30 - !

Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat Galang tiba di kediaman Lintang. Cowok itu melakukan hormat kepada ayah Lintang, Adi Nugraha. Adi menerima hormat Galang dan mempersilakannya duduk.

"Apa kabar, Galang?" tanya Adi dengan nada suara yang penuh akan kewibawaan.

Galang menjawab agak gugup. "Baik, Pak. Bapak sendiri?

"Seperti yang kamu lihat. Saya baik-baik saja. Meski sering terserang radang sendi. Ya biasalah, faktor usia." Adi tertawa renyah. Ya, ini sudah terhitung lima tahun Adi Nugraha pensiun dari kepolisian dengan pangkat terakhir sebagai Komisaris Besar.

Awalnya, Adi tak pernah menerima Galang sebagai kekasih Lintang. Apalagi waktu pertama kali Galang bertemu dengannya, penampilan cowok itu sangatlah urakan. Namun, seiring berjalannya waktu, Adi mulai menyukai sosok Galang. Ia diam-diam mengamati sepak terjang cowok yang menjadi dambaan hati putrinya itu. Ia sangat menghargai kegigihan Galang untuk menjadi anggota kepolisian meski harus mengalami kegagalan berulang kali. Terbukti Galang akhirnya berhasil lulus dari Akademi Kepolisian dengan nilai tertinggi. Kendati segala sesuatunya memang tak selalu berjalan mulus, Galang bekerja keras dan memiliki dedikasi tinggi atas pekerjaannya sebagai polisi.

"Eeeh, ada Nak Galang. Ya ampun, udah lama banget ibu nggak liat kamu."

Galang lantas menyalami ibu Lintang yang baru saja keluar dari kamar. Cowok itu juga menunjukkan senyum terbaiknya pada calon ibu mertua.

"Eh ngomong-ngomong, kalian udah balikan?" tanya ibu Lintang iseng dengan nada berbisik. Bahkan Adi langsung berdeham untuk menegur sang istri.

Galang menjilat bawah bibirnya yang terasa kering dan tersenyum kikuk karena belum siap akan serangan dari ibu Lintang.

"Ibu, abang Galang si rama-rama kan baru aja silaturahmi setelah sekian lama. Ibu jangan langsung tembak gitu dong." Bintang Adi Nugraha, adik bungsu Lintang menimbrung.

"Itu gelang si rama-rama, Bintang. Bukan Galang tapi gelang. Gelang!" Ibu mengucapkan kata 'gelang' dari potongan lagu anak-anak itu dengan penuh penekanan.

"Hehe, becanda. Oit, Mas bro. Long time no see."

Cowok berusia tujuhbelas belas tahun itu berdiri tegap dan memberi hormat pada Galang. Mulutnya menyengir lebar. Dari dulu, Bintang memang jauh lebih tengil dibandingkan Sinar yang cenderung cool. Galang balas menyapa dan mengacak rambut Bintang.

"Udah tinggi banget aja lo, Bin."

Bintang hanya cengengesan sambil menaik-naikkan alisnya yang tebal. Yap, tingginya memang hampir setara dengan tinggi Galang. Berbeda dari Sinar yang hobi dengan olahraga karate, Bintang adalah bintang lapangan basket. Tinggi remaja cowok itu tentu semakin melesat sejak terakhir ia bertemu Galang saat masih SMP.

"Ekhem-ekhem, ini minumannya." Lintang datang membawa nampan yang berisikan beberapa gelas minuman. Gadis itu juga menyajikan camilan di atas meja sebelum akhirnya duduk di samping Galang.

"Tapi bener kata ibu, Abang sama Kakak emangnya udah balikan?" tanya Bintang sembari duduk di atas lengan sofa.

Adi kontan menegur putra bungsunya. "Bintang Adi Nugraha, duduk dengan benar."

"Siap, komandan!" Bintang sontak bangkit saat itu juga seolah-olah ada paku yang menyengat bokongnya. Cowok berbadan jangkung itu menuruti perintah sang ayah untuk duduk secara benar di atas sofa.

