8 - Curhat?

Galang dengan beberapa anak cowok yang lain sedang berada di kelas untuk berganti seragam seusai pelajaran olahraga. Sedangkan para cewek dan yang lainnya sudah pada kabur ke kantin atau ke manapun yang mereka suka.

"Ebuju... body lo berotot amat Lang, macam bintang iklan. Rajin nge-gym lo yak?" tanya Udin penuh decak kagum saat Galang membuka kaos olahraganya.

Galang hanya terkekeh kecil sembari meraih seragamnya. Perhatiannya tertuju pada Dion yang sedang termenung di bangkunya. "Kenapa tuh anak? Suram amat." Galang menunjuk Dion dengan dagu. Sedangkan tangannya kini sedang sibuk mengancing seragamnya.

"Hooh, ngapa tuh bocah? Biasanya juga koar-koar tiada henti kayak soang keselek speaker." Udin berjalan mendekat lalu menepuk bahu Dion yang sedang duduk dengan pipi menempel di meja.

"Kenapa lo, bro?" tanya Udin menekuk lutut dan menyetarakan wajahnya dengan Dion. Udin tersenyum lebar, menampilkan satu lesung pipinya yang tercetak dalam.

"Kagak napa-napa," sahut Dion malas.

"Halah, jangan kayak cewek dah, Yon." Udin berdiri lalu merebut sisir milik Yudhis. "Sampaikanlah isi hatimu. Jika hatimu bicara, Udin memahaminya," jelas Udin seraya menepuk-nepuk dadanya sendiri dengan bangga.

Sontak teman-teman yang lain tertawa mendengar perkataan Udin yang melontarkan slogan Bu Ratna saat pelajaran Bimbingan dan Konseling. Jika hatimu bicara, BK memahaminya.

Dion menghela napas berat kemudian duduk dengan tegak. "Kayaknya...," cowok itu menggaruk belakang kepalanya, "gue suka deh sama Gina."

Seketika ruangan itu menjadi hening. Sampai seimprit suara dengan nada rese dari Jaenudin Jaja Miharja terdengar. "O."

Spontan Dion melotot mendengar respon Udin yang teramat singkat dan sangat menyebalkan itu. "Gue serius, combro!" seru Dion berdiri menggebrak meja.

"Nyantai kali, Yon," timpal Shandy terkekeh, kedua tangannya terulur untuk memijat-mijat bahu Dion.

"Ya lo pada lempeng amat responnya!" ujar Dion emosi.

"Ya abis, kita-kita harus koprol sambil tari saman gitu?" Udin tersenyum meledek. "Dari zaman purba keleus kita tau lo suka sama Gina."

Dion terlihat kaget dan melebarkan pupil matanya. "Serius?!"

"Yah eyalah. Anak ayam baru netas juga udah tau lo sama Gina ada rasa!"

Dion mendengus pelan. "Tapi kok tuh cewek kayaknya kagak sadar?"

"Gina?"

Dion mengangguk kaku.

"Ya karena lo berdua tuh sama begonya!" tandas Udin.

"Wanjay, telak!" sahut Shandy diiringi dengan gelak tawanya.

Anak-anak yang lain juga ikut menertawakan Dion yang merengut kesal. Namun, tak ayal cowok itu juga ikut tertawa. Memikirkan kembali bahwa yang dinyatakan Udin itu memang benar adanya.

"Sekarang gimana, lo mau dor-dor si Gina? Emang ya, mesti ada kompor dulu baru bisa nyadar."

"Si Kiev maksud lo?" tanya Yudhis memastikan.

"Yaps! Beh, untung ayank Riri kagak fans berat sama ntu seleb." Udin mengkeplak kepala Dion yang terlihat kembali melamun. "Eh, jawab kupret! Lo mau nembak Gina apa kagak?!"

"Gue...."

Udin menghela napas. "Lo takut ditolak?" Dion diam membisu.

"Terus takut lo berdua bakalan canggung, jauh-jauhan dan nggak bakal kayak sekarang lagi?" Udin berdecak saat Dion menganggukan kepalanya.

"Elu juga sih, friendzone udah mendarah daging! Makanya temenan sama cewek tuh berbahaya. Jangan libatin perasaan berlebihan. Manis, kemanisan. Asin, keasinan. Asem, keaseman. Pait, kepaitan. This is it! Sepas-pasnya ajalah."

"Lo Udin apa Parah Quin?" Yudhis menoyor kepala Udin yang sekarang cengengesan tidak jelas.

"Tapi lo semua tau kan pacaran bukan prioritas gue. Gue bukan seseorang yang becus ngurus hidup gue sendiri apalagi ngurus hidup orang lain. Gue bukan seseorang yang pacar-able banget. Gue selalu jailin dia dan selalu bikin dia jengkel. Gue cuma punya sepeda buat ngajak jalan, gue juga nggak punya duit buat beliin apa yang dia mau atau bikin surprise tiap bulan—" Omongan Dion terpotong saat telunjuk Udin menutup bibirnya.

