5 - BE OBO EM

Suara kegaduhan yang terdengar dari luar jelas membuat heran anak-anak kelas XII IPA 1. Karena kelas yang terletak di ujung, mereka acapkali ketinggalan informasi. Udin sang ketua kelas pun berinisiatif keluar untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Setelah beberapa lama, Udin datang dengan napas tersengal-sengal karena telah berlari teramat cepat. "Ada apaan sih, Din?" tanya Yudhis penasaran.

"Tunggu bentar." Udin mengatur napas perlahan. "Minta minum minta minum!"

Yudhis meraih botol minuman Riri yang kebetulan terletak di depannya dan menyodorkan pada Udin. Riri pun langsung melayangkan protes keras karena botol miliknya diambil tanpa izin.

"Makasih Riri," ujar Udin genit. Rasa lelah yang melandanya seketika hilang dan itu anak malah mesem-mesem tidak jelas. Secara gitu dia habis minum dari botol Riri, gebetannya sejak dulu kala. Amboy, berarti dia sama Riri udah cipokan secara nggak langsung. Ahay, intim amat dah! batin Udin.

"Eh kutu, ngomong cepetan!" kata Yudhis mewakili kekesalan teman-temannya yang lain.

"Oh iya maap. Lo pada pasang kuping nih bener-bener!" Semua orang memfokuskan indra pendengaran dan menanti-nanti perkataan dari Udin. "Katanya, SEKARANG DI SEKOLAH KITA ADA BOM! BOM! BOM! BOM!"

"APAAA?!"

Sontak mereka pun kalang kabut sehabis mendengar perkataan Udin. Lalu terdengar bel yang berbunyi panjang dan berganti dengan pengumuman dari guru yang menyatakan agar seluruh warga sekolah sesegera mungkin keluar dari lingkungan sekolah.

Suasana sekolah saat ini sangatlah kacau. Para murid berlarian keluar dengan tersara bara. Seketika Galang dan Lintang pun dalam mode siaga. Dalam kerusuhan seperti ini hal-hal yang tak diinginkan sangat berpotensi terjadi.

Keduanya bersikap waspada dan selalu berada di samping Berlian. Pasukan GEGANA yang baru saja tiba langsung disambut oleh decakan kagum dari para murid yang berhamburan di tepi dan seberang jalan. Kini Lintang menemani Berlian menunggu supirnya menjemput sementara Galang mengambil mobil di parkiran.

Lintang berjongkok untuk mengikat tali sepatunya yang terlepas. Tanpa Berlian sadari ada mobil yang menuju ke arahnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Mobil itu berjarak terlampau dekat.

"LIAN AWAS!" pekik Lintang sambil menarik Berlian, mereka sama-sama terjatuh. Lintang menyipitkan mata pada mobil Jeep yang secepat kilat hilang tanpa jejak. Untungnya Lintang sempat melihat plat nomor mobil yang hampir mencelakai Berlian itu. Entah tidak sengaja ataukah ada maksud dan lain hal.

"Kalian nggak apa-apa?" cemas Galang seraya menutup pintu mobil. Sebenarnya yang terluka hanyalah Lintang. Darah segar mengucur deras pada sikunya karena terbentur aspal. Namun, wajah Berlian yang teramat pucat juga sangat mengkhawatirkan. Anak ini pasti syok berat.

"Gila itu mobil jalannya mepet ke tepi banget padahal di tengah nggak ada apa-apa. Terus gue liat tadi jalannya pelan setelah mau dekat Lian sama Lintang eh malah tambah cepet tuh mobil!" cerocos Dion yang datang dari seberang.

Galang dan Dion kemudian menolong kedua cewek itu berdiri dan memapah mereka menuju mobil.

"Li, lo nggak apa-apa?" tanya Lintang sambil memegangi sikunya yang berdarah. Keringat dingin mengalir di pelipis Berlian dan dapat mereka lihat tubuhnya bergetar hebat.

"Ini minum dulu." Galang menyodorkan botol air mineral ke arah Berlian. Gadis itu menyambutnya dengan tangan gemetar. Dion yang melihat itu pun langsung membantu Berlian untuk minum. Kemudian membimbing gadis itu duduk di kursi mobil Galang.

Galang lalu mengambil botol air mineral lainnya di dalam mobil dan mengguyur siku Lintang yang berdarah. Lintang tak bisa memerintahkan matanya untuk berhenti memandangi Galang yang sedang mengobati lukanya. Dengan telaten Galang membalut siku Lintang dengan perban yang ia dapat dari kotak P3K yang tersedia di dalam mobil.

"Hati-hati," ucap Galang tanpa suara sambil menatap Lintang tepat di manik mata dan mengelus pelan lengan Lintang dengan ibu jarinya. Hal itu membuat jantung Lintang semakin jumpalitan.

