24 - Fact

Berlian membuka kedua matanya perlahan. Gelap. Hanya ada sedikit cahaya yang masuk dari satu jendela berkaca besar yang juga tertutup rapat. Bau asing dan aneh langsung menusuk indra penciumannya. Ruang ini sangatlah kotor dan penuh debu. Luas juga menakutkan.

Gadis itu kini duduk bersandar pada salah satu tiang di tengah-tengah ruang. Tunggu, ia tak dapat bergerak. Tubuhnya terikat kuat. Kedua kakinya yang berselonjor juga diikat dengan kencang. Ia ingin berteriak. Namun, lakban menutup erat mulutnya.

Napas Berlian mulai mengembus dengan tercekat-cekat. Menahan rasa pusing yang luar biasa. Kepalanya terasa berputar-putar. Bayangan-bayangan peristiwa kelam masa kecilnya kembali berdatangan menyerang benak.

Ada sosok yang muncul dalam bayangan itu. Seorang pria yang sangat mengerikan. Pria yang bahkan tak segan menyakiti tubuh kecilnya. Meneriakkan caci maki tepat di telinga dan kekehannya pun terdengar begitu bengis.

Hal yang paling diingat Berlian adalah tato kalajengking berukuran besar yang tergambar pada lengan kirinya. Berlian menggelengkan kepala. Mencoba menghapus bayangan itu. Bulir air mata Berlian tumpah ruah menyapu parasnya yang teramat pucat.

Drap. Drap. Drap.

"Jingga Aurelia Berlian Effendi."

Degup jantung Berlian semakin kacau. Suara itu semakin nyata. Seluruh tubuhnya gemetar kala menyadari sepasang langkah berjalan santai ke arahnya. Suara yang diiringi kekehan dengan nada bengis itu, terdengar kian dekat. Sepasang sepatu hitam legam akhirnya tiba di hadapannya. Berlian menelan ludah. Rongga dadanya seakan terisi penuh, teramat sesak.

Berlian tak memiliki keberanian sedikit pun untuk mendongakkan kepala. Nyawanya seakan-akan keluar dari raga kala mendapati lengan bertato kalajengking itu menangkup pipinya dengan kasar.

Akhirnya, terjadi kontak mata di antara mereka.

Pria itu.

Tidak mungkin.

Sosok itu melepas lakban yang menutup mulut Berlian.

Suara Berlian keluar dengan terbata-bata. "M-mang Ujang?"

"Senang berjumpa denganmu lagi, Nona."

***

Prang!

Cangkir berisikan teh hangat yang dibawa oleh wanita paruh baya itu jatuh menimpa lantai. Pecahannya berserakan. Lantas, ia membuka paksa pintu ruang kerja sang suami yang tertutup rapat, kendati dua pengawal yang stand by di depan pintu besar tersebut mengambil tindakan untuk mencegahnya.

Perbincangan serius antara Adipati dan Presiden terputus secara mendadak kala Ibu Negara yang notabenenya adalah ibu kandung dari Berlian memasuki ruangan. Presiden mengangguk, memberi isyarat pada Adipati untuk meninggalkan tempat itu.

Kabar penculikan Berlian tentu telah sampai ke telinga sang Presiden. Tidak banyak orang yang tahu tentang ini karena semua hal yang menyangkut Berlian memang sangatlah dirahasiakan bahkan dari orang-orang yang bekerja di Istana Negara sekali pun.

"Apa benar itu, Pak?" tanya wanita nomor satu itu lirih dan mulai terisak.

Presiden tak dapat langsung menjawab pernyataan sang istri. Ia mengerti bagaimana rapuhnya perasaan wanita yang telah menjadi pendamping hidupnya itu terkait keselamatan putri mereka. "Bu ...."

"Siang dan malam, tanpa lelah, sepanjang hari Bapak selalu berusaha sekuat tenaga menyelamatkan negara ini. Bapak adalah seorang Presiden juga seorang Jenderal besar kepolisian.

"Bapak selalu memprioritaskan negara ini. Cukup untuk saya kehilangan Cahaya dan tinggal berjauhan dengan Berlian. Tolong, saya mohon ... tolong selamatkan Berlian. Tolong selamatkan putri kita."

Airmata wanita itu semakin merebak. Berjatuhan. Mengkhawatirkan putrinya yang berada dalam marabahaya. Presiden langsung bergerak cepat ketika istrinya jatuh dan tak sadarkan diri. Ia memeluk erat wanita yang telah berpuluh-puluh tahun menjadi bagian hidupnya itu.

Kata demi kata yang keluar dari mulut istrinya membuat orang nomor satu di negeri ini tertohok hebat. Seolah menampar keras kenyataan yang menyatakan bahwa ia bukanlah sosok ayah yang baik untuk anak-anaknya.

Semua ini, terjadi karena kesalahannya.