Galang menghela napas dalam-dalam. Matanya melirik Lintang yang ada di sebelahnya sebelum menatap Bintang dan kedua orang tua Lintang yang duduk di seberang mereka. "Jadi, maksud kedatangan saya ke sini untuk meminta restu ibu dan bapak."

"Minta restu buat balikan, Bang?" tanya Bintang polos.

Galang tersenyum dan menggeleng pelan ke arah Bintang. Ia lalu beralih menatap kedua orang tua Lintang secara bergantian.

"Saya ingin meminang Lintang menjadi istri saya."

Mata Lintang kontan mengerjap-ngerjap. Ia masih saja berdebar-debar ketika Galang mengutarakan kata-kata tersebut. Galang lantas menggaruk tengkuk saat melihat ketiga orang di depannya yang kompak tersedak.

"Kamu serius, Galang?" Ayah Lintang bertanya sambil membetulkan letak kacamatanya.

Ibu Lintang menimpali dengan raut wajah yang begitu antusias. "Beneran ini anak ibu dilamar?!"

"Ibuuu," tegur Lintang setengah berbisik.

"Halah kamu, Kak. Dulu aja nangis-nangis mulu ngomong sama boneka sapi. Siapa tuh namanya? Si Tanggal! Iya kan, Pak?"

Ayah Lintang hanya mengangguk-angguk dan mengulum senyum geli. Melirik Lintang yang terlihat sedang menahan malu.

"Kalau bapak sama ibu, terserah apa kata Lintang saja. Kalau Lintang bahagia, kami juga turut bahagia," jawab Adi bijaksana.

"Gimana, Kak? Kak Lintang emangnya mau nikah sama Abang Galang?"

Menjawab pertanyaan Bintang, Lintang hanya tersenyum dan menunjukkan cincin yang melingkari jari manisnya yang langsung disambut heboh oleh ibu dan Bintang.

Saking antusiasnya, Bintang sampai berdiri sambil bertepuk tangan. "Acie cieeeeeee! Huhuyyyy!"

"Yeeeeeeayyy. Bentar lagi, kita punya cucu, Pak!" seru ibu dengan semangat meluap-luap.

Hening melanda beberapa saat. Namun, kembali heboh oleh ibu yang terlihat begitu bahagia sebab putri sulungnya akan melepas masa lajang. Beliau sangat menanti-nantikan hal ini sejak lama.

"Kalau begitu, dalam waktu cepat saya dan keluarga akan datang secara resmi untuk melamar Lintang," kata Galang mantap. Cowok itu menoleh ke arah Lintang dan mereka pun saling melayangkan senyum kebahagiaan. Keduanya berharap, akan datang hal-hal baik yang menyertai mereka. Semoga, takkan terjadi sesuatu yang buruk ke depannya.

***

Aileen terpekur, menopang dagunya di atas pagar balkon yang berada di luar ruangan tempat ia dirawat. Gadis itu tak mengindahkan angin malam yang menerpa tubuhnya. Matanya sibuk memandangi berbagai cahaya yang menghias langit. Kerlap-kerlip bintang juga sinar rembulan yang terpancar menawan. Gadis itu refleks berbalik dengan kedua tangan terkepal di depan dada ketika melihat bayangan seseorang mendekat ke arahnya. Ketegangannya kontan mencair saat mendapati sosok yang sangat ia kenal.

"Nama saya Adipati. Dan di sini saya diperintahkan oleh Presiden untuk melindungi Anda." Adipati memberi hormat pada Aileen.

Melihat Adipati memperkenalkan diri dengan cara yang sangat formal, Aileen sontak tertawa. "Dulu, kita bahkan pernah saling bertarung. Sekarang kamu malah ditugaskan untuk melindungi saya. Takdir yang lucu."

Setelah mengucapkan itu, Aileen berbalik kembali ke posisi semula. Memandangi langit malam. Adipati tersenyum tipis dan berdiri di samping Aileen. Berbeda dengan Aileen, cowok itu memfokuskan pandangan pada cahaya yang ditimbulkan oleh deretan gedung pencakar langit. Juga banyaknya lampu mobil yang memadati jalanan.

