32 - Jerat

Tanpa didampingi oleh sang manajer beserta supir pribadinya, Kiev mengendarai mobil mewahnya seorang diri sembari mendendangkan lagu-lagu secara random. Dari lagu lokal maupun mancanegara yang booming akhir-akhir ini sampai sederetan lagu lawas dalam negeri.

Selebriti itu membelah jalanan ibu kota yang beratapkan langit malam bertabur bintang selepas menyelesaikan proyek terakhirnya sebelum benar-benar fokus pada urusan pendidikan mengingat ia telah berada di tahun terakhir masa putih abu-abu.

Kiev terbilang amat sukses dibandingkan remaja seusianya. Karya-karyanya di dunia hiburan baik itu seni peran maupun musik selalu berjalan dengan baik. Ia memiliki banyak penggemar yang tergabung dalam Kiev Fans Club. Namun, seperti pesan almarhum sang ayah, pendidikan itu nomor satu.

Beliau tak pernah melarang Kiev untuk bermusik atau menjadi aktor remaja dengan catatan Kiev tak melupakan kewajibannya sebagai pelajar. Ia harus menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Kariernya di dunia hiburan tak akan kekal. Kiev bertekad ia harus menjadi seseorang yang bisa diandalkan mengingat kini dirinya hanya tinggal berdua. Bersama malaikat yang telah melahirkannya ke dunia. Maka dari itu, meski awalnya dipaksa oleh sang mama, Kiev memutuskan untuk vakum dari dunia entertain setidaknya sampai ia lulus dari SMA Atmawijaya.

Nyanyian Kiev terhenti dan menepikan mobilnya ketika melihat sesosok pria tak asing. Sosok itu Aji Rahardi, direktur utama agensi hiburan yang menaunginya. Kiev keluar dari mobil dan menghampiri Aji yang sedang berdiri sambil menggerutu di depan kap mesin mobil hitamnya yang sengaja dibuka.

"Om Aji?"

Pria dengan usia kisaran empat puluh tahun itu menoleh ke arahnya. "Kiev?"

"Mobil Om kenapa?"

Aji terbatuk. "Om juga ngga tahu Kiev. Mungkin ada masalah dengan mesinnya."

"Om sendirian?"

"Ya, kamu juga? Nggak sama Vanya dan Jarwo?" tanya Aji menyinggung manajer dan supir pribadi Kiev.

"Nggak, Om. Soalnya ini aku juga udah mau pulang ke apartemen. Om mau ke mana? Biar aku anterin. Mobil Om diderek aja entar."

Aji berpikir keras. Sekarang ada sesuatu yang harus ia selesaikan dengan cepat. Sesuatu yang berpotensi besar menambah pundi-pundi rupiahnya dalam satu malam. Aji kemudian mengiyakan perkataan Kiev dan meraih sebuah tas di dalam mobilnya setelah menghubungi jasa derek.

Ia mengatakan suatu alamat pada Kiev kemudian mereka berlalu dari tempat itu. Perbincangan seputar kepindahan Kiev ke sekolah barunya serta project-project Kiev mewarnai perjalanan mereka. Aji juga sempat menyinggung pembaharuan kontrak selebriti muda itu di bawah naungan agensi hiburannya. Bagaimana pun, Kiev adalah aset penting bagi perusahaannya.

Kiev menghentikan mobil di belakang mobil lainnya yang tersusun secara rapat di salah satu ruas jalan. Di depan sana, terdapat banyak aparat kepolisian yang sedang berjaga. "Kayaknya lagi ada razia, Om."

"Apa?"

Kiev mengerutkan alisnya heran mendapati raut wajah Aji yang teramat kaget. "Om tenang aja, aku udah punya SIM kok," ujar Kiev sambil menunjukkan cengirannya.

Namun, air muka pria yang duduk di sebelahnya tetap terlihat gelisah. Seperti ada sesuatu yang sedang bosnya itu sembunyikan. Aji semakin kelabakan saat mengetahui ini bukanlah razia biasa, melainkan razia secara besar-besaran yang digelar oleh ratusan personel gabungan dari jajaran TNI dan Polri. Tak hanya surat-surat kendaraan yang diperiksa, polisi juga turut menggeledah mobil dan isi bagasi.

Aparat akan menyita dan mengamankan pengendara bahkan yang membawa senjata api/tajam atau bahkan narkoba. Razia ini diselenggarakan mengantisipasi tindakan kriminalitas yang marak terjadi akhir-akhir ini. Terlebih juga untuk menekan kasus pengedaran narkoba yang masuk dari berbagai wilayah.

Tak mungkin memerintahkan Kiev memutar balik mobilnya sebab itu adalah hal yang sangat mustahil karena di belakang mereka telah ada setumpuk kendaraan lain. Maka mau tak mau mereka harus bisa melewati razia ini. Namun, bagaimana caranya?