"Sst... lo itu pacar-able kok, Yon. Walaupun congor lo kagak ada saringannya kalau lagi sama Gina, tapi dibalik itu semua lo care sama dia. Dan juga ouch kemon, bro. Kita ini masih muda, belom kerja. Duit juga masih nadah orang tua, jadi untuk belanja-belanja ria menguras kantong itu bukan tanggung jawab kita sebagai cowok. Dia belum jadi bini lo. Lagian Gina juga bukan cewek matre yang demen barang branded atau bunga satu kontainer. Lo biasa traktir ciki atau batagor aja udah girang kan tuh bocah."

"Tapi gue nggak pernah punya pengalaman pacaran. Gue nggak bisa ngomong manis yang bakal perhatian buat ingetin makan, ingetin tidur—"

Udin mengerucutkan bibir Dion dengan tangannya. Cowok itu berdecak gemas. "Lo emang nggak pernah ngomong manis buat nunjukin perhatian lo. Tapi coba lo ingat-ingat saat lo nyeret Gina buat makan ke kantin saat tuh bocah keranjingan nonton video konser Kiev."

"Elo yang selalu jitak kepalanya saat ngajarin fisika tapi cuman elo yang bisa bikin dia ngerti."

"Atau lo yang panik gendong dia saat tuh cewek pingsan dan acuhin perintah Pak Heru buat nunggu tandu, padahal lo tau Pak Heru nyeremin banget," sahut Yudhis.

"Lo juga yang nyebar foto ama video aib dia yang lagi tidur ngorok tapi diam-diam lo ngulurin tangan buat ngelindungin muka Gina biar nggak kena sinar matahari."

Dion lantas terkejut mendengar perkataan teman-temannya yang bertubi-tubi tanpa henti. Bagaimana mereka bisa sepeka itu pada dirinya, coba?

"Nah! Lo itu perhatian, Yon! Banget, malah! Lo langsung bertindak, kerja nyata! Ngga cuman omong manis tiada bukti. Itu yang penting, man! Pede aja lageh!" tandas Udin.

"Sekarang gue jadi mikir, lo ... sayang banget sama Gina ya, Yon?" tanya Shandy dengan nada serius.

Galang tersenyum mendengar sesi curhat para cowok yang sebenarnya terpaut sepuluh tahun lebih muda darinya itu. Manik mata Galang kemudian melirik Alvian yang baru saja memasuki kelas lalu duduk memasang earphone di kedua telinga. Alvian lalu tenggelam dalam bukunya yang setebal kulit siluman kerbau.

"Gina temen gue dan gue nyaman sama dia. Oke, gue akuin," Dion kembali menghela napas, "gue sayang sama dia. Tapi ngebayangin gue sama dia bakal jauh gara-gara cinta. Gue nggak akan sanggup...."

Semuanya terhenyak mendengar perkataan Dion yang begitu lirih dan memilukan.

"Yon...." Udin menatap Dion dengan bibir mengkerut.

"Drama lo, Din!" Shandy menimpuk Udin dengan kertas.

Udin lantas menjitak kepala Shandy. "Lo juga, Shan! Sama Arlyn udah friendzone-an dari brojol. Dari owe-owe selalu berdua kayak kembar siam. Gue tau lo punya perasaan lebih. Terus alasan lo juga sama kayak Dion?"

"Gini ya, Din. Saking sayangnya, dia ada di dekat gue aja kayaknya udah cukup."

Seketika mereka kembali membisu. Tanpa sadar Dion dan Galang mengamini perkataan Shandy. Namun, Udin menunjukkan respon berbeda, cowok berkulit hitam manis itu berdecih tidak suka.

"Cukup-cukup jigong lo bau menyan. Entar kalau diembat cowok lain aja mewek lo pada," kata Udin remeh.

Galang, Shandy dan Dion lantas mendengus bersamaan. Terlebih Dion yang semakin gegana, gelisah galaw merana.

"Nih gue bilangin, yang bener tuh macam gue! Berjuang sampai titik darah penghabisan! Biar saingan gue si Bonar anak juragan jengkol yang kebonnya berhektar-hektar. Gue nggak bakal menyerah sekalipun untuk menjadi imam masa depan ayank Riri. Walaupun gue cuman punya motor bebek kredit kagak lunas-lunas, cinta gue semahal sunbright like a diamond, sunlight mama lemon. Cinta gue bahkan jauh lebih mahal dari tas super mewahnya Syahrini!"

"Congor lo dah, Din... Din.... Kalau elo sih berjuangnya udah kayak mau nikah besok pagi!" cetus Yudhis bersungut-sungut.

