15. Thick As Thieves
"Oh Tuhan ..."
Jen menggigit bibir bawahnya demi menahan segala erang. Kepala wanita itu meneleng kiri dan kanan secara bergantian demi mengurangi gelenyar rangsangan pada intinya. Tapi sekuat apa pun Jen mencengkeram kain seprai, sensasi memabukkan itu demikian kuat menguasai.
Boy memusatkan sentuhan pada satu titik tertentu yang semakin membuat Jen menggelinjang tak karuan.
Lelaki itu mengisap liar ...
[ CUT. Baca versi utuh di KARYAKARSA. KETIK kucing hitam untuk temuin akunnya ]
Bekerja sebagai wanita BO bukan berati ia akan merasakan kesenangan tiap kali melayani pelanggan-pelanggannya. Sebaliknya, Jen justru ingin sesi bercinta itu segera usai. Tapi bersama Boy berbeda - ada kelekatan yang tak sekedar pertemuan antara dua kulit, melainkan penyatuan masing-masing hati.
Boy benar, bercinta memang sebaiknya dilakukan dengan seseorang yang spesial. Seseorang yang sangat disayangi dan menyayangi. Maka, bukan hanya kenikmatan yang didapat; melainkan ketiadaan dari rasa bersalah - sebuah ketenangan.
"Jen ..." Boy menggugam parau. Ia mengecup rahang dan leher Jen Nera penuh gairah. "Kamu menyukainya?" bisiknya.
Jen mengangguk; kemudian meraba-raba pundak Boy yang kokoh, lalu kembali mencengkeramnya kuat melalui kuku-kuku lentik yang ia miliki. Darah Jen semakin memanas hampir terbakar. Kenikmatan itu semakin liar bergetar-getar menghantam tubuhnya.
[ CUT. Baca utuh di KARYAKARSA Kucing Hitam ]
***
"Kamu benar, Boy. Bercinta memang seharusnya dilakukan dengan orang yang tepat, orang yang kusayang," kata Jen. Ia tertidur di atas lengan Boy yang menyangga kepala.
Boy tersenyum. "Aku nggak sangka ini akan terjadi di antara kita, mengingat kamu bilang bahwa aku bukan tipemu."
"Aku juga nggak merencanakan ini, semua terjadi begitu saja," sahut Jen.
Telapak Boy lalu membelai-belai rambut Jen. "Jen," panggilnya. "Tapi suatu saat aku janji akan menjadi lelaki idealmu, lelaki yang melemparkan segepok dolar selesai bercinta dan memberikan cincin berlian serta tas Hermès setiap selesai nge-date."
Jen menahan kikik. Ia menegakkan kepala seraya memandangi Boy lekat-lekat. Lelaki itu ingat tiap detail dari semua perkataannya.
"Aku sudah tidak menginginkan lelaki seperti itu lagi. Aku menginginkan kamu." Jen lantas mengecup mesra bibir Boy.
Boy membalas pagutan Jen dengan penuh gairah menyala. Ia membelai punggung Jen yang mulus dan menarik wanita itu dalam rengkuhan.
Jen melepaskan ciuman. "Aku hanya ingin segera lulus dan mendapatkan pekerjaan yang dijanjikan oleh mantan bos mendiang bapakku. Setelah itu, kamu mau, kan, hidup bersamaku? Kamu bisa menemukan pekerjaan yang cocok untukmu."
Boy mengangguk. Ada kilat kesenduan pada iris obdisian lelaki bermata monolid itu. Sesuatu yang ia sembunyikan dari Jen, bahkan rahasia itu tak diketahui oleh dunia sekali pun.
Jen lantas kembali tertidur dalam pelukan Boy. "Ada banyak waktu untuk saling mengenal," katanya. "Aku belum tahu siapa nama lengkapmu, di mana rumahmu yang sebenarnya, dan apa kesukaanmu, Boy."
"Sssh ..." Boy membisik. "Kita masih punya banyak waktu, Jen. Sekarang tidurlah."
"Kamu bukan psikopat yang akan membunuhku, kan, Boy?" Jen tersungging geli.
"Satu-satunya senjata yang kumiliki sudah kamu rasakan tadi. Apa itu bisa membunuhmu?" goda Boy.
Jen mencubit gemas lekuk pinggang Boy. "Serius, ih!" dumalnya.
Boy hanya bisa meringis menahan sisa pedas akibat cubitan dari Jen. Ia kembali mengeratkan dekapan.
"Aku serius. Kita masih punya banyak waktu untuk membicarakan tentangku, atau tentang satu sama lain. Sekarang aku hanya ingin kamu tertidur, Jen."
Jen mengangguk lemah. Sapuan jemari Boy yang menyusup dalam kulit kepalanya membuat wanita itu mengantuk. Perlahan-lahan, ia tak lagi mampu menguasai pelupuk yang kian memberat. Semua mendadak pudar dan gelap - hanya aroma bargamot milik Boy yang lekat terendus menenangkan segala cemas.
"Yang naksir ibumu banyak, tapi dia tetap memilih Bapak sebagai suaminya."
