03. Boy

Jen Nera mengamati lelaki yang sekarang berdiri di sisinya. Kaos oversize polos dengan celana training sederhana. Kulitnya juga kecokelatan seperti terbakar matahari. Ia juga tak menggunakan masker demi menutup wajah. Ia tak punya kewajiban menyembunyikan identitas - sudah pasti ia bukan orang penting seperti tiga yang lain. Pikir Jen Nera.

"Aku Jen ... ehm, maksudku Je," kata Jen Nera. "Kamu Boy? Tadi mereka semua mencarimu."

"Ah ... jadi kamu tamu yang ditunggu Kak Vincent?" Boy balik bertanya.

"Vincent?" ulang Jen. Apa Vincent adalah lelaki mengerikan bermasker hitam itu?

Boy sadar sudah keceplosan. Ia menggaruk-garuk kepala hingga membuat rambut lurusnya sedikit berantakan.

"Damn it," gumam Boy. "Please, jangan sebut nama tadi saat kamu bertemu mereka nanti, ya!"

"Kenapa? Mereka publik figur? Selebgram? Artis?" selidik Jen. Ia sebenarnya tak terlalu peduli - bagi Jen uang lebih penting. Dan ia berpotensi kehilangan bayarannya malam ini.

Boy menggeleng. "Bukan, sih."

"By the way ..." Jen membuka kotak rokok dan mengambil sebatang. "Kenapa kamu ngilang? Nggak suka main sama wanita panggilan sepertiku dan temanku?" Ia mengamit sepuntung di sela bibir, kemudian menyulutnya.

Kepulan asap pun mulai terbawa angin malam. Jen tak acuh mengisap rokok melalui mulut dan mengeluarkan asapnya dari hidung.

"Sini, pinjam korekmu." Boy tiba-tiba tertarik untuk merokok juga.

Jen menyodorkan pemantik miliknya pada Boy. "Nih."

"Boleh minta rokoknya sekalian?" Boy meringis.

Jen mendecih. Dasar nggak modal. Setelah melihat Boy sudah menjepit puntung pada bibir - Jen pun mengarahkan korek menyalanya. Di luar dugaan, Boy justru terbatuk-batuk.

"Kenapa?" tanya Jen bingung. "Nggak biasa sama mentol?"

Boy menggeleng. "Bukan," sahutnya mengatur napas. "Ini pertama kalinya aku ngerokok."

"Hah?" Jen menatap Boy keheranan. "Kenapa sok-sok'an?"

"Abis kamu terlihat menikmatinya," kata Boy. Ia kembali bersandar pada pegangan balkon dan pelan-pelan mengisap sebatang.

Mereka berdua tak lagi bicara. Jen dan Boy tenggelam dalam pikiran masing-masing. Embusan angin menerpa helai rambut Jen yang beraroma citrus. Wangi yang membuat Boy diam-diam mengulum senyum.

"Aku bukannya nggak suka," ujar Boy tiba-tiba.

"Apanya?"

"Pertanyaanmu yang tadi. Soal kenapa aku menghilang dan menolak bermain bersamamu atau temanmu," jelas Boy. "Aku bukannya nggak suka. Cuman aku berpikir kalau bercinta akan terasa lebih indah jika dilakukan dengan orang yang kita sayang."

Mendengar perkataan Boy, Jen mendadak mengernyih. Sebelah alisnya terangkat seraya menatap Boy penuh cibiran. Nonsense.

Boy kemudian menoleh. "Kamu sendiri kenapa ada di sini? Nggak di dalam kamar bersama mereka semua?"

"Aku diusir," dengkus Jen.

Boy terkekeh. "Kenapa?"

"Karena kurang pengalaman."

"Oh ..." Boy menatap Jen lekat. Wanita itu tergolong manis - sayang sekali karena ia memutuskan menjadi wanita panggilan. "Emangnya kamu masih baru bekerja seperti ini?"

"Ini kali keduaku," jawab Jen jujur.

