4 - Putih Abu-Abu

"Pelan-pelaaaan. ADAW! AOWW! EMAAAK TOLOONG! ADADAWW AOWW!"

Lintang meringis melihat manusia di depannya yang sedang mengaduh heboh saat ia membersihkan luka pada telapak tangan cowok itu. Mereka berdua sekarang sedang duduk di sebuah pos ronda yang berjarak lumayan jauh dari tempat kejadian perkara kerusuhan tadi.

Setelah bersih, Lintang kemudian mengambil kasa pada kotak P3K yang selalu ia bawa dalam ransel. "Iya, ini udah pelan kok." Lintang membalut telapak tangan cowok berseragam SMA di depannya itu dengan hati-hati. "Lagian apa untungnya sih ikut tawuran? Luka-luka gini. Kalau mati gimana?"

"Buset cewek SMP, lo ngomelin gue?!"

Lintang memutar bola matanya. Ini orang kenapa mengira dia anak SMP terus sih? "Saya bukan anak SMP."

"Aelah. Bocah mah bocah aja."

"Nyebelin banget sih lo," sungut Lintang sembari mendongakkan muka dan menatap tajam cowok di depannya.

Cowok itu lumayan terkejut dengan panggilan 'lo' dari Lintang. "Seriusan lo bukan anak SMP?" tanyanya lagi dan terkekeh geli saat Lintang semakin memelototkan matanya. "Iya-iya dah percaya. Jadi, lo sebenarnya kelas berapa?"

"Empat," jawab Lintang sembari kembali fokus untuk membalutkan kasa.

"BAJIGUR! LO MASIH SD?!"

Hampir saja Lintang mengempaskan tangan cowok itu karena kaget. "Eh bukan, maksudnya semester empat. Gue ini mahasiswi, tau!" seru Lintang geregetan.

"Hah? Mahasiswi?!"

"Emang kenapa kalau gue mahasiswi?"

Cowok itu memandang Lintang dari atas kepala sampai ujung kaki. "Ngga ada potongannya udah jadi mahasiswa lu."

Lintang langsung mencibir. Pasti karena ukuran tubuhnya yang jauh lebih mungil dari cowok tiang listrik ini.

"Berarti lo lebih tua dari gue dong! Astaga, lo mbak-mbak?!" tanya cowok itu dengan tampang terkejut.

"Umur lo berapa?" tanya Lintang balik.

"17 Agustus tadi 17."

"Siapa yang nanya tanggalnya coba?" gerutu Lintang dalam hati. "Berarti kita seumuran!"

"Gimana ceritanya seumuran?" tanya cowok itu heran.

"Gue ikut akselerasi dulu."

"Buset, serius?"

"Ngga percayaan banget sih!"

"Mana sini kartu mahasiswa lo," tagih cowok itu mengulurkan tangannya meminta.

Lintang meraih dompetnya dengan kesal. "Nih, nih! Masih nggak percaya?"

Cowok itu mengamati kartu tanda mahasiswa milik Lintang dengan saksama dan tersenyum geli melihat foto gadis itu yang terlihat begitu imut.

"Wedewww, Binar Lintang Aninda. Fakultas Kedokteran. Program studi Pendidikan Dokter. Alamat—"

Lintang merebut KTM miliknya dan kembali memasukannya ke dalam dompet.

"Ikut aksel ... anak FK. Berarti lo pinter, dong."

"Hm, nggak tau."

"Ceileh. Tapi lo kan pinter, nih. Kenapa lo baca sambil jalan sampai nggak ngeh ada tawuran depan lo? Pake earphone, lagi. Bahaya oneng. Denger lagu apaan lo? Lagu metal?"

"Itu bukan lagu. Itu rekaman suara dosen gue ngajar."

Cowok itu mencibir. "Ini nih orang pinter. Tapi tetap aja belajar tuh jangan di jalan! Untung ada gue."

"Iya sori, nggak lagi-lagi. Makasih ya...." Lintang melirik nama yang tersemat pada seragam cowok itu untuk memastikan. "Gal...."

🎵🎶 Cahaya cinta perlahan menyilaukan

Itulah mimpi kehidupan kedua

Mimpi itu ... darimana datangnya

Jawabnya ada di ujung langit

Kita ke sana dengan seorang anak

Anak yang tangkas dan juga pemberani🎵🎶

Dengan susah payah Galang mengambil ponsel dari saku celananya. Sedangkan Lintang mengernyit heran mendengar nada dering ponsel Galang. Tunggu, dia kenal lagu ini. Soundtrack kartun Dragon Ball?

