06. Her

Boy mendorong badan Jen Nera hingga terbaring di ranjang. Tatapan lelaki itu tak lagi sama - sorotnya berubah dingin dan kelam. Mengakibatkan Jen berdebar kencang, antara takut dan penasaran.

"Apa yang akan kamu lakukan, Boy?" Dada Jen naik turun karena napas yang kian memburu.

Boy menyeringai. "Sama seperti yang barusan kamu lakukan. Aku bukan lelaki egois yang maunya enak sendiri."

"Kamu nggak perlu melakukannya," sanggah Jen Nera.

"Kenapa, Je?" tanya Boy. "Kamu takut?"

"Kamu sama sekali bukan orang yang bakal membuatku takut." Jen Nera menantang dengan senyum yang terkembang.

"Jadi boleh?"

Boy mengurung Jen dalam bola mata pekatnya. Menjelajah tiap jengkal kulit Jen yang terekspos dengan matanya. Membuat bagian bawah Jen serasa gatal dan membengkak karena denyut.

"Lakukanlah. Aku juga penasaran seperti apa kemampuanmu," tantang Jen Nera.

Jen Nera lalu membuka lebar kedua kakinya yang jenjang. Mengundang Boy untuk menikmati ambang surgawi yang berada di sana.

Boy pun membungkuk. Kewanitaan Jen sedikit memerah dan licin. Ia menebak Jen juga sudah sangat bergairah sekarang. Terbukti dari lubrikan yang keluar setiap kali liang itu berkedut. Boy lantas membelai paha mulus Jen menggunakan jari-jari. Ulah lelaki itu mengakibatkan paha dalam Jen menegang karena geli.

Ia lantas membenamkan kepala di antara kaki Jen yang mengangkang. Boy lalu mengecup titik sensitif Jen yang bersembunyi di balik dua lipatan. Biji kecil seukuran kacang yang mulai basah karena saliva.

"Oh, God!" Jen Nera menegang. Ia memejamkan mata dengan kepala menengadah.

Jen mengintip cara Boy bermain di bawah sana. Semakin lama lidah lelaki itu bergerak liar pada klitorisnya. Mengitari bagian inti yang sudah basah dan sensitif hebat. Erangan Jen semakin tak terkontrol ketika Boy mengisap titik kecil itu secara kuat serta bertubi.

"Boy!" pekik Jen. Ia mencengkeram kain seprai kuat-kuat.

Jen Nera memang bodoh.

Ia sama sekali tak berpengalaman dalam urusan seksual. Jen hanya pandai merayu dan menggoda. Namun ketika sudah terbaring di ranjang - Jen mirip seekor anak domba lugu. Entah mengapa ia malah memilih pekerjaan yang sama sekali tak ia kuasai. Jen Nera pikir pelacur hanya cukup bermodalkan tubuh. Ternyata lebih dari itu.

Ia seharusnya menjadi pihak yang memberikan kepuasan. Tapi sekarang Jen malah menjadi penerima nikmat.

Wanita itu tak menduga akan merasakan sensasi menggairahkan dari Boy. Pengalaman pertama Jen Nera sebagai wanita panggilan tak berlangsung baik. Lelaki yang ia layani merupakan pria beristri. Mendadak - istri pelanggannya menemui dan mengajak Jen bicara. Ia tak bisa melupakan tatapan penuh kesedihan dari mata sang istri; tampak hancur, karena tahu suaminya baru saja berhubungan intim dengan seorang pelacur.

Jen Nera yang sebelumnya sudah merasa berdosa, bertambah nelangsa. Ia sadar sudah menjadi manusia hina dan laknat.

Boy terus memerhatikan ekspresi Jen - menebak apakah wanita itu menyukai permainan lidahnya. Dan cara Jen yang perlahan-lahan membuka pahanya lebih lebar adalah jawaban yang Boy butuhkan. Wanita itu seolah menuntut agar Boy semakin liar. Dan Boy melakukan itu.

Kedua tangan Boy kini berpindah pada bukit kembar Jen yang ranum. Setia di sana seraya meremasnya gemas. Menambah gelenyar nikmat bercampur geli yang membuat Jen hampir tenggelam di dalamnya.

Jen tidak tahu mengapa liangnya semakin berdenyut dan menuntut. Tubuhnya juga bergerak tak terkontrol - gemetaran. Rasa nikmat berganti ledakan geli bukan main. Ia telah mencapai klimaks.

"Oh! Ehm!" Jen menggelinjang dan lemas.

Boy tersenyum penuh arti seraya membiarkan Jen menikmati sisa-sisa dari pelepasan hormon endorfin. Hal yang sama seperti yang tadi ia rasakan ketika Jen memanjakan kelelakiannya.

Jen memiringkan badan dengan napas masih memburu. Sementara Boy ikut membaringkan badan di samping wanita itu. Ia memandangi Jen dengan teduh. Menelisik pipi Jen Nera yang bersemu merah kala terbakar gairah. Sangat cantik.

"Now, we're even." Boy berujar lembut.

Jen Nera mengangguk. Ia membuka mata dan memutuskan untuk menautkan tatapan mereka.

"Kamu tahu, Boy ..." gumam Jen Nera. "Ini pertama kalinya aku merasakan orgasme."

"Seriously?!"

Jen kembali menganggukkan kepala. "Aku tidak menyangka rasanya akan seenak itu," akunya.

Boy tetap membisu karena terkejut.

Kedua sudut bibir Jen pun membentuk tarikan melengkung. "Aku dulu melakukannya pertama kali dengan mantan pacarku. Lalu pengalaman keduaku adalah dengan pelanggan pertamaku. Mereka berdua tak memberikanku kenikmatan seperti yang kamu berikan tadi."