Boy memalingkan pandangan. Ia membuang puntung rokoknya yang sudah memendek. Lelaki itu berulang kali berdeham untuk menghilangkan canggung. Rasa penasaran menggelitik benak Boy. Banyak pertanyaan menumpuk untuk diutarakan.

"Kenapa - kamu memutuskan bekerja seperti ini?"

"Ya karena uanglah. Emang apa lagi?" kata Jen tersenyum getir. "Aku butuh banyak biaya buat kebutuhan kuliah."

"Kamu kuliah, Je? Semester berapa?" selidik Boy.

"Sedang susun skripsi." Jen lantas beralih ke arah Boy. "Kamu sendiri? Kenapa kamu berteman dengan teman-teman macam mereka?" Ia menunjuk ke dalam ruangan menggunakan dagunya. "Bukankah teman seharusnya orang-orang yang sepemikiran? Kutebak kamu hanya dijadikan pesuruh, ya? Dan kamu bertahan hanya karena mereka semua kaya. Mereka kasih kamu uang berapa tiap kali kamu mengerjakan tugas atau perintah mereka?"

Tawa Boy pecah. "Itu tebakanmu tentangku?"

"Iya," sahut Jen yakin. "Betul, kan?"

"Ya bisa dibilang begitu. Aku memang terpaksa bertahan bersama mereka," ujar Boy.

Jen mendecih. "Kamu, kan, cowok, emang nggak bisa cari pekerjaan apa?"

"Aku baru saja menyelesaikan S2, selepas ini - mungkin - aku akan mencari pekerjaan seperti katamu," jawab Boy menahan kekeh.

"Kamu sudah S2?" Jen menelisik penampilan Boy dari atas ke bawah. "Kukira kamu masih mahasiswa semester awal."

Boy seketika menyugar rambutnya ke belakang. Ekspresi lelaki itu mendadak pongah. "I will take that as a compliment."

Jen tersungging kecil. Geli akibat tingkah Boy yang kekanak-kanakkan.

"Salah satu dari mereka berkata kalau kami dipanggil buat melayanimu. Apa itu benar?" cecar Jen. "Wah, orang kaya emang beda. Traktir temen pakai cewek."

Boy terdiam seraya membuang muka.

Jen kembali melanjutkan, "Apa ini hari spesialmu sampai mereka mengutus kami untuk melayanimu?"

"Bukan hari spesial," jelas Boy.

"Terus?"

"Minggu lalu adalah peringatan satu tahun kematian ayahku. Kurasa mereka melakukan ini untuk menghiburku," terang Boy. Ia menerawang jauh ke arah langit dengan tatapan sendu.

Jen Nera terhenyak. Ia dan Boy sama. Sama-sama tidak memiliki ayah. Wanita itu lantas mengelus lembut punggung Boy yang lebar. Akibat ulah Jen, Boy mendadak salah tingkah.

"Aku ikut prihatin," ucap Jen. "Jadi ... apa perlu kita bercinta saja malam ini? Untuk menghilangkan kesedihanmu?"

Mata keduanya saling beradu. Untuk beberapa detik Jen dan Boy terhubung melalui tatapan. Tak ada yang bicara sebelum akhirnya Boy menyengat Jen lewat senyum hangatnya.

"Bagaimana kalau kamu melakukan hal lain untukku?"

"Hal lain?"

***

Jalan Tunjungan pada malam hari memiliki pesonanya sendiri. Pada sepanjang trotoar terdapat lampu-lampu temaram yang membangkitkan kesan romantis. Sejumlah bangunan peninggalan Belanda pun sudah berubah fungsi menjadi resto atau kafe. Kursi dan meja berjejer rapi dan dipenuhi pengunjung. Tempat ini memang ramai sebab merupakan salah satu kawasan wisata di kota Pahlawan. Bahkan ada yang bilang kalau Jl. Tunjungan memiliki suasana hampir sama seperti Malioboro di Yogyakarta.

Setelah berjalan kaki sebentar - Jen dan Boy pun tiba di pusat keramaian.

