02. Booking Order
"Masuk."
Jen Nera hanya bisa melihat sepasang mata monolid dari si lelaki bermasker hitam. Pantas Cecilia memanggilnya dengen embel-embel 'Ko' atau 'Koko', lelaki ini pasti keturunan Tionghoa. Jen Nera makin yakin setelah menelisik kulit seputih susu milik si lelaki.
Mereka disambut ruang makan berinterior khas modern-klasik begitu masuk. Jen tertegun sesaat akibat terkagum oleh pigura besar berisi lukisan burung merak berekor biru. Sangat indah. Pada sisi kanan unit, deretan kaca jendela berjajar menggantikan dinding. Sementara di tengah sebuah sofa chesterfield tampak diduduki oleh dua orang lelaki yang juga mengenakan masker medis. Jen Nera menduga mereka tak ingin identitasnya diketahui.
"Mana Boy?" tanya lelaki yang tadi membukakan Jen dan Cecilia pintu.
Kedua lelaki di sofa saling berpandangan dan kompak mengendikkan bahu.
"Kok kalian bisa nggak tahu?" cecar lelaki itu agak kesal. "Sudah bilang kalau aku panggil cewek buat dia?"
"Udah," sahut salah satunya. "Dia tadi bilang nggak berminat."
"Nggak berminat?!"
"Aku sudah paksa tapi Boy bersikukuh nggak tertarik."
Lelaki bermasker hitam menggeleng tak percaya. "Ck. Dasar itu anak!" dumalnya.
Jen dan Cecilia melirik satu sama lain. Apa kehadiran mereka sekarang tidak dibutuhkan?
Cecilia berdeham. "Gimana, Ko?"
"Tenang aja, kita tetap main. Kedatanganmu dan temanmu nggak akan sia-sia." Lelaki itu menyorot pada Jen. "Siapa namamu?" tanyanya.
"Je," sahut Jen Nera.
Jen sadar lelaki bermasker itu sedang menyapu pandangan ke sekujur badannya. Ia seperti ditelanjangi. Jantung Jen kembali bergemuruh. Rasa mual juga mengaduk-aduk — seakan ada ular yang meremas-remas organ dalamnya. Jen tidak bisa membayangkan harus melayani lebih dari satu orang lelaki.
"Sesil dan Je, yuk, langsung ke kamar." Lelaki bermasker hitam berjalan mendahului, di belakang dua temannya yang lain pun mengekor.
Cecilia begitu santai tanpa beban. Ia sepertinya menikmati pekerjaan yang ia jalani. Berbeda dengan Jen. Wanita itu benar-benar mau muntah sanking gugupnya. Kalau tidak terdesak iming-iming uang, ia sudah pasti menolak. Tapi inilah hidup. Sudah bukan lagi zamannya berlagak suci hingga mati kelaparan. Jen muak dalam kungkungan Maria. Ia hanya memikirkan cara cepat untuk kabur dari sana. Meski harus menjual diri sekali pun.
Ya. Maria benar.
Mendiang ayahnya pasti menangis di akhirat sana. Dan Jen Nera melakukan ini bukan tanpa sesal atau rasa bersalah. Ia janji akan berhenti saat lulus kuliah nanti.
Lelaki bermasker membawa mereka ke dalam master bedroom yang terletak di paling ujung. Degup Jen Nera kian kencang. Inilah saatnya. Ia ingin kabur tapi tidak bisa! I really needed the money.
"Kamu tahu peraturannya, kan, Sil," kata lelaki bermasker tadi.
Cecilia mengangguk. "Yes, Master."
Master? Jen menoleh ke arah Cecilia sambil mengulas tatapan penuh tanya. Tanpa diduga, si lelaki menarik dagu Jen dan mengarahkannya padanya.
"Je, kamu mungkin belum tahu kalau aku penyuka permainan roleplay. Saat bermain denganku – kamu dan Sesil adalah budakku. Apa yang kukatakan dan kuperintahkan merupakan kewajiban yang harus kalian lalukan. Jika kamu tidak menurut, aku akan memberikanmu punishment."
Jen meneguk kasar ludahnya. Pantas Cecilia mengkhawatirkan kesiapan dan pengalamannya. Klien kali ini bukan orang normal seperti biasa. Dia adalah lelaki dengan fantasi super liar.
"Kamu mengerti?" tanya lelaki bermasker.
"I-iya," sahut Jen terbata.
"Bagus." Ia lantas berjalan menuju meja dan mengambil sebotol red wine. Lelaki itu lantas menatap tajam dua temannya yang berdiri pada sisi ranjang. "Kalian hanya bisa bermain atas izin dariku. Paham?"
Dua lelaki itu mengangguk.
"Buka pakaian kalian," titah si lelaki.
Cecilia tanpa malu melucuti crop top dan jeans yang ia kenakan. Tubuh sekalnya hanya ditutupi oleh baju dalam berwarna senada.
Jen mematung bak batu karang. Ini pertama kali ia melihat temannya separuh telanjang. Tanpa melakukan apa pun, Jen hanya berdiri seolah tanpa nyawa. Sontak saja Cecilia mengarahkan pelototan tajam untuk mengkode wanita itu. Jen Nera di sini untuk bekerja — bukan makan gaji buta.
Secara kikuk, Jen menurunkan mini skirt-nya. Ia juga melepas tanktop hingga menampakkan buah dada yang masih dibalut bra berenda. Kedua kaki jenjang Jen terekspos dan menjadi pusat perhatian. Kulit eksotis wanita itu kian menambah aura keseksiannya. Dua teman lelaki bermasker tampak mematri pandangan pada Jen. Mereka sudah tersihir. Sekaligus tergoda hebat.