"Anak yang tampan dan juga pemberani.... Berjuanglah Dragon Ball ... dengan segala kemampuan yang ada—" Galang bernyanyi sebelum menjawab panggilan teleponnya tanpa memedulikan Lintang yang sedang menatapnya terkesima. Terkesima karena tak percaya cowok nyalat seperti Galang akan menggunakan lagu kartun sebagai nada dering.

Tapi, perasaan liriknya anak yang tangkas, deh. Bukan anak yang tampan. Apa telinga Lintang yang salah dengar atau Galang yang mengubah lirik?

"Halo?" Galang menempelkan ponsel ke telinga. "Iye.... Hooh amanin dulu motor gue ya. Hm, iye dah. Sip. Yep."

Setelah sambungan terputus, Galang meletakkan ponselnya sembarang. Matanya kemudian memandangi gadis yang sibuk mengobati lukanya.

"Yes. Selesai," kata Lintang riang.

Galang tersenyum manis. "Makasih ya, Bu Dokter."

"Belum kali," ujar Lintang terkekeh.

"Oh iya lo kan pinter, nih. Gue punya pertanyaan buat lo. Pertanyaannya gampang tapi gue nggak bisa jawab."

"Pertanyaan apaan?" tanya Lintang bingung.

"Dengerin ya. Jadi gue punya duit 50.000, kemaren gue beli gado-gado harganya 12.000," jelas Galang dengan ekspresi serius.

"Heeh, terus?"

"Terus gue beli keripik singkong lima bungkus harganya serebuan."

"Iya terus-terus?" tanya Lintang sembari menghitung dalam hati.

"Terus pertanyaannya...." Galang menatap Lintang dengan senyum penuh sarimanis di bibir. "Nomor handphone lo berapa?"

Lintang langsung melongo. "Eh?"

***

Lintang duduk mengikat tali sepatunya di ruang tamu. Rambutnya yang sebahu diikat ekor kuda, gadis itu tampak manis dengan seragam putih abu-abu yang melekat pada tubuhnya. Usianya yang sudah 27 tahun itu juga seolah kembali seperti sepuluh tahun lebih muda.

Gadis itu menegakkan tubuh perlahan saat melihat Galang yang sedang berjalan ke arahnya. Sejenak Lintang terpukau dengan penampilan Galang saat ini yang tampak berbeda. Kumis dan bulu-bulu di wajah cowok itu musnah dari peredaran bumi. Dan Galang yang berseragam SMA adalah kenangan terbaik dalam kisah cinta Lintang. Walaupun seragam Galang sekarang terlihat jauh dari kata urakan seperti zaman dulu. Tapi tetap saja racun nostalgia menghujam batinnya.

"Gue tau gue ganteng."

Lintang tergelagap mendengar celetukan Galang dan langsung mendengus kasar. "Dasar kepedean."

"Akuin aja kalau gue ganteng, emang sih kadang gue ganteng banget, tapi kadang gue ganteng aja."

Lintang memandang tajam Galang yang sedang terkekeh geli. "Becanda kali, Lin."

Lintang mengabaikan Galang lalu mengambil kertas di meja. Bahaya kalau ia melihat Galang yang terkekeh ganteng begitu terus-terusan, bisa kolaps dia tenggelam dalam lautan pesona mantan.

Galang memandang Lintang yang sedang berbicara serius itu lekat-lekat. Karena dulu ia tak pernah melihat Lintang menggunakan seragam SMA, cowok itu sekarang jadi tersenyum-senyum sendiri melihat Lintang dalam balutan seragam putih abu-abu begini. Terlihat sangat menggemaskan. Apalagi jika tinggi Lintang seperti dulu, yang hanya sebatas ketiaknya, pasti makin imut kayak marmut. Sekarang sih tinggi Lintang sudah hampir sebatas bahunya. Cewek itu terus tumbuh ternyata.

Galang berdeham seraya meraih ranselnya. "Ayo berangkat."

Setelah mengunci pintu, Galang dan Lintang menuju mobil yang berada di halaman. Mereka pun memasuki mobil. Galang melajukan mobilnya keluar pagar dan berhenti di tepi jalan tepat di seberang rumah Berlian. Sembari menunggu, mereka memakan roti sebagai sarapan.