Galang kemudian menoleh ke arah Berlian. "Udah baikan, Li?"

Berlian mengangguk lemah.

"Gimana kalau lo kami antar balik?" usul Galang.

"Iya Li, lo balik sama kita aja," timpal Lintang.

"Hng... nggak deh Lin, Lang. Gue nunggu supir gue aja."

"Nah itu mobil jemputan lo, Li!" tunjuk Dion saat matanya melihat mobil yang biasa menjemput Berlian muncul di tikungan jalan. Tanpa waktu lama mobil itu pun tiba di hadapan mereka. Seorang pria berkepala plontos dengan perawakan tinggi besar keluar dari mobil. Pria berseragam hitam-hitam itu menanyakan keadaan Berlian lalu membukakan pintu mobil. Pria itu juga sempat memberi pandangan tajam pada Dion, Lintang dan Galang.

"Makasih banyak ya Lin, maaf juga siku lo jadi luka gara-gara gue," ujar Berlian.

Lintang tersenyum simpul. "Bukan gara-gara lo, Li, santai aja."

"Makasih juga Lang, Yon. Gue pulang duluan ya."

Berlian memasuki mobil lalu menurunkan kaca. "Sekali lagi makasih ya."

"Iya, hati-hati. Daah...." Lintang dan Berlian saling melambaikan tangan. Mobil Berlian kemudian melaju meninggalkan tiga orang berseragam SMA yang kini menghela napas secara bersamaan.

***

"Tuh, kan! Plat nomor palsu!" Lintang menggeram memandang laptop dan mengacak rambutnya gusar. Sekarang Galang dan Lintang duduk berhadapan di meja kerja mereka.

"Gue sama sekali nggak nyangka, baru juga kita ngejalanin misi satu hari udah ada dua kejadian aja yang mengancam nyawa Lian," keluh Lintang.

Galang menyesap kopi perlahan.

"Tapi syukurlah kabar bom itu cuman hoax."

"Iya, gue nggak bisa bayangin kalau itu bener-bener kejadian dan sekolah bakal meledak saat kita baru aja masuk satu hari." Lintang bergidik ngeri.

Galang tersenyum tipis, bersyukur bahwa mereka masih bisa menjalankan misi ini bersama-sama. Benar kata Lintang, ini baru satu hari mereka memasuki sekolah dan sudah ada kejadian yang mengejutkan. Lalu apa yang akan terjadi pada hari berikutnya?

"Siku lo gimana?"

Lintang mengangguk. "Nggak apa-apa, luka kecil gini."

"Usahakan jangan sampai terluka." Hati Lintang entah kenapa tercengkram kuat mendengar perkataan Galang yang begitu pelan tapi masih bisa terdengar olehnya.

Luka dalam hati gue apa kabar? Lintang membatin pilu. Dia menelan rasa sakit itu dan seolah telah melupakannya. Gadis itu nelangsa, rasa sakit dan rasa sayangnya setimbang. Terkadang juga dominan salah satu.

Enam tahun hubungan mereka itu bukanlah waktu yang sedikit, ada miliaran kenangan di dalamnya. Hampir semua kenangan bersama Galang adalah hal indah. Hanya satu kesalahan Galang yang membuat mereka berpisah. Dan itu teramat fatal, cowok itu khianat kemudian menghilang.

"Ah iya," ujar Galang tiba-tiba dan membuat Lintang terkesiap.

"Kenapa?"

"Sebenarnya ... ada orang yang gue curigain, namanya Alvian."

"Alvian?" tanya Lintang heran.

"Yap, Alvian Keenan Wijaya. Dia duduk sendiri di ujung sebelah kiri. Kata Dion dia juga murid baru. Pindahan dari Amrik—" Galang kemudian menceritakan segala hal yang bersangkutan dengan Alvian sesuai dengan apa yang telah Dion utarakan dan menurut pengamatan pribadinya. Tentang sikap Alvian yang sangat luar biasa dingin, jarang bicara dan terkesan misterius. Hal yang terpenting adalah seperti yang Dion katakan, Alvian sering menatap Berlian lama dan juga meletakkan surat ke loker Berlian. Berarti, cowok dingin itu mempunyai ketertarikan pada Berlian. Galang sudah berencana akan memastikan perkataan Dion dengan mata kepalanya sendiri.

Dan tentang surat itu. Apa isi suratnya ya kira-kira?

"Gue juga udah memerintahkan orang buat cek kevalidan data Alvian." Galang menatap Lintang serius. "Sekarang yang terpenting...."

Lintang memandang Galang penasaran. "Lo buat makan malam, gue laper."

Lintang lantas menggebrak meja.

"Kirain apa, dasar rese! Bikin sendiri!"

Bersambung

Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar 🥰

Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗

Regards, Iin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top