14. Make Love
"Mau apa kamu ke sini?!"
Jen membentak Boy dengan suara membisik. Kedua alis wanita itu bertautan membingkai mata melototnya.
Di luar gerbang, Boy berdiri sambil tersenyum jahil. "Katanya tadi aku disuruh ke sini."
"Kata siapa?!" Jen membeliak.
Raut Boy mendadak mengiba. "Terus gimana? Aku udah di sini."
"Naik apa kamu tadi?" Jen memanjangkan leher dan menengok kanan-kiri.
"Diantar security," balas Boy tanpa dosa.
"Nih anak gila!" Jen mendumal sebal. "Kalau budheku sampai tahu, bisa mati digantung aku!"
"Yaudah." Boy mengambil ancang-ancang. Ia menaiki teralis pagar dengan kakinya yang panjang. "Kalau gitu aku harus segera masuk, supaya nggak kelihatan."
"Gila kamu, Boy!" Jen Nera makin belingsatan.
Tak seperti Jen yang selalu kesusahan saat memanjat gerbang, langkah Boy sangat mulus tanpa kendala. Dalam hitungan detik, lelaki itu sudah melompat masuk ke dalam. Tersenyum lebar di hadapan Jen yang memandangnya dengan mata berkilat-kilat.
"Kamu bakat jadi maling, huh?!" sentak Jen.
"Sshh!" Boy membisik. "Mana kamarmu? Buruan masuk." Ia berlagak bak tuan rumah dan menerobos begitu saja ke dalam kamar Jen.
Jen kelimpungan mengikuti Boy. Secepat kilat ia menutup pintu kamar yang terhubung langsung dengan teras depan. Setelah itu, Jen mengunci rapat pintu satunya yang terkoneksi pada ruang tengah rumah.
Boy santai melepas sepatu dan jaket hoodie andalannya. Ia lalu duduk ke atas kasur seraya menelisik setiap sudut ruangan pribadi Jen. Ada seutas senyum bertahan pada bibir lelaki itu.
"Kalau sampai mereka tahu, aku bisa diusir!"
"Kan, yang penting mereka semua belum tahu," sahut Boy terkekeh. "Yuk, tadi katanya mau peluk." Ia melebarkan tangan ke arah Jen.
Jen salah tingkah bukan main. Ia melempar Boy menggunakan salah satu bantal tidurnya. "Sinting!" Wanita itu kemudian mengambil tempat di sisi Boy, merebahkan badan dengan posisi terlentang.
Boy ikut berbaring, ia memiringkan badan menghadap Jen.
"Kamu mau di sini sampai kapan? Terus nanti pulangnya gimana? Kalau kepergok satpam komplek, kamu bisa-bisa disangka pencuri, Boy," cecar Jen.
"Jangan terlalu banyak berpikir, Nona Jen Nera." Boy mengusap lembut dahi Jen, lalu memijatnya.
"Kenapa kamu nekad ke sini, sih?" tanya Jen lagi.
"Karena kamu memintaku," sahut Boy.
Jen membalas tatapan Boy. "Kamu nggak bisa bedain bercanda sama serius, ya?"
"Your words is my command, Ma-Lady." Boy memasang raut serius, berlagak bak seorang gentleman pada film kolosal Inggris.
"Jijik!" Jen akhirnya terkikik geli.
Ia mendadak membisu saat Boy mengalungkan lengan untuk memenjarakan tubuhnya. Tanpa aba-aba, lelaki itu sudah mengurung Jen dalam pelukan, memperlakukan badannya seolah-olah guling.
"Aku akan pergi ketika kamu sudah tidur," kata Boy lirih. Embusan napas hangat lelaki itu lantas menempa pelipis Jen.
Jarak kurang dari sejengkal membuat Jen mampu mengendus aroma tubuh Boy yang menguarkan wangi lembut. Ia mulai menebak-nebak apakah itu berasal dari parfum; atau mungkin musk, yang lelaki itu semprotkan. Bisa jadi wangi bargamot yang sekarang Jen cium bersumber dari helai rambut Boy yang tebal. Entahlah - yang jelas ia menyukai kesan maskulin nan menawan yang sedang ia hirup. A unique enough fragrance to remember.
Jen menempelkan hidungnya di antara filtrum; lekukan vertikal di bagian tengah bibir atas, milik Boy. "Bagaimana kalau keberadaanmu malah membuatku tak bisa tidur, Boy?"
"Maka kita akan membunuh detik waktu agar tak terasa lama dan menyiksa," sahut Boy. Ia membelai seraya menyisipkan helai rambut Jen ke belakang telinga.
Jen memejam seraya mengecup bibir bawah Boy. Ia lalu tersenyum.
Ulah Jen memancing gejolak pada tubuh mau pun perasaan Boy, lelaki itu lantas membalas ciuman Jen dengan pagutan mesra nan dalam. Perbuatan Boy disambut hangat oleh Jen; ia membiarkan lidah Boy menerobos ke dalam, melilit dan membelit miliknya. Jen sesekali menggigit kecil bibir Boy yang merah. Sesuatu yang menambah sengatan pada tautan mereka.
"Boy," bisik Jen. "Kita melanggar semuanya, kan? Kita berjanji tak berciuman, tetapi kita justru melakukannya."
Boy mengangguk, memandang Jen dengan tatapan sayu.
Jen kembali melanjutkan, "Maukah kamu melanggar satu hal lagi denganku?" tanyanya.
"Apa itu, Jen?"
Sebelum menjawab; Jen kembali memagut bibir Boy, kali ini lebih liar. Wanita itu seolah sedang kelaparan. Saat Boy mulai hanyut, Jen pun melepaskan ciumannya.
"Make love," ujar Jen. "Make love to me, Boy."
