9 - Terjebak

Suasana saat ini teramat mencekam. Lintang, Gina dan Berlian merasakan rasa takut dan ketegangan yang luar biasa. Mereka bagaikan terjebak dalam sebuah peperangan hebat. Diam di tempat dan tak tau harus bagaimana. Berdiri gemetar dengan jantung yang bergemuruh kacau.

Lintang menyipitkan mata dan mengulas senyum lega saat sosok yang sedari tadi sangat diharapkannya muncul melompati tembok sekolah yang terukur lumayan tinggi. Cowok itu melompat dan mendarat dengan sempurna.

De javu. Ya, Lintang merasakannya. Awal perjumpaannya, sepuluh tahun yang lalu. Bersama Galang, seorang anak SMA yang menjabat sebagai jendral tawuran. Kini Galang tetap dengan balutan seragam SMA. Namun, bukan sebagai remaja berumur tujuhbelas tahun yang gemar tawuran. Melainkan Galang yang berhasil meninggalkan segala sifat buruk masa remajanya dan telah menjelma sebagai abdi negara.

Lintang tahu fase-fase yang Galang lewati hingga menjadi seperti sekarang ini, sebab pria itu selalu berada di sisinya. Sampai saat 'itu'.

Baik, ini bukan waktu yang tepat untuk bernostalgia.

"Kalian nggak kenapa-napa?" tanya Galang cemas saat tiba di hadapan mereka. Ketiga cewek itu lantas mengangguk.

"Ayo kabur dari sini." Galang kemudian membimbing tiga cewek itu menuju tempat yang aman.

Dalam sekedipan mata, mereka dikejutkan oleh Galang yang bergerak secara tiba-tiba memperisai Berlian saat bahaya menerjang ke arah cewek itu. Erangan lantas terdengar dari mulut Galang ketika dua batu sekaligus menghantam keras punggungnya secara bertubi-tubi.

Manik mata Galang tertuju pada Lintang yang sedang menatapnya khawatir. Sejurus kemudian ia menunduk menatap Berlian yang ada di hadapannya. Mempertanyakan keadaan gadis itu. Berlian mengangguk seraya menjawab bahwa ia baik-baik saja.

Bahaya seakan tak pernah lekang. Tanpa mereka sangka dan entah dari celah mana, sebuah batu bertekstur tajam melesat dan melukai betis Berlian. Gadis itu hampir saja roboh ke tanah andai Galang tak menahannya.

Mereka semakin panik saat melihat darah yang mengucur pada betis Berlian.

"Astaga, Li. Lo nggak apa-apa?" tanya Gina panik. Berlian mengangguk meyakinkan namun rintihan tertahan keluar dari mulutnya.

Sontak, Galang meraih lengan Berlian dan merangkulnya. Lintang terkesiap ketika Galang berseru untuk segera mengikuti langkahnya. Ia dan Gina berjalan dengan lengan tertaut erat mengikuti jejak Galang dan Berlian dengan hati-hati.

Lama-kelamaan frekuensi lemparan batu dari peserta tawuran itu semakin intens. Perlahan tercipta jarak yang membentang jauh di antara mereka. Untuk sesaat Lintang dapat menarik napas lega saat melihat Galang dan Berlian telah tiba di tempat yang lebih aman. Galang mendudukkan Berlian lalu menoleh menatap Lintang dan Gina yang masih terjebak di sana.

"Lintang sama Gina gimana?" Ada getar dalam suara Berlian. Galang menoleh dan bangkit berdiri. Ia menghela napas berat kala Lintang memberi kode untuk tidak meninggalkan Berlian sendirian.

"Mereka akan baik-baik aja." Galang memandang Lintang dengan sorot mata penyesalan. "Semoga."

Mengambil sapu tangan di dalam sakunya, Galang membalut luka Berlian dengan gerak cekatan. Di lain pihak Lintang harus bersabar mendengar Gina yang terus mengoceh panik.

"Aduh gimana nih, Lin?! Aaaak!" Gina berteriak saat ada batu yang menerjang ke arah mereka. Lintang menarik cewek itu ke kanan untuk menghindar. "Ya Rabb, kenapa sih pada lempar-lemparan batu segala! Aaaaak!" teriak Gina lagi.

"Haduh, mereka nggak ada kerjaan ap—" cerocosan Gina terhenti seketika. Berganti dengan mulut menganga tak percaya saat Lintang menangkis sebuah batu besar dengan tangan kosong.

"Lin ... you okay?" Gina memandang cemas Lintang yang menggeleng sambil menggigit bibir, Gina pun ikut meringis, "uww, pasti sakit. Lo sih mukulnya udah kayak main bulu tangkis aja."