"Je?"

"Aku senang kamu mengenalkan sensasi itu padaku," ucap Jen. "Terima kasih, Boy."

Boy membelai pipi Jen yang masih hangat. "Kamu memberikannya padaku terlebih dahulu, Jen."

"Apa kamu suka dengan apa yang kulakukan padamu, Boy?" tanya Jen.

"Suka." Boy tersenyum.

"Kita memang benar-benar menjadi teman sekarang," kata Jen terkekeh.

Boy tak bisa memutus tatapannya. Jantung lelaki itu bertabuh cepat seperti hendak melonjak keluar. Ia sangat terhipnotis oleh tawa Jen yang memesona.

"Je," panggil Boy. "Can I kiss you?"

Jen Nera terkesiap. Ia dengan segera menggelengkan kepala dan beringsut bangun.

"We're friend, right?" sahut Jen Nera. "Friends don't kiss."

Boy termanggu dan sadar sudah melampaui batas. Dia konyol jika menaruh hati pada seorang wanita bayaran. Itu sama seperti seseorang yang percaya seratus persen pada penipu. Tentu saja ada alasan mengapa Jen Nera memperlakukannya dengan baik. Yah, karena Boy merupakan pelangan. Jen Nera adalah penjual jasa dan Boy seharusnya tak terlena.

"Sorry," kata Boy. Ia mengambil pakaian yang berserakan dan memakainya.

Tak ada lagi kata yang terucap dari bibir keduanya. Suasana yang berbanding kontras dengan kemarin.

***

"Ini dari koko."

Cecilia memberikan amplop berisi puluhan lembar uang seratusan ribu pada Jen Nera. Ia belum menyalakan mesin mobil - masih menyesap sebatang rokok di areal parkir apartemen.

"Thanks," ucap Jen Nera. Ia menghitung jumlah bayarannya. Tak sebanyak yang dijanjikan memang.

Cecilia mengembuskan kepulan asap dari mulut dan hidung. Mata wanita itu cekung dengan rona wajah pucat pasi. "Untung kamu ngajak si Boy itu main, Jen. Coba kalau nggak, mana mungkin koko kasih kamu duit."

"Ya, aku beruntung." Jen tersenyum kecut. "Makasi sudah bela aku semalam, ya, Sil. Andai kamu nggak melakukannya mungkin aku sudah diusir."

"Sama-sama," sahut Cecilia singkat.

"Kamu bilang siap menerima 'punishment', hal seperti apa itu, Sil?" selidik Jen Nera penasaran.

Cecilia mendengkus. "Dia menggunakan beragam sex toys untukku."

"Ah ... begitu." Bulu kuduk Jen Nera mendadak bergidik hanya dengan mendengarnya saja. Ia lalu menoleh ke arah Cecilia - ada hal lain yang ingin ia tanyakan lagi. "Sil, boleh tanya lagi, nggak?"

"Tanya aja." Cecilia santai mengisap puntung sigaret.

"Apa kamu benar-benar menikmatinya?" selidik Jen.

Cecilia terkikik. "Jangan bego, dong, Jen!" Ia menggelengkan kepala tidak habis pikir. "Aku sama sekali tak menikmati semuanya. Kalau pun aku kelihatan horny, itu cuma akting."

"Akting?"

"Jen, kita ini menjual fantasi. Sama seperti aktor yang berpura-pura di depan kamera. Kamu pikir aku menggunakan perasaanku tiap kali bekerja? Don't be ridiculous!"

Jen Nera pun mendengarkan saksama.

"Aku bahkan nggak menganggap mereka semua manusia. Tahu kenapa?" sergah Cecilia. "Karena aku nggak mau terikat apa pun dengan mereka. Aku nggak mau tahu siapa nama mereka, apa pekerjaan mereka, atau status mereka. Aku nggak peduli, Jen. Bukan urusanku. Urusanku adalah melayani secara profesional dan mendapatkan bayaran dari itu. Titik."

Jen Nera mengangguk.

"Kamu bener juga, Sil."

Cecilia meringis. "Why? Jangan bilang kamu in love sama si Boy-Boy itu? Huh?"

"Nggak!" kelit Jen Nera.

"Sebaiknya jangan baperan, Jen. Apa kamu nggak berpikir kalau Boy mungkin mendekatimu hanya karena ingin mendapatkan seks secara gratis?" tukas Cecilia. "Pacaran zaman sekarang hanya merugikan cewek. Kerja jadi wanita bayaran lebih menguntungkan. Lelaki membayar mahal untuk bercinta dengan kita."

"Aku juga berpikir begitu." Jen Nera tertunduk seraya memainkan kuku pada ibu jari.

"Kalau kamu memang pengen pacaran, cari yang kaya sekalian. Cowok yang bisa mengeluarkanmu dari kesulitan keuangan. Yang melemparkan segepok dolar selesai bercinta. Memberikan cincin berlian dan tas Hermès setiap selesai nge-date!"

Jen dan Cecilia kompak terbahak.

"Kamu benar, Sil!"

Tawa mereka berdua mendadak berhenti kala sosok Boy tiba-tiba berjalan masuk ke gedung parkir. Kehadiran lelaki itu memecah hening akibat bunyi derap kaki yang bertumbukkan pada tegel. Siluet tubuh Boy perlahan mendekat dari balik pencahayaan yang kurang memadai.

"Hei, itu si Boy, kan?" telisik Cecilia.

Jen Nera menelan ludah kasar. Mau apa dia menghampiri ke mari?

Darls, Bosen nunggu di WP? Baca POLY di Karyakarsa Kucing Hitam! Atau komen biar Ayana bagi Linknya 🖤

Thank you 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top