"Hhh ... itu tuh Berlian," ucap Lintang dengan mulut penuh roti. Sebuah mobil besar berwarna hitam legam keluar dari rumah berpagar tinggi itu, Galang kemudian langsung melaju mengikuti dengan kecepatan sedang dan memberi jarak.

Setelah beberapa lama mobil itu memasuki kawasan SMA Atmawijaya. Lintang menatap bergantian foto di tangannya dan Berlian yang baru saja keluar dari mobil. Gadis itu terlihat cantik dengan rambut panjang yang tergerai. Kulitnya putih bersih juga alisnya yang tebal. Kalau dilihat-dilihat Berlian memang mirip sekali dengan Presiden Welny Effendi.

Lintang dan Galang menuruni mobil. Saat ini mereka berdua sangat merasa kikuk dengan suasana sekolah. Kembali mengulang masa SMA mungkin adalah harapan sebagian orang. Tapi di usia mereka yang sudah beranjak dewasa, menggunakan seragam putih abu-abu dan harus berpura-pura menjadi remaja SMA lagi itu sangatlah aneh kenyataannya.

Mereka berjalan beriringan di koridor dengan tatapan murid lainnya. Jenis tatapan yang biasa diperlihatkan pada anak baru. Tapi Lintang dan Galang malah khawatir apakah wajah mereka sudah kelihatan tua. Terlebih Lintang, ia harap dia masih seimut Tasya si anak gembala.

Moga muka gue masih keliatan awet muda, deh.

***

"Eh, Bu Ria datang!" heboh Udin sang ketua kelas. Kelas yang awalnya kayak pasar malam itu perlahan tenang lalu sunyi senyap. Masuklah Bu Ria sebagai wali kelas XII IPA 1. Bu Ria tak sendiri, ada Galang dan Lintang yang mengekor di belakangnya. Kehadiran mereka membuat murid yang ada di kelas tersebut berbisik-bisik menaruh perhatian kepada dua murid baru itu. Galang dan Lintang mengedarkan pandangan mencari sosok Berlian, sekarang gadis yang duduk sendirian di ujung kanan paling belakang itu juga sedang memperhatikan mereka berdua.

"Anak-anak, kita kedatangan dua murid baru sekaligus. Silakan perkenalkan diri kalian," ujar Bu Ria.

"Nama saya Galang Raditya. Salam kenal." Para cewek di kelas itu terlihat banyak yang terpincut dengan pesona Galang, bahkan tanpa malu-malu ada yang berseru menyebut Galang ganteng.

Mendengar itu telinga Lintang jadi panas. Ekspresi ceria yang sudah ia persiapkan sedari tadi malah berganti dengan ekspresi jutek.

"Saya Lintang Aninda," ujarnya dingin. Gadis itu kemudian terkesiap saat Galang menyenggol lengannya menggunakan siku. "Ah, salam kenal semuanya," ucap Lintang memaksakan senyum.

Anak-anak yang lain menanggapi perkenalan Galang dan Lintang dengan baik. Bu Ria lalu mempersilakan keduanya untuk duduk di bangku yang kosong, beliau kemudian keluar kelas karena ini memang bukan jam pelajarannya. Langsung saja Lintang mengarah ke bangku kosong di samping Berlian. Dia tak tahu ini memang kebetulan atau sudah direncanakan, yang jelas ini pasti dapat mempermudah misinya. Sedangkan Galang duduk di deretan tengah paling belakang juga.

"Hai," sapa Berlian sembari mengulurkan tangan pada Lintang. "Gue Berlian, panggil aja Lian."

"Lintang, gue boleh duduk di sini?" tanya Lintang basa-basi.

"Ya boleh lah, masa nggak? Eh anyway itu kakak lo?" tanya Lian sambil melirik Galang.

"Eh lo ... kok tau sih?" tanya Lintang heran, mereka kan belum bilang masalah itu.

"Yaiyalah, kalian kan mirip," jawab Lian sekenanya.

"Heh, mirip?" Lintang menatap Galang yang juga sibuk dengan teman-teman barunya, malahan beberapa cewek sudah mengelilingi meja Galang.

"Mirip dari Hongkong," dengus Lintang kasar.

Berlian tertawa kecil. "Ya iyalah kakak adik wajar kali mirip, kalian kembar?"

"Eh nggak, dia tua satu tahun dari gue tapi karena gue ikut aksel pas SMP, kami jadi satu angkatan gini deh," elak Lintang sekaligus mengarang cerita.

"Oh gitu ceritanya...."

"Hai, Lintang!" sapa cewek bergigi gingsul yang tiba-tiba muncul begitu saja di hadapannya.