"Ya ... siapa yang bisa menerka jalan kehidupan?" Adipati berkomentar. Tanpa keraguan sedikitpun, pria itu melepaskan jas hitam yang ia pakai dan menyampirkannya pada bahu Aileen.

Aileen sedikit tersentak dengan tindakan Adipati. "Jas waktu di depan hotel itu ... juga masih ada di saya."

"Oh, ya? Simpan saja. Itu adalah kenang-kenangan dari saya sebelum mengetahui identitas Anda yang sebenarnya."

"You know, kita terlalu hm, formal. "Well, gue lebih suka pake gue-elo. Apalagi kayaknya umur kita nggak jauh."

"Benar. Tapi saya adalah pengawal dan Anda seorang tuan putri. Bagaimana bisa saya berbicara seperti itu?"

Aileen berdecak dan tangannya terasa sangat gatal ingin memberi sebuah jitakan di kepala Adipati.

"Gue bukan tuan putri, oke? Pake elo-gue aja."

Adipati menoleh dan tersenyum manis. "Kenapa nggak aku-kamu aja?"

Tak. Tik. Tok.

"Gue nggak semanis itu. Apalagi sama lo." Aileen memutar bola matanya.

"But still, lo manis walaupun agak galak."

Adipati tertawa saat Aileen memicingkan matanya dengan tajam.

"Lo tau, terlepas dari ingatan gue yang udah kembali atau hasil tes DNA yang ayah lakukan. Gue bukan lagi Cahaya yang sama seperti yang mereka kenal." Aileen menarik napas dalam mengeluarkan keluh kesahnya. "Cahaya udah nggak ada."

Adipati terdiam cukup lama sebelum menanggapi. "Apa rencana lo selanjutnya?"

"Sekarang, masih ada sesuatu yang harus gue selesaikan."

***

Pagi ini sebelum berangkat ke kantor polisi tempat ia bertugas, Galang mengantar Lintang ke rumah sakit terlebih dahulu. Mentari bersinar dengan begitu berani. Memancarkan kehangatannya. Jemari kedua insan itu terjalin satu sama lain. Ditambah keberadaan cincin yang tersemat di jari manis sang wanita. Siapa saja bisa menilai bahwa mereka terlihat begitu serasi.

Jujur, Galang tak bisa menahan senyum bahagia mengingat keluarga Lintang yang menyambut baik niatnya untuk meresmikan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Namun, Galang dan Lintang tak ingin terkesan terburu-buru. Mereka mempersiapkan segala sesuatunya dengan perlahan tapi pasti.

"Lintang? Ya ampun, lama banget kita nggak ketemuuu." Seorang wanita berlari ke arah Lintang.

"Fisyaaa!" Lintang melepaskan jemarinya dari genggaman Galang.

"Eh hati-hati, jangan lari! Inget anak lo, Sya! Entar brojol!" seru Lintang sambil berlari ke arah Fisya.

Fisya tertawa dan menghentikan larinya. Kedua wanita itu berpelukan heboh melepas rindu.

"Perut lo udah gede aja, Sya." Lintang menatap perut Fisya yang mulai membesar.

"Ya iyalah, secara kita udah nggak ketemu berapa bulan." Fisya mengelus perutnya.

"Siapa tuh, Lin?" bisik Fisya. Matanya menyipit menatap Galang yang berjalan ke arah mereka. Fisya hampir kejang saat cowok berseragam polisi itu menunjukkan senyum ramah kepadanya.

"Jangan bilang, dia mantan lo itu? Gila, ganteng banget, Lin. Mukanya kayak jaman kalian masih SMA gitu ya? Kayak foto yang ada di meja kerja lo ituuu."

"Hm ...." Lintang menggantung ucapannya karena tak tahu harus berkomentar apa. Sedangkan Fisya sudah seperti fangirl yang bertemu idolanya ketika Galang semakin dekat.

Galang mengulurkan tangan ke arah Fisya. "Saya Galang, calon suami Lintang."

Mata Fisya membelalak. "Lin, serius?! Lo punya banyak utang cerita sama gue ya!"

"Ah, iya." Fisya menjabat tangan Galang. "Saya Fisya, sohib Lintang di rumah sakit."

"Iya saya tau, dokter sendiri inget saya?"