Usai membawa sang istri untuk ditangani dokter kepresidenan. Beliau kembali memanggil Adipati untuk bicara empat mata.

"Saya tak tahu keputusan saya untuk merahasiakan keberadaan Berlian adalah langkah terbaik atau tidak. Saya menyesal telah melindunginya dengan cara menjauhkannya." Mata itu menerawang jauh. Kepedihan terpampang jelas di kedua irisnya. "Saya kira itu adalah keputusan yang terbaik ...."

"Saya percaya Anda telah berpikir secara matang dan memperhitungkan risikonya. Jika saja Anda tidak melakukan itu, Nona Jingga mungkin tidak akan bertahan sampai sekarang." Adipati berujar. Berusaha memberikan keyakinan kepada sang atasan tentang keputusan yang telah dibuat.

Sang Presiden membuka laci pada meja kerjanya lalu mengeluarkan sebuah kotak besi berukuran sedang. Ada sebuah pistol yang terdapat di dalamnya. Pistol yang pria itu gunakan ketika masih aktif menjadi seorang reserse kriminal di kepolisian.

"Saya sendiri yang akan memimpin operasi ini," tegas sang Presiden.

Adipati lantas menyahut. "Tapi, Pak Presiden."

Pria berpangkat Jendral itu menatap dalam sebuah foto yang memuat ia dan sosok Berlian saat gadis itu masih bayi. Ibu jarinya mengusap lembut permukaan foto tersebut. "Saya akan menyelamatkan Berlian. Bukan sebagai seorang Presiden atau seorang Jenderal." Ada jeda yang tercipta di sana. "Namun, sebagai seorang ayah."

***

Setelah berkoordinasi dengan tim, Galang dan Lintang yang tentu tiba lebih dahulu langsung bersiap untuk memasuki gedung tempat Berlian berada. Keyakinan mereka bertambah kala melihat mobil Alvian yang terparkir walaupun berjarak cukup jauh dari mobil mereka.

Seragam SMA yang mereka kenakan sudah berganti dengan pakaian lapangan. Pistol lengkap dengan peredam juga telah melekat di pinggang.

"Lin, sebaiknya lo tunggu di sini," cegat Galang kala Lintang sudah akan membuka pintu mobil. Tersirat rasa khawatir dalam pandangnya.

"Apa maksud lo, Lang?" Lintang menatap Galang tidak mengerti.

"Lintang, lo dokpol. Tugas lo bukan untuk menyerang."

"Tapi bagaimana pun, gue juga polisi. Gue akan menyelamatkan Berlian. Gue nggak akan biarin lo masuk ke sana sendirian."

Galang menghela napas berat. Lintang memang begitu keras kepala jika menyangkut hal seperti ini. Tanpa berbasa-basi lagi keduanya langsung memasuki gedung besar bekas pabrik itu lewat pintu belakang. Mereka menyusuri gedung layaknya pemeran film bertema spionase. Mengendap-ngendap dan sangat berhati-hati. Namun, setelah beberapa saat dalam kondisi aman. Seseorang menyadari kehadiran mereka.

"Ada penyusup!"

Tubuh Galang dan Lintang kontan menegang. Satu, dua, tiga, enam, dua belas, ... terhitung ada lima belas orang yang kini telah mengelilingi mereka. Galang dan Lintang lantas memasang posisi siaga. Orang-orang itu langsung menyerang. Galang dan Lintang saling pandang lalu mengangguk yakin.

Three, two, one. Permainan, dimulai.

"Suara apa itu?" Fred, atau yang dikenal selama ini sebagai Mang Ujang menatap Berlian nyalang. Ia lantas beranjak ke luar ruangan. Memeriksa keributan yang telah terjadi di luar.

Sepeninggal Fred, Berlian menghela napas. Ada kelegaan di sana. Mengurai rasa sesak. Ia lalu memutar otak untuk melepaskan diri. Kaki Berlian yang terikat mencoba meraih botol minuman keras yang ditinggalkan Fred. Meski sulit, perlahan botol minuman itu berhasil digapainya.

Berlian menggigit bibir ketika tangannya yang juga terikat berhasil memecahkan botol tersebut. Telapak tangannya berusaha keras meraih pecahan botol itu dan menggunakannya sebagai alat untuk memotong tali yang mengikat kuat pergelangan tangannya. Akibatnya, tangannya terluka parah. Darah mengalir deras. Namun, Berlian tidak peduli. Ia harus segera membebaskan diri.

Usahanya berhasil. Ia dapat membebaskan tangannya yang terikat meski harus bersimbah darah. Cepat-cepat ia membuka tali yang mengikat tubuh dan kakinya. Berlian mulai bangkit. Gadis itu meringis menahan sakit ketika berhasil berdiri. Langkahnya tergopoh-gopoh menuju jalan keluar. Tetapi langkah Berlian sontak terhenti kala mendapati sosok lain yang baru saja memasuki ruangan tersebut.