"On your knees."
Cecilia segera menuruti perintah sang Master. Jen pun mengikuti gerakan temannya itu. Mereka berdua berlutut di hadapan 'tuannya.'
Lelaki bermasker tiba-tiba mengguyur badan Cecilia dengan anggur merah. Kulit putih mulus itu kini basah kuyup oleh red wine. Bukan takut, Cecilia justru terlihat bergairah. Sesekali wanita itu menjulurkan lidah untuk menampung amer memabukkan yang disiramkan. Mereka tak peduli meski lantai granit basah dan tergenang cairan merah.
Bulu kuduk Jen bergidik. Entah apa yang akan dilakukan lelaki bermasker hitam padanya nanti.
"Je, sekarang kamu jilat badan Cecilia sampai bersih."
Jen Nera terbelalak. Bibir wanita itu gemetar karena penuh keraguan. Dengan gamang ia mendekati Cecilia seraya membuka sedikit mulutnya. Lidah Jen menyapu ceruk leher Cecilia pelan-pelan. Temannya itu terdengar mendesah.
Sesuatu yang membuat Jen benar-benar ingin muntah! Cecilia memang cantik tapi Jen bukan penyuka sesama jenis.
Cecilia kemudian membuka kaitan bra dan membiarkan kedua bukit kembarnya terbebas. Wanita itu mengarahkan kepala Jen agar memainkan pucuknya. Jen Nera sendiri mulai berpikir kalau Cecilia memang benar-benar terangsang — bukan sekedar akting.
"Oh, ya. Gadis pintar," puji lelaki bermasker.
Jen memejamkan mata dan mengecup tonjolan dada Sesil yang sudah menegang. Ia merasa semenit bagai setahun. Waktu berjalan sangat lamban dan perutnya sungguh mual.
"Kiss, me, Je." Cecilia menarik dagu Jen agar mendekat.
Jen Nera terbelalak dan menerima serbuan Cecilia yang tiba-tiba. Temannya itu tak ragu - apa lagi malu - mencium bibir Jen penuh nafsu. Memaksakan lidahnya masuk untuk membelit lidah mereka.
Tawa ketiga lelaki di dalam kamar itu mulai pecah. Mereka sungguh menikmati pemandangan erotis yang disuguhkan oleh dua pelacur bayaran. Setidaknya sampai ...
"Howeeeek ...!" Jen tak lagi bisa membendung kontraksi otot perutnya. Beruntung ia berhasil menelan lagi isi lambung yang hampir keluar. Tetapi itu justru berakibat menjadikannya lebih mual dari sebelumnya.
"Je!" Cecilia melotot tajam.
"Apa dia pemula?!" sentak lelaki bermasker. Semua imajinasi panasnya mendadak buyar.
"Maaf ... a-aku ..." Jen Nera tergagu.
Cecilia bergegas menimpali. "Maafkan Je, dia memang masih baru dalam pekerjaannya."
"Dia merusak suasana!" sungut si lelaki. "Keluarlah kalian."
Cecilia merangkak pada kaki lelaki bermasker hitam. "Please. Forgive us, Master. I'm ready for the punishment."
"Are you sure?" tanya si lelaki. "I'll do the things that make your legs shake."
Cecilia mengangguk. "Do me, Master."
Lelaki bermasker lantas menatap Jen tajam. "Kamu, keluar!" usirnya. "Aku akan bermain denganmu besok pagi. Atau mungkin kamu lebih cocok melayani Boy!"
***
Panorama kota Surabaya tertangkap jelas dari balkon. Kilau lampu kerlap-kerlip mengalahkan sinar bintang yang ada di langit. Malam itu terlalu gelap dan lingsir. Tak ada bulan, bahkan awan sekali pun.
Kepulan asap dari rokok yang Jen nikmati keluar melalui mulutnya. Ia mengisap kembali puntung rasa mentol itu. Menahan sebagian asapnya dalam tenggorokan sebelum mengembuskannya ke udara.
Jen bukan perokok.
Namun sejak bergaul dengan Cecilia – ia jadi ikut kecanduan nikotin.
Jen merasa bodoh sekaligus tolol. Ia juga berutang maaf pada Cecilia. Entah apa 'punishment' yang lelaki mesum itu berikan. Yang jelas, dari luar kamar Jen bisa mendengar rintih bercampur pekikan dari Cecilia. Mengerikan ...
Saat sedang melamun, pintu kaca balkon tiba-tiba terbuka. Hal itu membuat Jen terkejut bukan main.
"Shit!" umpat Jen.
Ia menengok ke belakang seraya memegang dada yang naik turun. Batang rokoknya bahkan sampai terjun bebas lepas dari genggaman.
"Sorry. Kaget, ya?"
Seorang lelaki bermata monolid sudah berdiri di ambang pintu. Senyum ramah membingkai bibir tipisnya yang kemerahan. Tarikan lebar pada bibirnya membuat mata lelaki itu menyipit membentuk bulan sabit.
Dia jelas bukan salah satu dari ketiga orang tadi.
"Ka-kamu siapa?" tanya Jen.
"Aku Boy." Ia beradu mata dengan Jen lalu berjalan mendekat. Dengan santai — Boy menyangga siku pada pegangan balkon. "Kamu?" tanyanya.
Darls, Bosen nunggu di wp? Baca POLY di Karyakarsa Kucing Hitam! Atau komen biar Ayana bagi Linknya 🖤
Thank you 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top