat menikmati semuanya." Ia kemudian mengenang. "Saat aku melayani pelangganku dulu, aku selalu berpura-pura menikmati. Padahal tidak. Temanku Sesil juga bilang, semua yang ia lakukan dan tampakkan cuma akting. Jadi; tiap kali aku melihat blue movie antara lawan jenis, aku selalu ragu kalau mereka benar-benar menikmati semuanya."

"Hmm," gumam Boy. "Nice thought." Ia tersenyum. Lelaki itu lalu merangkul Jen dan membisik, "Tapi kalau denganku, kamu nggak berpura-pura, kan?"

"Sama sekali nggak," sahut Jen. Ia menoleh dan menyorot Boy dengan mata lentiknya. "Aku belum tahu nama lengkapmu, Boy."

"Kita lagi nonton, kan?" alih Boy.

Jen mengguncang tubuh Boy. "Kita bisa nonton sambil ngobrol. Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu," desaknya.

Boy terdiam sesaat. Ia menelan ludah kasar demi menetralisir gugup bercampur khawatir. Ia tak ingin merusak semua dengan membongkar kejujuran pahit pada Jen.

"Nama panjangku Bobby Marvin. Nama itu dirangkai oleh mamaku - Marvin adalah nama mendiang kakekku dari pihak mama."

Dahi Jen berkernyit. "Bobby Marvin? Tapi kenapa 'Boy'?"

"Boy adalah panggilan dari papa; semasa hidup beliau selalu memanggilku 'Boy', lalu kakak-kakakku yang lain pun mengikuti, memanggilku dengan panggilan itu," terang Boy.

"Kamu punya kakak?"

"Ya. Aku empat bersaudara dan aku yang paling bungsu," jawab Boy.

Jen mengangguk. Ia lalu memandangi Boy cukup lama. "Lalu di mana keluargamu tinggal? Mamamu dan saudaramu yang lain."

"Ketiga kakakku bekerja di Jakarta; sementara mama menetap di Bali, sendirian membuka kedai makanan miliknya." Sorot mata Boy sendu ketika membicarakan soal ibunya. Banyak sesuatu yang lelaki itu sembunyikan.

"Ah!" Jen bertepuk tangan. "Pantas saat pertama kali kita ketemu - kulitmu kecokelatan. Pasti karena sering panas-panasan di Bali, ya? Akhirnya sekarang aku paham!"

Boy tersenyum. Jen tidak berubah. Wanita itu selalu saja mengambil kesimpulan sepihak dan mempercayainya.

Jen kembali mengintrogasi. "Kenapa kamu nggak tinggal di Bali aja sama mamamu? Bukannya Bali itu pulau yang indah dan eksotis. Kamu pasti betah di sana."

"Nggak." Boy menggeleng. "Aku nggak mungkin betah karena di sana nggak ada kamu."

Jen mendadak tersipu. Jantung wanita itu mendadak bergemuruh ketika Boy melempar senyum ke arahnya. Tarikan bibir yang mengakibatkan kedua mata Boy menyipit membentuk bulan sabit. Ah - senyum yang Jen sukai.

Perhatian keduanya kompak beralih pada layar, salah seorang wanita memekik dan memuncratkan air terjun dari miliknya.

Jen terbelalak. "Emang cewek bisa kayak gitu?" selidiknya.

"Bisa. Squirting, kan," jelas Boy. "Tapi setahuku nggak semua wanita melakukan itu, sih."

"Kamu tahu banyak soal begituan, Boy?" Jen berdecak kagum. Ia kira Boy adalah lelaki polos yang cuma paham belajar - ternyata dia salah.

Boy menjawab dengan ringisan kecut. Ia tidak tahu banyak soal 'begituan', hanya saja wanita yang dulu sempat bercinta dengannya di California merupakan jenis wanita yang menyemburkan cairan squirt saat klimaks.

Perhatian Jen tertuju pada layar; ia sangat fokus melebihi fokusnya saat mengerjakan tesis tadi, ada yang wanita itu pikirkan.

"Aku juga mau begitu," gumam Jen.

Boy tersedak. "Huh?"

"Muncrat," kata Jen. "Aku pengen tahu rasanya."

Ia lalu mendekat dan naik ke atas pangkuan. Wanita itu lantas mengalungkan lengan melingkar pada leher Boy.

"Kita coba, yuk, Boy," goda Jen.

Boy menelan saliva. "Kurasa ada teknik khususnya, Jen," sanggahnya. "Kenapa kita nggak melakukan seperti yang kita lakukan di kamarmu kemarin?"

"Everyday is an adventure, right?" Jen tersenyum penuh rayuan.

Tubuh Boy seketika ... (Cut)

Baca bab utuh di akun Karyakarsa Kucing Hitam. Atau komen untuk minta aku bagi link-nya 🖤

Jangan pelit kasih vote supaya aku lanjutin cerita ini di WP.

Salam sayang! Ayana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top