Dulu - tiap kali Yosua sesumbar - Jen selalu mencibir keputusan mendiang sang ibu. Kenapa ibunya yang cantik memutuskan menikah dengan lelaki berekonomi sulit seperti Yosua, bapaknya. Selera ibu sungguh aneh.
Pada akhirnya pun; akibat keterbatasan biaya, sang ibu akhirnya meninggal karena tak mendapatkan pengobatan mumpuni. Kesedihan yang berkerak pada relung Yosua membuatnya bertekad mengubah nasib si putri si mata wayang. Dari kecil, Jen selalu disekolahkan di sekolah terbaik. Sekolah mahal.
Yosua bekerja seperti robot tak kenal siang-malam, bahkan berutang ke sana ke mari pun ia lakoni demi membayar biaya pendidikan Jen Nera. Terakhir, lelaki itu menguliahkan Jen di universitas swasta mahal; niatnya memang baik, ingin anaknya bergaul dan mendapatkan teman-teman elit, lalu memperoleh pekerjaan menjanjikan yang dapat membawa Jen keluar dari kemiskinan. Namun, belum selesai perjuangannya, Yosua justru wafat.
Hati Jen dipenuhi kebencian.
Kebencian karena ibunya memilih lelaki miskin dan payah seperti bapaknya. Lalu kebencian karena bapaknya meninggalkannya sendirian di dunia tanpa apa-apa. Kebencian terhadap hidup yang terpaksa ia terima.
Namun semua pandangan kelam itu berubah ketika bertemu Boy. Jen seolah bisa merasakan apa yang mungkin dulu dirasakan oleh sang ibu. Alasan mengapa wanita cantik itu memilih Yosua yang kere ketimbang lelaki-lelaki lain.
Jatuh cinta - mengalahkan segala logika. Dan Jen Nera tak keberatan menjalani hidup dalam keterbatasan asal itu bersama Boy.
***
Boy masuk ke dalam unit apartemen yang gelap gulita. Tubuh lelaki itu letih bukan kepalang, berbanding terbalik dengan hatinya yang gembira. Senyum di bibir Boy tak sirna, melekat dan menggaris pada wajah.
"Wah, adik kecilku sudah berubah banyak rupanya."
Boy tersentak sambil memegangi dada. Ia menajamkan netra untuk melihat sosok lelaki yang duduk berkubang dalam gelap. Jemari Boy meraba saklar lampu dan menekannya.
"Kak?!" Boy terbelalak. "Kapan Kakak datang? Kenapa tidak menghubungiku dulu?"
Vincent berdiri dari sofa dan menghampiri Boy. "Aku ingin lihat apa kesibukanmu hingga terus menerus menggantung Caithlyn." Ia lantas menyeringai. "Ternyata kamu sibuk menjalani hidup gemerlap hingga pulang selarut ini. Kontras dengan dirimu yang dulu."
Boy tertunduk. Ia membiarkan sang saudara sulung menebak semaunya. Boy tak mungkin menjabarkan tentang kehadiran Jen Nera dalam hidupnya.
"Boy, pernikahanmu tak bisa lagi ditunda. Kamu harus segera melangsungkannya agar bisa menerima warisan dan menjalankan peranmu dalam keluarga. Mau sampai kapan kamu bermain-main, huh?" sergah Vincent.
"Aku tidak bermain-main, aku sibuk belajar beberapa tahun belakangan," kelit Boy.
"Ya, ya, aku tahu. Di antara kita berempat, memang kamu yang paling cerdas," puji Vincent. "Tapi kamu sudah mendapatkan gelar Magistermu, lalu apa lagi yang kamu inginkan? Jangan bilang kalau kamu ingin mengulur waktu dengan kembali melanjutkan studi sampai mendapat gelar Doktor."
"Bagaimana kalau iya?"
Mata Vincent melotot. "Boy!" sentaknya.
Boy mengembuskan napas berat. "Aku tak ingin menikah, Kak. Tidak dengan orang asing seperti Caithlyn, apa lagi pernikahan kami berlandaskan kepentingan bisnis semata."
"Boy, arranged marriage adalah takdir tak terelakkan bagi keluarga Park, namun kita berkompromi dengan menerapkan praktik open relationship*." Vincent tersenyum. "Meski kamu telah menikah sekali pun, kamu tetap bisa memiliki satu atau dua orang kekasih di sisimu."
(* Jenis hubungan konsensual dan non-monogami)
"Itu tak sejalan dengan prinsipku. Pernikahan adalah ikatan sakral dan tak seharusnya dijadikan permainan demi uang," bantah Boy.
"Berhenti terlalu idealis, Boy. Lihatlah para lelaki yang mengedepankan prinsipnya, kebanyakan dari mereka hidup miskin dan menggembel," sahut Vincent.
"Kalau begitu biarkan aku hidup miskin dan menggembel. Aku tidak peduli jika harus dicoret dari ahli waris sekali pun," tegas Boy.
"Booyah Park!" bentak Vincent menggelegar.
Klik Link ini :
https://karyakarsa.com/kucingitam/poly-bab-15-amp-7
Atau ketik Kucing Hitam di kolom pencarian. Selamat membaca 🖤🖤🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top