"Eh, hai juga," kata Lintang sambil tersenyum kikuk.

"Nama gue Gina. Salam kenal yaaa!" ujar cewek itu ceria.

"Iya salam kenal ya, Gina," kata Lintang sembari menyambut uluran tangan Gina.

Di meja sebelah Galang sedang sibuk meladeni cewek-cewek yang mengajaknya kenalan. Sebenarnya Galang sudah terbiasa dengan ini semua. Secara, dia kan terhitung cowok most wanted sekolahnya waktu zaman dulu. "Sekali kenalan lima rebu woy!" seru Dion, teman sebangku Galang.

"Wey bubar-bubar! Nadya Hutagalung mau duduk!" usir seorang cewek yang Lintang ketahui bernama Gina itu dengan gaya pecicilan. Cewek-cewek yang mengelilingi meja Galang dan Dion pun perlahan membubarkan diri sambil tersenyum cengengesan ke arah Gina yang sekarang duduk nyaman di kursinya.

Dion kemudian menepuk pundak Gina yang duduk di depannya itu. "Woy, Nang!"

"Apaan?!" tanya Gina galak seraya membalikkan badan.

"Nggak mau kenalan sama anak baru nih?" ujar Dion sambil melirik Galang.

"Udah tadi gue kenalan sama Lintang."

"Sama Galang?"

Gadis itu menghela napas lalu mengulurkan tangan kanannya. "Gue Gina, kembaran Nabilah JKT48."

"Kembar dari mananya?!" tanya Dion sewot.

Galang menyambut uluran tangan Gina. "Gue Galang. Iya, kalo diliat-liat emang mirip, kok. Tuh liat gingsulnya, Yon."

Gina menyengir lebar. "Mata lo berfungsi dengan sangat baik, Galang," tuturnya sembari tersenyum meledek ke arah Dion.

"Iya mirip kalo dilihat dari Arab pake pipet," cibir Dion.

"Sirik aja lo!"

Galang tertawa melihat Gina yang kini menjitak Dion tanpa ampun.

***

Anak-anak XII IPA 1 menyambut Lintang dan Galang dengan baik dan memperlakukan mereka layaknya teman baru seperti remaja kebanyakan. Kelihatannya tak ada yang mengira bahwa dua murid baru di kelas mereka itu adalah polisi yang sedang menyamar.

Galang kembali terkekeh geli ketika melihat Dion mengganggu Gina yang sedang tertidur di kursinya. Gadis itu terlihat nyenyak sekali dan tak terusik dengan gangguan Dion. Mata Galang kemudian beralih melirik Lintang dan Berlian yang kini terlibat dalam obrolan seru. Jam pelajaran kosong ini membuat Lintang bisa lebih dekat dengan cewek yang harus mereka lindungi itu.

"Wes bro, lo suka sama Berlian? Dari tadi ngelirik mulu," celetuk Dion.

Galang langsung membantah. "Berlian? Nggak lah, sembarangan aja lo."

"Kalo beneran juga nggak apa-apa kali. Tenang aja, setau gue dari kelas satu Lian tuh nggak punya cowok. Dan dia setiap hari di antar jemput sama bodyguard," cerocos Dion dengan nada yang dipastikan hanya ia dan Galang yang dapat mendengar.

"Oh ... tapi sekarang ada nggak yang coba deketin Lian?"

"Sekarang kayaknya nggak ada, dulu sih banyak termasuk gue." Dion terkekeh sendiri. "Eh, tapi secara diam-diam sih ada, soalnya gue sering liat dia perhatiin Lian lama banget. Terus suka kasih surat gitu ke loker Lian, walaupun Lian kayaknya nggak tau."

"Siapa?" tanya Galang penasaran.

Dion menunjuk seorang cowok yang duduk di ujung belakang barisan kiri yang sedang larut membaca buku. Galang memandang cowok beralis tebal itu dengan teliti. Terlihat seperti remaja pada umumnya. Tampangnya lumayan ganteng, sebelas-duabelas lah, sama dia.

"Dia itu murid baru juga sekitar sebulan yang lalu. Namanya Alvian, dia pindahan dari Amrik. Orangnya dingin juga agak misterius. Bisa dihitung pake jari berapa kali tuh orang ngomong dalam seminggu," jelas Dion lagi.

Galang mengangguk paham. Oke, Alvian. Cowok ini harus diwaspadai.

Bersambung

Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar 🥰

Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗

Regards, Iin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top