Beberapa waktu yang lalu sebelum mobilnya mogok, Aji baru saja melakukan transaksi dengan seorang pengedar. Ia menerima paket bernilai milyaran rupiah yang diselundupkan dari jalur laut sesuai dengan yang Jacob perintahkan padanya.

Kemungkinan hanya tersisa dua-tiga mobil lagi, mobil yang ia dan Kiev tumpangi akan mendapat pemeriksaan. Menyadari hal itu tak bisa dihindari dan dampak yang akan menimpa dirinya jika kedapatan membawa barang haram ini dan nasibnya tentu tidak akan jauh-jauh dengan Jacob yang sedang mendekam di penjara.

Mengingat nilai dan jumlah narkoba yang ada dalam tasnya ini, Aji bisa menjamin ia akan dijatuhkan vonis hukuman mati sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Untuk menyelamatkan dirinya, tanpa sepengetahuan Kiev, Aji diam-diam memindahkan paket narkoba bernilai milyaran rupiah itu ke dalam tas milik Kiev yang amat antusias mengamati kegiatan razia yang dilakukan petugas.

"Kalau aku nggak jadi artis, aku mau jadi polisi, Om. Keren kayaknya ya?" tanya Kiev tiba-tiba. Aji lantas tergeragap. Untung saja Kiev tidak menyadari apa yang telah ia lakukan.

"Hm ... Om lebih suka kamu jadi artis saja." Aji tertawa dengan aneh. Kiev mengangkat alis tetapi cowok itu juga turut tertawa.

Namun, hal itu tak berlangsung lama karena Aji berpamitan pada Kiev tanpa mengungkap alasan yang jelas. Kiev terheran karena Aji terlihat sangat gugup juga terburu-buru. Aji berjalan secepat mungkin dan memastikan dirinya tak tertangkap oleh mata para petugas. Ia lalu masuk ke dalam taksi yang berjarak tak jauh di belakang mobil Kiev.

"Maafkan Om, Kiev. Aku harus memikirkan keberlangsungan hidupku sendiri."

***

Kemarin malam merupakan malam terpanjang dan meletihkan bagi Kiev. Remaja berusia tujuhbelas tahun itu tak bisa menyembunyikan rasa syok ketika mendapati banyaknya narkoba yang tak ia ketahui jenisnya itu di dalam tas miliknya. Kiev langsung digiring oleh petugas ke kantor kepolisian. Serangkaian proses interogasi dan pemeriksaan dilakukan oleh pihak penyidik yang begitu menyeramkan baginya. Kiev juga harus melakukan tes urine.

Sejujurnya Kiev sangat depresi karena sang mama sedang berada di luar negeri. Sedangkan Mbak Vanya, manajernya itu baru saja tiba pagi ini dan sekarang sedang mencarikan makanan untuknya. Juga banyaknya wartawan yang berada di luar sana membuat Kiev merasa semakin terintimidasi. Namun, Kiev mengingat pesan mendiang ayahnya. Ia tak boleh takut jika tak bersalah.

Narkoba. Satu hal yang sangat asing bagi Kiev. Meski ia berkarier di dunia hiburan yang konon sangat lekat dengan zat haram tersebut. Tapi tentu tak semua orang yang berkecimpung di dunia entertain akrab dengan yang namanya narkoba.

Kiev hampir tak pernah terkena isu miring. Selain karena parasnya yang menawan dan karyanya yang sungguh luar biasa, Kiev berhasil memikat hati masyarakat dengan kepribadiannya yang sopan dan ramah tamah. Imej positif selalu menyertai seorang Kiev Bhagaskara. Citra itu bukanlah sesuatu yang dibuat-dibuat, tetapi kepribadian Kiev memang begitu adanya. Hal itulah yang membuat Kiev memiliki banyak penggemar, baik dari kalangan remaja, anak kecil, emak-emak bahkan dari kaum lansia.

Kiev juga tak merokok. Apalagi, narkoba. Saat sakit pun Kiev sangat antipati dengan yang namanya obat. Cowok itu memilih merasakan sakit sampai sembuh dari pada harus meminum obat dalam bentuk apa pun. Kecuali saat benar-benar dalam keadaan terpaksa. Sang mama bahkan harus memencet hidungnya atau memakan obat yang sudah disembunyikan ke dalam pisang. Kiev juga sangat takut dengan jarum suntik.

Kiev membeku, ia tak sengaja mencuri dengar Om Aji bicara pada laki-laki asing yang sering keluar masuk kantor manajemennya.