Terlalu banyak orang dan Jen berharap tak bertemu salah satu teman kampusnya. Jen malas jika harus berbasa-basi. Apa lagi menerima pertanyaan tentang siapa lelaki yang bersamanya sekarang.

"Kamu nggak pernah ke sini, Boy?"

Boy menggeleng. "Aku belum bilang, ya, kalau aku baru di sini?" sahutnya.

"Baru di Surabaya? Emang kamu sebelumnya di mana?"

"Adalah. Jauh," jawab Boy abu-abu. Ia memilih merahasiakan fakta tentang studinya di California.

Jen mendecih sinis. "Dih, sok misterius," sindirnya.

"Biar kamu nebak," kekeh Boy.

Itu seperti tantangan bagi Jen Nera. Wanita itu lantas mengerutkan dahi - mengialkan bahwa ia sedang berpikir keras.

"Kulitmu gelap nggak kayak Chindo yang lain ... jadi aku tebak kamu sering manas. Berarti kemungkinan kamu berasal dari kota-kota bercuaca terik seperti Bekasi atau Medan?" terka Jen.

Boy cekikikan. "Chindo? Kamu pikir aku keturunan Tionghoa?" Ia balik tanya.

"Iya, kan? Matamu sipit."

Boy semakin terbahak. "Rasis banget, sih, Je? Apa yang matanya nggak berkelopak ganda sudah pasti Cina?"

"Yup!" Jen mengangguk. "Kamu pasti cigos."

"Cigos?"

"Cina gosong," terang Jen.

Tawa Boy kembali pecah. Ia merapatkan tubuh mendekati Jen Nera karena berulang kali tertabrak kerumunan orang.

"Okay. Kalau aku Cina, aku kasih kamu tebakan. Mau nggak?" tantang Boy.

"Apa?"

"Apa bahasa Cinanya jual mahal?" lontar Boy.

Jen mengernyit. Dia mahasiswi jurusan Sastra Inggris, bukan Sastra Cina. "Nggak tahu."

"Gheng Xi Dhong." Boy cekikikan seraya menyenggol lengan Jen.

Kedua sudut bibir Jen pun tertarik ke atas hingga menciptakan garis melengkung. "Apaan, sih, Boy? Garing!" ejeknya.

"Garing tapi kamu ketawa!" Ini pertama kalinya Boy melihat wanita itu tersenyum. Seperti yang ia duga - Je terlihat cantik. "Dasar, gheng xi dhong!" godanya.

Netra Jen tiba-tiba tertuju pada salah satu kafe yang mereka lewati. Tempat itu menjual gelato dan kopi. Ia sangat suka gelato - tapi malam ini Jen seharusnya menghasilkan uang - bukan mengeluarkannya.

"Kenapa?" selidik Boy. "Mau gelato?"

Jen menggeleng. "Nggak."

"Tapi kamu ngelihatin terus," ujar Boy. "Bilang aja kalau mau, jangan jadi Miss Gengsi dong."

"Enggak," tegas Jen. Ia mempercepat langkah meninggalkan kafe. "Kita berdua, kan, sama-sama nggak ada duit. Nggak usah sok-sokan spending money, deh."

Boy menarik tangan Jen tanpa persetujuan. Lelaki itu menggandeng Jen Nera berbalik menuju kafe.

"Boy? Apa-apaan, sih?" protes Jen.

Bukan melepas, Boy justru merapatkan genggaman. Ia mengaitkan buku-buku jemarinya pada jari-jari Jen yang lentik. "Sekedar gelato aku masih mampu beliin kamu," ucapnya.

Pertemuan kulit mereka membangkitkan desir pada sekujur tubuh Jen. Ia serasa disetrum oleh sengatan listrik yang menjalar kuat di aliran nadi.

"Mau pesan apa, Kak?" sapa waiter yang berdiri di belakang counter table.

Boy menoleh ke arah Jen. "Mau rasa apa?" bisiknya. Ia belum melepaskan tautan jemari mereka.

"Dark chocolate," jawab Jen seraya membuang muka.

"Dark chocolate satu," kata Boy. Ia lantas merogoh ke dalam saku training dan mengeluarkan uang pecahan ribuan. "Satu ... dua ..."