"Ya kalau nggak begono, ayank Riri bakalan jatoh ke pelukan tuh Bonar similikiti!" tegas Udin.

"Tapi nih ya, Din. Andai Riri khilaf terima cinta lo. Tapi suatu saat lo putus terus jadi mantan. Semuanya udah beda dan nggak akan lagi sama. Bahkan temenan aja kayaknya susah banget. Lo bakal kayak gimana?" tanya Shandy yang memang tak pernah akur dengan yang namanya mantan.

Sesaat Udin menghela napas. Udin sendiri tak kuat membayangkan hal itu terjadi padanya dan ayank Riri. Haduh, ini pertanyaan berat. Halah, si Shandy. Udin jadian aja belom tentu, malah ditanyain perasaan kalau udah jadi mantan. Nyelekit, cuy.

"Ya, sedih lah." Perhatian mereka sontak tertuju pada Galang yang baru saja bersuara.

"Untuk bagaimana pun rasa canggung itu bakalan hadir. Gimana pun kita berusaha, keadaan nggak bakalan lagi sama. Apalagi kalau sadar kita masih sayang dia ditambah dengan jutaan kenangan. Lupain mantan emang nggak semudah Spiderman gelantungan.

"Sakit sih, saat ada yang bilang kita cuman ngurusin jodoh orang pas pacaran udah lama tapi berakhir putus juga. Tapi ya mau gimana lagi, kita tetap berharap bahwa emang dia jodoh yang ditentukan buat kita. Cinta ngga akan ke mana dan yang kita tau, tulang rusuk pasti akan kembali pada tubuh pemiliknya—" Mereka tertegun mendengar petuah dari Bung Galang yang telah mengecap asam garam dunia permantanan.

"Lang," tiba-tiba suara Udin menginterupsi, "lo curhat?"

"Asem."

***

"Ini, tolong ambilin angket ya di fotokopian depan. Mesin fotokopi sekolah rusak. Udah dibayar, kok. Tinggal ambil aja. Ibu minta tolong ya," ujar Bu Ratna.

Berlian dan Lintang pun mengangguk patuh. "Eit, tunggu dulu, sebentar," tahan Bu Ratna.

"GINAAAA!" panggil Bu Ratna pada Gina yang terlihat sedang berjalan sendirian.

"IYA BU!" sahut Gina tak kalah membahana. Gadis itu kemudian berlari ceria menuju guru BP itu.

"Siap, komandan!" Gina memberi hormat. "Ada apa, Bu Ratna yang cantik jelita?" tanya Gina sembari tersenyum lebar.

"Kamu kemaren berantem lagi sama Dion?" tanya Bu Ratna sambil menyipitkan mata.

"Berantem? Kagaklah, Bu." Gina tertawa kaku seraya mengibas-ngibaskan tangannya. "Kita berdua cuman beradu argumentasi. Ibu tenang aja, nggak usah khawatir, kita berdua aman, damai dan sentosa, kok," kata Gina menyengir. Lintang dan Berlian pun terkikik geli. Damai sentosa apaan, kalau ngga dipisah juga Dion sama Gina udah dipastiin bakal bertikai parah.

"Awas aja ya kamu, kalau berantem lagi bakal ibu kawinin kalian berdua!"

"Ya ampun, Ibu. Kalo mau ngawinin mah kawinin sama babang Kiev ajah, Bu...."

"Itu mah maunya kamu!" kata Bi Ratna seraya mencubit pipi Gina yang terkekeh geli. "Ini juga rambut diapain? Badai amat. Biasanya disisir juga nggak."

"Ya ampon, Bu. Plis dah, ini Gina udah menjelma sebagai Selena Gomez. Tjantiek kan?" kata Gina centil seraya mengibaskan rambutnya dengan tangan.

Bu Ratna tertawa geli. "Nggak cocok banget kamu centil gitu, Na. Udah, kamu bantuin Lintang sama Berlian ngambil fotokopi di seberang ya."

"Siap, Buuu. Nyok, para bidadari!" Gina melambaikan tangan pada Bu Ratna lalu melingkarkan lengan pada Berlian dan Lintang. Menuju tempat fotokopi yang berada di seberang jalan sekolah.

Tanpa menunggu waktu lama mereka keluar dari tempat fotokopian itu dengan tumpukan kertas di tangan. Tiba-tiba saat mereka telah berada di tengah jalan, terlihat dari kejauhan segerombolan cowok-cowok berlarian dari kedua arah. Dengan teriakan dan caci maki serta lemparan batu. Ketiga cewek itu membeku di tempat. Lintang, Gina dan Berlian merapatkan diri satu sama lain dan mulai menyadari bahwa mereka sedang terjebak di tengah-tengah tawuran. Lintang melirih dalam hati. "Lang, gue butuh lo."

Bersambung

Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar 🥰

Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗

Regards, Iin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top