Boy mematung beberapa saat. Ia lalu berpindah posisi menindih Jen di bawahnya. "I had no interested make love to you, Jen," sahutnya. "Instead, I want make love with you."
"Apa bedanya, huh?"
Boy tersenyum. "Aku nggak tertarik in just sex; I wanted to be in love with you as my affection, dan memperlakukan kamu dengan penuh cinta, tender way I could. Kita bercinta untuk saling memberi satu sama lain, berbagi passion dan intimacy. Itu sebabnya aku pernah bilang hanya bercinta dengan wanita yang kusayang."
"Jadi kamu nggak mau melakukannya denganku?"
"Kata siapa?" Boy menangkupkan telapak pada pipi Jen. "Bukankah pertanyaan itu seharusnya buatmu, Jen Nera. Kamu pernah bilang kalau aku bukan tipe lelaki idealmu. Jadi kamulah yang sebenarnya tak ingin bercinta denganku."
"Kamu sendiri, apa kamu menyayangiku, Boy?" buru Jen.
"Mula-mula aku tertarik padamu, menyukaimu, lalu sekarang aku sangat menyayangimu, Jen." Boy menatap iris bulat milik Jen lekat-lekat. "Katakan padaku - lelaki seperti apa yang sebenarnya kamu inginkan?"
"Lelaki kaya. Yang melemparkan segepok dolar selesai bercinta dan memberikan cincin berlian serta tas Hermès setiap selesai nge-date," terang Jen. "Aku tahu kamu bukan salah satunya, Boy. Tapi, aku terlanjur jatuh cinta padamu."
Boy terpegun.
"Kamu serius, Jen?"
Jen mengangguk. "Sebenarnya tadi aku tak jadi melayani pelanggan itu. Semua karena otakku dipenuhi oleh dirimu."
Boy lagi-lagi termangu. Jantung lelaki itu berdegup kencang hingga seolah hampir meledak.
"Aku juga sudah memutuskan tak akan lagi bekerja sebagai wanita BO, Boy. Yang pertama karena aku memang tak menyukai profesi itu, dan yang kedua karena hatiku sudah terpatri untukmu," lanjut Jen.
"Oh, Jen ..." Boy kembali mendaratkan ciuman pada bibir Jen Nera.
Relung Boy dipenuhi bunga-bunga kebahagiaan. Sebersit keinginan untuk mengungkapkan jati diri kemudian muncul dalam benak Boy. Ya, wanita itu berhak tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
"Ada yang ingin kukatakan, Jen ..." kata Boy.
"Aku juga," sela Jen. "Aku akan menerima pekerjaan sambilan di kantor pakdeku. Meski dia merupakan lelaki mata keranjang, tetapi lebih baik ketimbang menjajakan tubuh, kan?" Ia mengarahkan jemari untuk menyapu dagu Boy. "Aku menyukai kamu apa adanya. Tetaplah menjadi seperti ini."
Boy mengangguk gamang. Ia urung membongkar rahasia yang selama ini ia simpan rapat. Paling tidak untuk sekarang.
"Apa yang ingin kamu katakan, Boy?" tanya Jen.
"Tidak ada." Boy tersungging. "Aku hanya ingin bilang betapa aku sangat bahagia."
Mereka lantas melanjutkan ciuman yang sempat terjeda; melampiaskan kasih bercampur kobaran nafsu yang telah membara, membakar segala asmara.
Jen meloloskan kaos yang dikenakan Boy, membiarkan tubuh atletis lelaki itu terekspos. Secara pelan - ia menurunkan risleting jeans Boy, kemudian memerosotkan celana panjang itu ke bawah.
Boy tidak mau berpaku tangan; sambil terus menyesap ceruk leher kekasihnya, ia menyingkap atasan tipis Jen Nera, mencari-cari dua tonjolan kenyal milik wanita itu. Pekerjaan Boy lebih mudah karena Jen tak mengenakan bra untuk melindungi buah dadanya. Jemari Boy pun segera menemukan pucuk yang sudah menegang.
Boy menegakkan badan, ia enggan berpaling sedetik pun dari pemandangan indah di hadapannya. "Kamu sangat cantik, Jen Nera." Ia lalu membungkuk demi mengecup rahang Jen.
Lelaki itu bergerak menuruni leher jenjang Jen; melayangkan sapuan di setiap jengkal kulit halus sang pujaan, lalu berhenti pada puncak kesukaannya. Boy mengisap bagian itu sambil meremasnya gemas dengan dua telapak tangan.
Pipi Jen pun berubah merona, ia membusungkan dada agar Boy lebih leluasa menyusu pada gundukannya. Sentuhan pada area itu berdampak hebat di bagian bawah sana. Milik Jen sudah terasa berdenyut dan mendamba sesuatu mengisi kekosongannya.
Puas memainkan bukit kembar Jen; Boy pun beralih menyusuri perut datar wanitanya, lalu merosot pada pusar, dan akhirnya tiba di inti sang kekasih.
Boy melepas celana dalam yang melindungi kewanitaan Jen - wanita itu pasrah saja. Kini milik Jen tampak jelas dalam sorot Boy - bersembunyi rapat di tengah dua lipatan yang dihiasi rambut-rambut tipis. Secara pelan, Boy menuntun Jen untuk melebarkan paha. Lelaki itu pun kembali menunduk untuk mencumbu bagian paling intim di bawah sana.
Jen seketika menggelinjang tak karuan. Ia menegang ketika lidah Boy menjilati titik tertentu dan mengisapnya tanpa ampun.
Darls, Bosen nunggu di WP? Baca POLY di Karyakarsa Kucing Hitam! Atau komen biar Ayana bagi Linknya 🖤
Thank you 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top