Tingkah Boy yang sedang menghitung lembaran uang pun membuat Jen diam-diam menahan geli. Lelaki itu memang konyol dan apa adanya.

Setelah membeli gelato, Boy dan Jen melanjutkan perjalanan mereka. Dengan wajah berseri Jen menyuap sesendok demi sesendok es ke dalam mulut. Ia sangat suka sensasi dingin bercampur manis yang sekarang memanjakan lidahnya. Apa lagi gelato tidak mudah meleleh seperti es krim.

"Kamu pulang jam berapa?" tanya Boy.

"Aku di-booking sampai besok."

"Lapar nggak?" tanya Boy lagi. "Kita beli mie instan terus masak di apartemen, yuk."

Jen mengangguk. "Boleh."

Mereka kemudian masuk pada minimarket untuk berbelanja. Jen mengekori Boy dari belakang, ia melirik macam-macam merek mie instan pada rak gondola.

"Aku ambil mie ini, ya?" Jen meraih sebungkus mie instan bertuliskan Bibim Ramyun. Merek itu merupakan salah satu produk keluaran Busaraya Group atau PT. Busan-Raya.

"Jangan yang itu." Senyum Boy mendadak pudar. Ia mengambil mie lain dan menunjukkannya pada Jen. "Yang ini aja, ya."

***

Jen dan Boy duduk bersila pada balkon seraya memandangi langit malam yang makin berpendar. Udara menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Suara deru kendaraan yang lalu lalang pun tak lagi seramai tadi. Sudah sangat larut.

Mereka memutuskan menghabiskan mie instan di luar. Suara berisik dari dalam kamar cukup mengganggu selera makan keduanya.

Cecilia memang hebat - atau gila? Wanita itu betah melakukan persetubuhan hingga berjam-jam. Andai Jen Nera ada di sana dan tak diusir, dia mungkin sudah pingsan. Ternyata tidak ada pekerjaan yang mudah. Bahkan wanita BO sekali pun.

"Kenapa manyun? Masih lapar?" celetuk Boy.

Jen menggeleng. "Aku hanya memikirkan soal kedatanganku malam ini. Teman-temanmu pasti tak akan membayarku."

Boy terdiam.

"Salah satu dari mereka bilang besok mau mengajakku main. Kurasa dia yang bernama Vincent. Vincent itu pimpinan geng kalian, ya? Dia sedikit bossy dan terlihat ditakuti."

"Kamu memang hobi menebak dan membuat kesimpulan sendiri, ya, Je?" Boy meringis kecut.

Jen Nera tak peduli. "Kuharap permainannya tak seliar saat dengan Sesil. Paling tidak aku mendapatkan separuh dari bayaran yang dijanjikan kalau dia mengajakku bercinta. Hmm - seperempatnya pun tidak masalah," lanjutnya.

"Berbohong saja pada mereka bahwa barusan kita baru saja bercinta," kata Boy. "Bukankah mereka memang mengutus kamu dan temanmu untuk memuaskanku."

Jen menggeleng. "Terima kasih tapi tidak. Aku harus profesional. Dan lagi, aku merasa bersalah pada Sesil. Ia terpaksa melayani mereka bertiga sendirian. Jadi, besok harus menjadi giliranku."

Jen lantas menyandarkan punggung pada dinding. Ia menguap lebar karena kantuk. Waktu memang sudah lewat tengah malam.

"Bolehkah aku tidur di sofa malam ini, Boy?" tanya Jen. "Aku sangat mengantuk.

Boy mengurung Jen dalam dua bola mata pekatnya. Ia tidak mengalihkan pandangan sedetik pun. Raut Boy berubah tajam seperti busur panah yang siap melesat.

"Jangan di sofa, Je," sahut Boy. Suaranya terdengar berat. "Tidurlah bersamaku."

Darls, Bosen nunggu di WP? Baca POLY di Karyakarsa Kucing Hitam! Atau komen biar Ayana bagi Linknya 🖤

Thank you 🖤



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top