Kiev menutup mulutnya ketika mendengar dua orang itu membuat rencana jahat untuk membuat hasil tes narkobanya positif. Saat Aji keluar dari ruangan itu, Kiev tak berhasil mengelabui Aji dengan berakting ia tak mengetahui apa-apa tentang pembicaraannya dengan laki-laki mengerikan itu. Aji bahkan mengancam Kiev akan melukai sang Bunda jika ia angkat bicara.

Tak ada lagi pancaran cahaya kebahagiaan dan harapan dari wajah Kiev. Remaja itu teramat ketakutan. Namun, Kiev tak bisa membagi beban ini dengan siapa pun.

Vanya, manajer Kiev tak kuasa menahan kesedihannya melihat keadaan Kiev saat ini.

"Kiev, ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba kayak gini?" tanya Vanya melihat perubahan drastis pada diri Kiev. "Cerita sama mbak, mbak itu udah kerja sama kamu bertahun-tahun bahkan sejak kamu kecil. Mbak selalu sama kamu, mbak tahu kamu kayak gimana. Sekarang kasih tau sama mbak, ada apa? Kamu kenapa diem aja kayak gini?"

Namun, Kiev hanya diam. Tetap diam dengan pandangannya yang kosong.

"Kiev, hasil tes urine kamu negatif. Mbak tau, kamu nggak mungkin make narkoba. Mbak sama mama kamu juga selalu tahu temen-temen main kamu. Sekarang bisa kamu jelasin gimana barang itu bisa ada di tas kamu?"

Kiev lagi-lagi membisu. Dalam hati, Kiev merasa sedikit lega karena Om Aji tak berhasil membuat hasil tesnya menjadi positif.

"Kiev." Suara gemetar itu membuat Kiev menoleh.

"Bunda...."

"Kamu nggak kenapa-napa, kan? Maaf, bunda datang terlambat," ujar Dewi sambil terisak. Kiev tak bisa lagi menahan airmatanya. Menghambur ke dalam pelukan sang ibunda.

"Apa pun yang terjadi, inget mama selalu di sini buat Kiev."

Hati Kiev terluka menatap Dewi yang memaksakan untuk melengkungkan senyuman meski lelehan air matanya terus mengalir. Vanya juga tak bisa menahan tangisannya melihat pemandangan ibu dan anak itu.

Kiev tak bisa membayangkan Om Aji dan pria asing itu akan melukai sang bunda jika ia membeberkan semuanya.

"Ayo, Kiev. Om Aji udah nyewa pengacara buat kamu," ajak Dewi seraya menuntun tangan Kiev. Mereka lalu menemui pengacara yang konon akan menangani kasus Kiev. Namun, Kiev tak bisa berharap banyak dari laki-laki ini. Aji tentu menyewa pengacara ini untuk mengontrol keadaan seperti yang pria itu inginkan. Benar saja, pengacara itu sama sekali tak terkesan membantu atau melaksanakan tugasnya sebagai pengacara dengan sungguh-sungguh.

"Yah ... adik harus berlapang dada menghadapi kasus ini," ujar pengacara itu sambil mengupil. Nada suara dan tingkahnya begitu menyebalkan.

"Tapi anak saya nggak mungkin melakukan ini. Anak saya dijebak, Pak!"

"Ibu, namanya juga anak muda. Narkoba seperti itu ya wajar saja lah baginya. Jadi lebih baik ibu terima saja. Santai saja ya, Bu."

Kiev sekuat tenaga menahan diri untuk tidak memberi tonjokan ke wajah pengacara itu. Ia memandang sang bunda yang juga sedang berusaha meredam emosi. Kiev memejamkan mata. Ia harus bertahan melewati ini semua.

Usai bertemu dengan pengacara super menyebalkan itu, Kiev terkejut melihat sesosok gadis yang sedang berjalan dan mengenakan kaos dengan badge DOKPOL di bagian lengan.

"Lintang?" Kiev bersuara lirih. Memandang gadis yang merebut hatinya di sekolah akhir-akhir ini. Lalu apa yang Lintang lakukan di tempat ini. Apa gadis itu benar-benar Lintang atau hanya sosok yang mirip dengan gadis itu.

"Siapa, Kiev?"

Kiev menggeleng kaku. "Bukan siapa-siapa, Bun."

Lintang sudah akan menghampiri Kiev tetapi cowok itu lekas menjauh dari sana.

"Gue harap lo baik-baik aja, Kiev," lirih Lintang dalam hati.

Kini Dewi harus melepaskan Kiev untuk kembali diinterogasi.

Seorang penyidik duduk di hadapannya. Lagi-lagi, mata Kiev dibuat membulat tak percaya. "Galang?"

Galang mengangguk dan menghela napasnya sebelum memulai interogasi sebagai seorang penyidik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top