Alvian Keenan Wijaya.

Kedua kaki yang menopang tubuh Berlian gemetar. Ia mundur, mencoba menjauh dari Alvian yang semakin mendekat. Tangannya bergerak melempari Alvian dengan apa saja yang ada di dekatnya sambil berteriak histeris.

Menyadari itu, Alvian lantas berjalan cepat dan membekap mulut Berlian. Mereka bertatapan dalam. Mata tajam Alvian melembut kala menyelami bola mata Berlian yang penuh air mata.

Sempat membeku dengan tatapan itu, Berlian kemudian memukul dada Alvian dengan beringas. Pukulan itu baru berhenti saat Alvian memeluk tubuh Berlian dengan begitu erat.

"Maaf, Jingga. Maaf ...." Alvian berbisik. Sangat pelan. Nyaris tak terdengar.

Alvian mengurai pelukannya dan ganti menatap Berlian yang juga memandangnya. Kepala Berlian lagi-lagi terasa pusing. Memori masa kecilnya pun mulai kembali hadir. Namun, kali ini adalah ingatan masa kecilnya yang indah.

Al, teman masa kecil yang selalu menemaninya bermain di taman dekat rumahnya setiap hari. Teman yang selalu mendengarkan keluh kesahnya ketika ia kesepian. Teman yang selalu ada di sampingnya kala ia merasa sedih. Walau Al tak suka banyak bicara, tapi Berlian tahu bahwa ia adalah anak yang baik dan hangat.

"Al ... l-lo Al g-gue?" tanya Berlian terbata. Ia menatap lekat Alvian yang ternyata adalah sosok yang selama ini ia cari-cari. Namun, tak pernah ada satu petunjuk pun tentang keberadaannya.

Alvian perlahan mengangguk dan mengusap lembut pipi Berlian.

"T-tapi kenapa?"

Derap langkah yang terdengar membuat Alvian tak bisa menjawab pertanyaan Berlian. Ia lantas menyembunyikan Berlian di belakang tubuhnya. Berlian menggigil ketakutan saat melihat Fred yang kembali muncul di ruangan itu.

Fred mengurungkan niatnya untuk memeriksa keributan di luar. Ia memilih untuk memutar balik langkah dan berlari memeriksa tempat Berlian berada. Intuisinya benar. Ada seseorang di sini.

"Penghianat." Fred mendesis seraya  mengeluarkan pistol dan menodongkan ke arah Alvian.

Rahang Alvian terkatup keras. Kalimat Fred adalah kalimat serupa yang dilontarkan oleh Mr. Jacob via telepon sebelum ia melihat pria yang menyamar sebagai Mang Ujang itu membekap Berlian menggunakan sapu tangan dengan zat kloroform yang membuat Berlian langsung tak sadarkan diri.

Alvian kontan melakukan pengejaran karena Fred bergerak begitu cepat. Ia bertambah yakin meski dari jarak yang terhitung jauh saat melihat Mang Ujang melepaskan sarung tangannya dan menampakkan tato kalajengking berukuran besar. Tidak salah lagi. Pria itu adalah orangnya.

Selama bekerja dengan Mr. Jacob, Alvian tak pernah mengetahui tentang sosok Fred. Sebagai pembunuh bayaran yang menjadi buronan berbagai lembaga intelejen, Fred memang memiliki kelas yang berbeda. Ia hanya muncul ketika Mr. Jacob memberi perintah mengenai misi besar. Seperti penculikan Berlian sepuluh tahun yang lalu dan saat ini yang merupakan ajang pembalasan dendam atas kekalahannya di masa lalu. Kali ini, ia harus berhasil menghabisi nyawa gadis itu.

Fred tertawa sambil menepuk tangan. Tawanya menggelegar. Menggema pada langit-langit bangunan tua itu.

"Kau tahu, penghianat tak akan pernah termaafkan." Fred meludah dan kembali tertawa. "Dan penyusup, akan mati dengan cara yang tak akan pernah bisa terbayangkan."

Alvian hanya menatap Fred datar. Tak gentar dengan semua kalimat yang Fred lontarkan.

"Kau punya nyali yang besar anak muda." Fred berdecih. Lalu tawanya lagi-lagi mengudara.

"Aku tak percaya, BIN mengirimkan agen muda sepertimu untuk menyusup ke dalam organisasi besar yang menyeramkan ini."

Berlian membelalakan mata. Ia menatap Alvian tak percaya.

Galang dan Lintang yang telah berhasil merobohkan orang-orang yang menghalangi mereka itu kini menempel di depan pintu ruang Berlian, Alvian dan Fred berada. Fakta tentang identitas Alvian yang Fred beberkan sungguh mengejutkannya.

Alvian merupakan mata-mata Badan Intelijen Nasional?

DUAR!

Satu tembakan terdengar.

Bersambung

Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar 🥰

Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗

Regards, Iin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top