Fisya mengernyit heran dan mengamati wajah Galang. Selama dulu Galang berpacaran dengan Lintang, Fisya tak pernah menjumpai cowok itu secara langsung. Tapi sepertinya, ada suatu momen ia bertemu dengan Galang sebelumnya.

"Ah! Mas yang saya jahit kepalanya? Mas brewokan yang itu?" Fisya berujar antusias.

Galang mengangguk membenarkan. Ya, itu adalah hari pertama di mana ia kembali bertemu Lintang setelah bertahun-tahun lamanya. Ia dan Lintang berlarian di koridor rumah sakit untuk mengejar seorang pengedar yang berusaha kabur saat Lintang memberikan penanganan pada luka pria bertubuh gempal itu.

"Pantes aja, rasanya saya pernah liat di manaaa gitu. Soalnya saya cuma liat foto Mas di meja kerja Lin—" cerocosan Fisya terpotong karena Lintang membekap mulutnya.

Sebenarnya Lintang kembali memungut frame fotonya bersama Galang yang telah ia buang ke tempat sampah waktu itu.

"Mendingan kita sekarang masuk, oke." Lintang melepas bekapannya dan menarik tangan Fisya.

"Eh, pamit dulu dong sama calon suami."

"Apaan sih?" Lintang merutuk-rutuk. Namun, Fisya memaksanya untuk berpamitan dengan benar pada Galang.

Lintang melambaikan tangannya ke arah Galang. "Daah."

"Gitu doang?" komentar Fisya tidak suka. "Salim dulu dong."

Galang terkekeh dan mengulurkan tangannya ke arah Lintang. Karena Lintang tak kunjung menyambut uluran tangannya, Galang meraih tangan Lintang dan menempelkan punggung tangannya ke ujung hidung Lintang.

"Huhuyyyyy. Gitu dong. Latihan, biar terbiasa." Lagi-lagi Fisya berkomentar penuh semangat seperti komentator bola.

"Udah ah. Yuk masuk," ujar Lintang sambil menarik lengan Fisya.

"Mas Galang, saya tunggu banget lho nih undangannya."

"Siap, Dok."

Berjalan bersama Fisya, Lintang sesekali menoleh ke belakang dan tersenyum manis. Di sana Galang melambaikan tangannya pelan. Cowok itu akhirnya memasuki mobil dan meninggalkan area rumah sakit.

"Ciye-ciyeee. Akhirnya lo jadi juga sama si mantan. Gue inget banget lo bilang doi kayak ketek soang. Padahal orangnya super ganteng gitu, ih! Dasar wanita tidak bersyukur!"

"Dek bayi aman, Nak? Emak kamu kok cerewet banget?"

"Eh lo nggak usah mengalihkan pembicaraan yak. Ciyeee, aciecie Lintang unchhh." Fisya menoel-noel pipi Lintang sepanjang perjalanan mereka.

"Fisyaaa, stop it!"

***

Adipati tak bisa menemukan sosok Aileen di manapun. Kamar inap gadis itu kosong. Aileen juga sedang tidak berada di kamar mandi. Mengkonfirmasi dengan dua petugas yang berjaga di depan kamar Aileen, mereka berkata Aileen tidak pernah sekalipun keluar dari ruangan ini. Adipati mengusap wajahnya gusar. Kemudian ia menyadari jendela yang terbuka lebar.

Mungkinkah?

Namun, bagaimana bisa?

Tentu bukan hal mudah untuk kabur dari kamar VIP yang berada di lantai teratas gedung rumah sakit ini. Tetapi Adipati harusnya tahu bahwa kini ia sedang berhadapan dengan perempuan yang tidak biasa. Kedua mata Adipati kemudian mendapati secarik kertas yang terselip di bantal tempat tidur Aileen.

Untuk Ayah, Mama dan Lian. Maaf karena Cahaya tidak pamit dengan carayang baik. Masih ada sesuatu yang harus Cahaya lakukan. Jangan terlalu khawatir,Cahaya akan baik-baik saja. - J. A. Cahaya Effendi.


Bersambung

Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar yaaa 🥰

Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗

Regards, Iin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top