"Refleks, Na," ujar Lintang seraya melakukan hand flapping untuk mengurangi rasa sakitnya. Gina dan Lintang semakin merapatkan diri saat menyadari kedua kubu tawuran itu kian mendekat.

"Ya Allah, kirimkanlah seorang ksatria untuk menyelamatkan kami," ratap Gina. Mulutnya komat-kamit merapalkan doa.

GEDEBUK!

Gina dan Lintang mengedarkan pandangan saat indra pendengaran mereka menangkap suara sesuatu jatuh yang terdengar keras. Eh ternyata itu seseorang, bukan sesuatu. Pupil mata Gina melebar mendapati Dion yang jatuh dengan posisi terjengkang. Cowok itu berdiri dan mengusap bokongnya yang teramat sakit karena mendarat dengan sangat tidak indah setelah melompati tembok sekolah. Berhenti meringis meratapi nasib pantatnya, Dion berlari menuju Gina dan Lintang dengan susah payah untuk menghindari batu-batu yang berterbangan.

"DION!" Gina memekik saat melihat Dion jatuh tersungkur karena lontaran batu yang menerjang bahu kirinya.

Mendengar suara Gina, cowok itu kontan segera bangkit dan kembali berlari sambil memegangi bahunya.

"Lo nggak kenapa-napa?" tanya Dion dengan kedua tangan menangkup pipi Gina yang pucat. Cewek itu mengangguk cepat sebagai respon.

Lintang mengulum senyum saat melihat tangan Dion yang beralih untuk menggenggam erat jemari Gina.

"Keadaan lo gimana, Lin?"

"Iya, gue baik-baik aja." Setelah menjawab pertanyaan Dion, Lintang terperanjat seraya mendorong Gina dan Dion untuk menghindari batu yang menuju ke arah mereka, sedangkan dirinya sendiri jatuh terhuyung ke belakang.

Belum sempat Lintang berdiri, dua kubu tawuran itu telah bentrok dan terlibat perkelahian fisik. Dari kejauhan, Galang semakin dilanda gundah gulana saat mengetahui Lintang yang terpisah cukup jauh dari Dion dan Gina.

Namun, apa yang harus Galang perbuat? Ia tak bisa meninggalkan Berlian. Perkataan Pak Handoko untuk tidak lengah terngiang-ngiang dalam kepalanya. Sedangkan hatinya berteriak keras agar berlari mencapai gadis itu.

Lintang terus meringis ketika melihat kekacauan di sekitarnya. Tubuh Lintang membeku saat sebuah lengan melingkari lehernya.

"Lo harus jadi sandera," bisik cowok asing itu pada Lintang. Lintang menghela napas, teringat akan info yang dulu sempat Galang beritahukan padanya tentang dunia tawuran. Dalam suatu kondisi, cewek akan dimanfaatkan sebagai sandera untuk memaksa salah satu pihak menyerah. Tapi kan Lintang bukan siswi dari kedua sekolah itu. Lalu apa gunanya dia jadi sandera?

Sedetik kemudian Lintang menggigit lengan yang melingkari lehernya. Dengan ekspresi takut yang dibuat-buatnya berlebihan, Lintang melepaskan diri dan berlari kencang setelah meninggalkan tendangan cantik pada tulang kering cowok itu. Bak bintang iklan susu pelangsing, tubuh Lintang bergerak menyamping untuk menghindari dua perkelahian yang hampir bertubrukkan. Senyum lega Galang mengembang saat melihat Lintang yang hampir mencapainya.

Tak terduga, tubuh Lintang terdorong kencang karena perkelahian di belakangnya. Dengan keadaannya yang juga sedang berlari dengan super cepat, Lintang tak bisa mengontrol langkahnya. Belum lagi permukaan tanah di tepi jalan yang menurun mempercepat gerak kedua kakinya.

Deg. Langkah Lintang otomatis terhenti saat merasakan ada kedua tangan yang menangkap tubuhnya. Pipinya menempel pada dada bidang seseorang. Jantung Lintang berdebar lebih kencang seperti genderang mau perang. Abaikan, itu lirik lagu.

Lintang dengan napas yang masih terengah-engah, mendongakkan kepala. Kedua iris hitam menyambutnya dengan menawan. Terik mentari menerpa secara langsung bak lampu sorot pementasan teater. Kedua insan itu saling pandang dalam posisi tubuh layaknya adegan yang sering muncul dalam FTV siang.

Galang melepaskan rengkuhannya dan melangkah mundur. "Lo nggak apa-apa, kan? Nggak ada yang luka, kan?" tanya Galang cemas.

Lintang mengangguk kaku. "Iya, gue nggak apa-apa."

Mencoba menetralisir debar jantungnya, gadis itu melengos dari hadapan Galang dan menuju ke arah Berlian seraya membuka pembicaraan. Lintang kemudian duduk berselonjor meluruskan kakinya dan bersandar pada pohon besar yang melindungi mereka. Kedua gadis itu berbincang dan tertawa bersama saat Lintang melontarkan guyonan untuk mencairkan ketegangan.

Galang turut bergabung dan duduk di sebelah Berlian. Cowok itu menatap lurus Lintang yang ada di hadapannya. Maaf....

***

Setelah selesai melaporkan peristiwa yang terjadi hari ini. Galang dan Lintang duduk dengan hening di sofa ruang tengah. Gadis itu tersedak saat melihat Galang yang membuka kaos berwarna biru dongker yang melekat di tubuhnya. Cowok itu dengan sangat santai menggeser duduk mendekat ke arah Lintang.

Gadis itu menggerutu dalam hati, mengapa Galang hobi sekali membuat jantungnya ikut olimpiade lari, sih?

"Punggung gue sakit. Memar ya, Lin?" Pertanyaan Galang membuat Lintang tersentak. Punggung Galang terpampang nyata di hadapannya. Benar saja, efek hantaman batu itu membuat punggung Galang membiru. Hampir bengkak.

"Iya, parah." Lintang bagaikan tersengat listrik saat menyadari telunjuknya yang menyentuh kulit Galang. Astaga, harusnya Lintang biasa aja dong, dia kan sering pegang-pegang pasien.

"Sebentar," ujarnya. Galang menoleh melihat Lintang yang beranjak dan berjalan cepat menuju dapur. Tak memakan waktu lama gadis itu kembali dengan baskom kecil berisi es dan sebuah handuk.

Usai meletakkan baskom kecil itu di meja, lalu duduk bersila di atas sofa. Tangannya bergerak untuk mengompres punggung Galang dengan es yang telah terbungkus handuk itu. Memar sebenarnya tidak begitu berbahaya dan akan hilang dengan sendirinya. Namun, nyeri akibat memar juga akan sangat menganggu gerak tubuh. Untuk itu, cedera memar sebaiknya segera diberi penanganan.

"Lin...."

Darah Lintang berdesir saat suara Galang memecah keheningan.

"Hm?" Gadis itu berdeham menanggapi.

"Masalah Alvian. Sampai sekarang kita masih belum tau apa pun, apa motif dia mengirimkan surat-surat itu ke loker Berlian."

Galang dan Lintang terus berdiskusi untuk membahas analisis mereka tentang perilaku Alvian. Galang juga mengutarakan tentang keberadaan Alvian yang menatap tajam mereka bersama Berlian saat kembali ke sekolah setelah tawuran itu dibubarkan oleh pihak berwajib. Pikiran Lintang dan Galang dipenuhi oleh rasa penasaran. Sebenarnya apa yang tersembunyi di balik sosok Alvian yang begitu misterius.

Situasi kemudian kembali hening. Setelah cukup dengan kompresannya, Lintang mengambil obat oles untuk meredakan memar dari kotak P3K. Obat oles itu mengandung heparin natrium dan dapat berfungsi sebagai anti koagulan yang dapat mencegah gumpalan darah yang telah terbentuk.

Mereka terjebak dalam pikiran masing-masing. Hanya detak jarum jam dan suara radio yang menyala membahas tentang berita terkini. Acara berita pada radio itu sekarang berganti dengan acara musik remaja. Sebuah lagu mengalun dengan indah sebagai pembuka acara. Lagu yang membuat Galang dan Lintang sama-sama membeku di tempat. Cinta Takkan ke mana-mana dari Petra Sihombing.

Masihkah ada padamu sedikit bayang diriku

Akankah suatu saat kau berubah pikiran

Dan kembali

Masihkah ada padamu sedikit cinta untukku

Akankah suatu saat kau kembali kepadaku

Memang kita telah jauh rasanya, memang kita sudah tak bersama

Jika memang kita ditakdirkan 'tuk bersama selamanya

Cinta takkan ke mana-mana

Galang kembali memakai kaosnya dan berbalik untuk menatap Lintang dengan sorot mata begitu lembut. Cowok itu tersenyum. Sangat tipis. Satu hal yang semakin Galang yakini dalam hati.

Cinta memang tak akan ke mana-mana.

Bersambung

Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar 🥰

Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗

Regards, Iin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top